Bisakah Kita Menghasilkan Tulisan yang Berdampak dengan AI?

Okky Madasari sebagai mentor dalam Writing Retreat Satu Pena 2024 di Puncak, Bogor. (Foto: Dok. pribadi)

Sebagai penulis, kita ingin tulisan kita tidak cuma dibaca hanya untuk dilupakan kemudian. Kita mau tulisan kita bisa membekas dan diingat para pembaca kita. Karena itulah, kalau saya ditanya soal definisi “tulisan yang berdampak”, saya akan mengatakan bahwa tulisan berdampak merupakan sebuah tulisan yang berhasil memantik diskusi dan dialog publik soal isu-isu tertentu yang penting bagi kemaslahatan masyarakat. Bukan ‘hanya’ sebuah tulisan yang mendeskripsikan sebuah isu atau kondisi yang faktual di lapangan. 

Tuntutan untuk menghasilkan sebuah tulisan yang berdampak ini dikemukakan oleh Okky Madasari selaku mentor dalam event “Writing Retreat Satu Pena 2024” yang dihelat tanggal 30, 31 Agustus dan 1 September 2024 lalu di De Pointe Resort, Puncak, Bogor. Sebanyak 25 penulis ikut serta dalam retreat menulis ini dan diharuskan menghasilkan tulisan yang berkualitas setelah sesi brainstorming, diskusi dan pemberian masukan/ kritik.

Sebagai salah satu peserta, saya juga ikut menulis. Topik yang diberikan oleh mentor ialah “Sudahkah manusia Indonesia merdeka?“. Dan karena saya tinggal di Banten, saya ingin mengaitkan topik besar itu pada fenomena dinasti politik di Banten yang begitu kental kemudian disarankan Okky untuk meneropong fenomena ini dari teori mekanisme pelarian diri yang disusun oleh pemikir Erich Fromm pada tahun 1942. Saya pun mencoba untuk mempertajam pembahasan esai yang saya tulis lagi berdasarkan masukan Okky.

Sebagai penulis, saya memang sudah sering membahas dan mengaplikasikan Kecerdasan Buatan (AI) dalam proses kreatif saya. Beberapa tulisan saya yang membahas soal AI ialah “Penting untuk Editor dan Pendidik! Inilah Cara Deteksi Tulisan AI“, “Kenapa Kita Harus Batasi Penggunaan AI Jika Masih Sayang Bumi“, “AI Sebagai Alat Membangkitkan Bisnis Media Lokal”, dan lain-lain yang Anda bisa baca di bawah profil Kompasiana saya. Satu artikel yang saya buat dengan bantuan AI bahkan berhasil menjadi headline di Kompasiana dan dibaca 1688 kali sampai tulisan ini ditayangkan: “Mengenang Joko Pinurbo: Pernah Bakar Puisi karena Ditolak Penerbit“.

Okky Madasari memberikan masukan terhadap draft tulisan. (Sumber gambar: Dok. pribadi penulis)

Dari Dinasti ke AI

Kembali ke writing retreat, saat draft tulisan saya ditelaah Okky, ia terus terang menyukainya dan mengatakan bahwa perkembangan tulisan esai/ opini saya lebih baik dibandingkan draft paragraf pertama yang sebelumnya saya ajukan. 

Di dalam esai ini saya mengkritik fenomena dinasti politik di Banten (dinasti Ratu Atut, Jayabaya, dan Natakusumah) dan bagaimana dinasti politik menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah wilayah (dengan mengutip data penelitian World Bank) dan bahwa fenomena ini muncul tak lain karena masyarakat Banten sendiri memang masih kebingungan dan belum bisa mandiri sebab mereka masih belum berpendidikan dan didera kemiskinan ekstrem. 

Solusi jangka pendeknya ialah dengan memilih bersandar pada seorang sosok pemimpin yang bisa melakukan segalanya untuk mereka sebab hidup rakyat Banten sudah sulit. Meski pada jangka panjang, kecenderungan semacam ini bakal membuat mereka sulit maju juga. 

Saya berteori di esai tersebut bahwa fenomena dinasti politik ini bisa muncul karena keserakahan elit politik daerah yang menjelma sebagai kompeni pribumi sekaligus karena manjanya masyarakat menengah bawah yang enggan berubah untuk maju. Karena untuk maju, perlu perubahan radikal yang sangat tidak nyaman.

Karena panitia dan mentor sebelumnya tidak menyebutkan larangan untuk memakai AI selama proses menulis, saya pun memakai AI di dalam proses menulis esai ini. Karena saya belum selesai membaca, saya menggunakan claude.ai untuk mendapatkan ringkasan novel Max Havelaar yang berlatar Banten masa lalu di tahun 1860-an dan kondisi mengenaskan masyarakatnya di bawah  sistem tanam paksa Belanda. Saya juga menggunakan claude.ai untuk meringkas teori Erich Fromm soal mekanisme pelarian diri yang ia tulis di seminal “Fear of Freedom” (1942).

Seperti saya katakan tadi, Okky sebagai mentor memberikan pujian atas isi esai saya. Namun, sejurus kemudian muncul sebuah pertanyaan dari Wina Armada selaku salah satu anggota Dewan Pembina Satu Pena: “Apakah di sini Anda pakai AI?”

Saya menjawab dengan jujur bahwa saya memang memakai AI untuk menulis esai ini lebih cepat dan efisien.

Danny J.A. selaku Ketua Umum Satu Pena pun memberikan pledoi mengenai penggunaan AI dalam berkarya. Ia mengatakan bahwa penggunaan AI dalam menulis sebagaimana dalam bidang seni juga tak akan bisa terbendung sebab AI adalah perkembangan zaman yang tak terelakkan. Kita sebagai penulis mesti bersiap menyambutnya, entah itu mau atau tidak mau.

Dari sini diskusi soal esai saya pun bergulir menjadi soal boleh tidaknya sebuah tulisan yang dibuat dengan AI masuk ke dalam buku dan bagaimana penerapan etika saat seorang penulis menghasilkan karya dengan AI. Haruskah ia menulis dengan gamblang bahwa ia memakai AI di dalam proses menulisnya? 

‘Pelatuk’ Diskusi

Dari sesama rekan penulis, saya juga menuai reaksi beragam. Penulis-penulis muda mengatakan bahwa mereka juga menulis dengan AI meski memang mereka menggunakan software untuk memparafrase dan memoles tulisan agar tak terdeteksi oleh manusia dan mesin lain. Di sini saya tertawa dalam hati. Apa bedanya karena itu semua sama-sama pakai AI? Bedanya cuma mengaku atau tidak. Ketahuan atau tidak.

Sementara itu, penulis-penulis yang lebih konservatif menolak penggunaan AI dalam tulisan dan proses kreatif. Salah seorang bahkan mengatakan,”Saya kagum dengan kejujuran Anda tetapi kecewa dengan perbuatan Anda”. Dengan kata lain, ia mengharamkan penggunaan AI dalam proses menulis.

Butuh beberapa waktu untuk mencerna segala reaksi ini dan saya bisa berpikir lebih jernih menanggapinya setelah menyingkirkan ego saya sebagai penulis yang begitu besar namun rapuh sekali. Sudah bukan rahasia umum kalau kaum penulis itu peka sekali terhadap kritik. Dikritik sedikit bisa membakar harga diri, membuat geram dan marah. 

Tapi saya mencoba memisahkan ego saya dan karya. Yang mereka anggap menjijikkan itu adalah karya saya yang menggunakan AI. Mereka tidak jijik dan kontra terhadap saya sebagai pribadi. Sesederhana itu. Dengan demikian saya bisa berpikir dan berdiskusi lebih rileks dan terbuka bahkan dengan mereka yang berseberangan soal AI dalam menulis.

Tetapi kembali pada pertanyaan definisi tulisan yang berdampak, jika saya bertanya pada diri saya sendiri:”Apakah esai kamu itu sudah berdampak?”, saya pikir saya akan menjawab: “Iya. Setidaknya ia sudah bisa memantik diskusi soal etika penggunaan AI dalam proses menulis”.. Hahaha. 

Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda pro atau anti AI dalam menulis? Dan jika Anda anti AI, apakah itu karena Anda tidak tahu caranya atau karena Anda tahu cara penggunaannya tetapi menganggap itu sebagai sebuah kecurangan? Karena saya harus katakan, jangan sampai kita membenci sesuatu karena hanya kita belum memahami atau masih asing terhadapnya. (*/)

P.S.: Tulisan ini murni dihasilkan penulis tanpa bantuan AI.

Posted in Blog | Leave a comment

Can You Write Impactfully with AI?

As writers, we always want our writing to not just be read and forgotten. We think and write hard to leave an impression and be remembered by our readers. That’s why, if I’m asked about the definition of “impactful writing”, I will say that impactful writing is writing that successfully sparks public discussion and dialogue on certain issues that are important for the welfare of society. Not just ‘merely’ writing that describes an issue or factual condition in the field.

This demand to produce impactful writing was expressed by Okky Madasari as the mentor in the “Writing Retreat Satu Pena 2024” event held on August 30, 31 and September 1, 2024 at De Pointe Resort, Puncak, Bogor. 25 writers participated in this writing retreat and were required to produce quality writing after brainstorming sessions, discussions, and receiving feedback/criticism.

As one of the participants, I also wrote. The topic given by the mentor was “Has the Indonesian people achieved independence?”. And since I live in Banten, I wanted to relate this major topic to the phenomenon of political dynasties in Banten, which is quite strong, and Okky then suggested that I examine this phenomenon from the theory of escape mechanisms developed by thinker Erich Fromm in 1942. I then tried to further sharpen the discussion in the essay I wrote based on Okky’s input.

As a writer, I have indeed often discussed and applied Artificial Intelligence (AI) in my creative process. Some of my writings that discuss AI are “Important for Editors and Educators! This is How to Detect AI Writing”, “Why We Must Limit the Use of AI If We Still Love the Earth”, “AI as a Tool to Revive Local Media Businesses”, and others that you can read in my profile. One article I made with the help of AI even became a headline on Kompasiana and was read 1688 times until this writing was published: “Remembering Joko Pinurbo: He Once Burned Poems Because They Were Rejected by Publishers”.

From Dynasty to AI

Back to the writing retreat, when Okky reviewed the draft of my writing, she frankly said she liked it and that the development of my essay/opinion writing was better than the first draft paragraph I had previously submitted.

In this essay, I criticized the phenomenon of political dynasties in Banten (the dynasties of Ratu Atut, Jayabaya, and Natakusumah) and how political dynasties hinder the economic growth of a region (citing World Bank research data) and that this phenomenon arises because the people of Banten are still confused and unable to be independent because they are still uneducated and plagued by extreme poverty.

The short-term solution is to rely on a leader figure who can do everything for them because the lives of the Banten people are already difficult. Although in the long run, this kind of tendency will make it difficult for them to progress.

I theorized in the essay that the phenomenon of political dynasties can arise due to the greed of the regional political elite who have become indigenous comprador as well as the pampering of the lower middle class who are reluctant to change to progress. Because to progress, radical changes that are very uncomfortable are needed.

Since the committee and mentor previously did not mention a prohibition on using AI during the writing process, I used AI in the process of writing this essay. Because I haven’t finished reading, I used claude.ai to get a summary of the novel Max Havelaar which is set in Banten in the 1860s and the deplorable condition of the people under the Dutch forced cultivation system. I also used claude.ai to summarize Erich Fromm’s theory of escape mechanisms, which he wrote in the seminal “Fear of Freedom” (1942).

As I mentioned earlier, Okky as the mentor praised the content of my essay. However, shortly thereafter, a question arose from Wina Armada, one of the members of the Satu Pena Board of Trustees: “Did you use AI here?”

I honestly answered that I did use AI to write this essay more quickly and efficiently.

Danny J.A., the General Chairperson of Satu Pena, also gave a plea about the use of AI in creative works. He said that the use of AI in writing, as in the field of art, will be unstoppable because AI is an inevitable development of the times. As writers, we must be ready to welcome it, whether we like it or not.

From here, the discussion about my essay shifted to the question of whether writing made with AI should be included in books and how to apply ethics when a writer produces work with AI. Should they write openly that they used AI in their writing process?

A Discussion Trigger

From fellow writers, I also received various reactions. Young writers said they also write with AI, although they use software to paraphrase and polish the writing so that it is not detected by humans and other machines. Here I laugh inwardly. What’s the difference, since they’re all using AI? The difference is just admitting it or not, being caught or not.

Meanwhile, more conservative writers reject the use of AI in writing and the creative process. One even said, “I admire your honesty but I am disappointed in your actions.” In other words, he forbids the use of AI in the writing process.

It took some time to digest all these reactions, and I was able to think more clearly in responding to them after setting aside my enormous but fragile ego as a writer. It’s no secret that writers are very sensitive to criticism. Criticized a little can burn their self-esteem, make them angry and furious.

But I tried to separate my ego and my work. What they consider disgusting is my work that uses AI, not me as a person. That’s it. Thus, I can think and discuss more relaxed and open, even with those who disagree on the use of AI in writing.

But returning to the question of the definition of impactful writing, if I ask myself: “Has my essay had an impact?”, I think I will answer: “Yes. At least it has sparked a discussion about the ethics of using AI in the writing process.” Haha.

What about you? Are you pro or anti AI in writing? And if you’re anti-AI, is it because you don’t know how to use it or because you know how to use it but consider it cheating? Because I have to say, let’s not hate something just because we don’t understand it or are still unfamiliar with it. (*/)

P.S.: This writeup is not written from scratch with AI but translated from Indonesian with AI.

Posted in Blog | Tagged , , , , , | Leave a comment

Madhusudan Gopalan: Maju Bersama di Pasar Istimewa

Wirter and Madhusudan Gopalan of P&G Indonesia. (Foito: Dok. pribadi)

Berbekal etos kerja dan tim yang tepat, Madhusudan Gopalan sukses membangun fondasi pertumbuhan bisnis Procter & Gamble di Indonesia.

TUMBUH di lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi pentingnya kerja keras, Madhusudan Gopalan menyaksikan orang tua dan pamannya membanting tulang mengelola pabrik. Nilai itu meresap ke dalam benak pria kelahiran India ini dan menjadi bekal baginya dalam menahkodai P&G di tanah air. 

“Tiada jalan pintas. Mau sukses? Harus kerja keras,” tegasnya pada tim Warta Ekonomi di kantor P&G, Sentral Senayan III, Jakarta pada Rabu siang, 14 Maret 2018. 

Rekam jejaknya di industri FMCG meyakinkan. Ia berkarier sejak 1999 di P&G, melanglangbuana dari India, AS hingga kawasan Asean. Di bawah kepemimpinannya, laju bisnis P&G di segmen consumer goods terus melesat.

PERSEPSI SUKSES

Nilai lainnya yang ia pelajari saat kecil ialah pentingnya pertumbuhan bersama dalam sebuah kelompok. ”Prestasi pribadi penting tetapi tidak berarti apa-apa bila tidak memberikan faedah bagi orang lain,” tuturnya. 

Hal ini jugalah yang ia temukan pada masyarakat Indonesia tempatnya berkarya. Selama sewindu di nusantara, ia belajar mengenai solidaritas dari para rekan lokalnya. “Bagi orang Indonesia, sukses berarti keberhasilan individual dan komunal,” ucapnya. Karena itu, dirinya bangga bila dapat menyaksikan anggota timnya berkembang dari bawah hingga mencapai puncak potensi mereka.

TIM TEPAT

Indonesia ialah salah satu pasar yang penting dalam karier sang CEO. Ia bangga dengan pemberdayaan timnya yang berbekal SDM lokal. Dan mereka juga diberikan kesempatan berkarier di luar negeri. Raihan lain ialah kesetaraan gender. “Sebagai buktinya,” ucap Madhu, “50% manajer disini dan hampir 40% teknisi di P&G Indonesia ialah perempuan.” 

Prestasinya itu berkat gaya kepemimpinannya yang menekankan pentingnya tim yang tepat. “Dengan adanya tim yang tepat, bersemangat tinggi dan kompeten, bekerja terasa lebih mudah,” ungkapnya. Agar tim bekerja maksimal, P&G membuat kebijakan yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan dan fleksibilitas. Kebijakan bekerja di rumah, misalnya, ternyata membuat karyawan lebih produktif.

Berkat tim yang tepat, Madhu sukses dirikan pabrik manufaktur bernilai investasi jutaan dollar AS. “Ini sumbangsih kami pada Indonesia,” ujar alumni Indian Institute of Management, Calcutta, itu.

LITBANG SEBAGAI KUNCI

Madhu bersuka cita dengan perkembangan iklim bisnis yang makin kondusif. Bila dulu regulasi kerap jadi sumber kecemasannya, dalam 3 tahun ini ia mengaku ada banyak kemajuan.

Selain itu, ada banyak alasan bagi Madhu untuk optimis. Terutama karena Indonesia ialah jenis pasar langka; skalanya besar dan tingkat pertumbuhannya tinggi. “Karenanya Indonesia menjadi pasar fokus P&G,” tandasnya.

Dengan Litbang yang kuat, Madhu meramu pengalaman globalnya dengan perspektif lokal untuk merebut pasar. Produk-produk P&G pun laris manis karena mampu memecahkan masalah khas konsumen Indonesia. 

Kini ia berhasil membangun landasan kokoh untuk P&G di sini. “Inovasi akan terus muncul. Kami juga akan mengekspor ke pasar LN,” pungkasnya.

Kepindahan ke Indonesia ialah momen yang bermakna besar bagi keluarga kecil kami.”

DEMIKIAN tutur ayah dari dua anak laki-laki yang kini tinggal bersamanya di Jakarta.

Saat itu menjadi istimewa karena bertepatan dengan ultah kedua anak sulungnya. “Di antara kata-kata yang anak saya bisa ucapkan saat itu ada juga kata-kata bahasa Indonesia,” terangnya bangga. Tak lama setelah itu, anak keduanya juga lahir di sini. Tak heran Indonesia baginya sudah mirip rumah kedua.

Yang unik, Madhu waktu kecil tidak pernah bercita-cita menjadi CEO. Justru saat ia sudah dewasa dan banyak membaca majalah bisnis koleksi pamannya, ia baru berpikir ‘kerennya’ jabatan CEO. “Saya pikir para CEO yang memakai jas dan dasi di sampul majalah itu sungguh cerdas dan mengesankan. Merekalah orang-orang yang membuat dampak besar bagi hidup banyak orang.” Karenanya, begitu lulus dari Teknik Mesin, ia mendaftar kuliah MBA agar bisa bekerja di perusahaan multinasional dan meniti karier sebagai pebisnis top.
Bila tak sedang berlari pagi dan bersama keluarga, saat senggang penggemar aktivitas melancong ini memilih melahap buku-buku bertema kepemimpinan bisnis dan peningkatan kualitas diri. “Satu buku yang saya selalu tidak bosan untuk baca lagi dan lagi yaitu ‘How to Win Friends and Influence People’ tulisan Dale Carnegie,” pungkasnya. (*/)

VERSI BAHASA INGGRIS

Madhusudan Gopalan: Maju Bersama di Pasar Istimewa

Equipped with work ethics and an apt team, Madhusudan Gopalan succeeds to build the base of Procter & Gamble’s business growth in Indonesia.

HAVING been raised in a family that prioritizes the significance of hard work, Madhusudan Gopalan witnessed his parents and uncle worked hard managing their factory. That seeped into the very soul of the 42-year-old Indian man, serving as his provision for leading P&G operations in Indonesia.

“There’s no shortcut. If you want to succeed, work hard for it,” he told Warta Ekonomi team at the office of P&G, Sentral Senayan III, Jakarta in Wednesday afternoon, on March 14, 2018. 

His track record in the FMCG industry is cogent. He has climbed up the career ladder at P&G since 1999, moving from India to the USA and Asean countries. Under his leadership, P&G accelerates its growth in the home products segment.

SUCCESS PERCEPTION

Another key value he learned during childhood is the importance of growing together in a group. “Individual achievements matter but it means nothing if it does not benefits others,” he asserted.

The CEO also found this in Indonesian people where he works. For eight years, he has learned solidarity from his local coworkers. “To Indonesians, success encapsulates one of individual and community,” he said. Thus, he takes pride in seeing his team members growing from the base to the top of the career ladder.

THE RIGHT TEAM

Indonesia is one of the key markets in his career. He is proud of the local team empowerment. And they are also given overseas career opportunities. Another attainment is gender equality. “As evidence,” he said,”50% of the managers and close to 40% of our technicians are women.”

These accomplishments came true thanks to his leadership style emphasizing on the significance of building a right team. “With a right, motivated and capable team, working is much easier,” he remarked. To get maximum results, P&G adopted policies encouraging equality, transparency and flexibility. The work-at-home policy, for instance, enables employees to enhance productivity.

Kudos to his right team, Madhu succeeded to build manufacturing factories worth milllions of US dollars investment. “It’s our contribution to the nation,” the alumni from Indian Instute of Technology, Calcutta, explained.

R&D AS KEY

Madhu is pleased to learn the increasingly favorable business climate in the country. Three years ago regulations used to be his primary source of concern yet in these last few years he has seen much improvement.

Besides that, there are many reasons why he is optimistic. One of them is because Indonesia is a rare type of market; its size is big and the growth rate is swift. “That’s why Indonesia is our focus market,” he claimed.

To win local customers’ heart, he mixes global experience with local insights by means of strong R&D. P&G products sell very well as they manage to solve Indonesian consumers’ problems.

Now his leadership has built a solid foundation of R&D here. “More innovations are expected to keep coming. We’ll also export our products to other markets,” he ended.

“Moving to Indonesia was a big move for my family.”

THAT is what the father of two sons stated. Both are now living with him in Jakarta.

Their move to Jakarta marked a key life event as it was on his first-born son’s second birthday. “Among his first vocabulary was some Indonesian words,” he remembered proudly. Soon after that, his second son was born. It was no wonder Indonesia is like his second home.

What is unique, in retrospect little Madhu never set his ambition of becoming a CEO. He realized how cool it would be to work as a CEO after being an adult, having read business magazines his uncle bought. “I thought those CEOs wearing suits and ties on magazine covers are smart and impressive. They are people making big impact on others’ lives.” Hence, once he graduated from the undergraduate program on Mechanical Engineering, he signed up for an MBA so he would qualify to work at a multinational company and work his way up to the top.

If he is not running or having a good time with his family, Madhu who likes traveling prefers reading books on leadership and self-improvement. “One book I’ll never get bored reading again and again is ‘How to Win Friends and Influence People’ by Dale Carnegie,” he noted. (*/)

Posted in Writing | Tagged , | Leave a comment

Umesh Phadke: Sang Kapten Pemercantik

Umesh Phadke, CEO L’oreal Indonesia bersama penulis. (Foto: Dok. pribadi)

Dengan pengalaman, keberanian dan passion, Umesh Phadke paham benar potensi dan tantangan di Indonesia. Optimismenya yang membuncah terus mendorong L’Oréal Indonesia ke puncak.

BERPENDIDIKAN formal sebagai insinyur, tampak musykil bagi Umesh Phadke untuk tertarik pada industri kecantikan. Namun, pebisnis berkebangsaan India ini berhasil buktikan passion-nya yang tak lekang selama 23 tahun di salah satu perusahaan kosmetik terbesar dunia, L’Oréal.

Apa yang membuatnya bersemangat? Pada suatu malam saat ia menyambangi kediaman seorang teman. Ia bawakan sejumlah produk L’Oréal untuk istri temannya dan terpukau dengan reaksi wanita itu. “Ia begitu gembira sampai menari-nari karena hadiah saya. Itu membuat saya bersemangat dalam bekerja,” ia mengenang.

Ia sadar ini bukan sekadar menjual kosmetik. “Pekerjaan saya juga berkenaan dengan bagaimana membuat orang bahagia, merasa lebih cantik dan bergairah dalam menjalani hidup. Itulah tujuan paling utama saya dalam bekerja,” ungkapnya pada tim Warta Ekonomi di DBS Tower, Jakarta, 23 Maret 2018.

Keberanian

Dengan pengalaman 23 tahun di bisnis FMCG, Umesh berani mengambil keputusan yang berdampak besar. Dulu ia dengan berani beralih ke marketing setelah 7 tahun mendalami penjualan. Langkah itu memperkaya keterampilannya sebagai Presiden Direktur.

Pribadi Umesh sesuai dengan Indonesia yang dinamis. “Indonesia memberikan banyak tantangan. Rantai suplai dan distribusi masih jadi salah satu kendala utama berusaha,” ucapnya.

Namun, kecantikan berkaitan erat dengan optimisme. “Mau krisis atau tidak, perempuan selalu merawat diri,” Umesh berpendapat. Ia perhatikan pertumbuhan ekonomi negara ini bisa membantu pertumbuhan bisnis perusahaan. “Industri ini tumbuh 1,5 hingga 2 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi. Indonesia punya banyak populasi muda, yang masuk pasar tenaga kerja dan berharap tampil menawan, dan untuk itu mereka butuh produk perawatan kecantikan.”

Pemerintahan saat ini juga banyak membantu. Ia menekankan,”Pemerintahlah ‘resep rahasia’ yang membantu menggali semua potensi dengan visi dan kerja kerasnya.”

Ia punya cara unik untuk optimalkan modal budaya lokal agar lebih berani. “Di kantor, kami gabungkan budaya asal, sosial dan perusahaan. Jadi sambil menjaga keselarasan, saya ingin orang menjadi makin berani juga.”

Universalisasi

Umesh meyakini universalisasi: mendunia sekaligus menghormati hubungan, kebutuhan dan konsumen lokal. Oleh sebab itu, L’Oréal memasarkan produk berbeda untuk tiap pasar. Contohnya untuk pasar Indonesia, mereka menjual produk dalam sachet dengan harga terjangkau.

Untuk merengkuh pasar, L’Oréal berupaya pahami konsumen lewat interaksi di banyak kota, mengumpulkan masukan dan menerjemahkannya sebagai penyempurnaan di lab litbang. Misalnya, dengan naiknya minat pada kosmetik halal, beberapa produk L’Oréal yang dijual di sini pun sudah bersertifikat halal.
Pengembangan dari dalam dan luar menjadi rencananya untuk memimpin pasar. Di dalam ia melatih talenta lokal dengan pendekatan daring. Di luar ia fokus pada pemasaran digital dan ecommerce sebagai jawaban atas masalah distribusi.

“Ibu berperan penting dalam menjadikan diri saya sebagaimana sekarang.”

UMESH mengingat mendiang ibunya yang ia pandang sebagai panutan dalam mendidik anak. Ia senantiasa membawa foto sang ibu dan dengan bangga menceritakan hal-hal yang pernah ibunya ajarkan padanya.

Sementara itu, ayahnya membantu Umesh sebagai pribadi yang terbuka pada hal-hal baru. “Saya boleh meminta ayah membelikan buku apa saja,” ia mengenang saat ayahnya membawa dirinya ke toko buku.

Tak heran Umesh sangat menggemari buku. Ia membaca buku dari beragam genre, dari fiksi sampai buku perjalanan. Lain dari banyak orang yang membaca satu buku saja dalam sekali waktu, ia membaca banyak buku dalam waktu bersamaan. Tahun ini ia luncurkan klub bukunya sendiri untuk pegawai L’Oréal yang suka membaca juga.

Sama beraninya dalam memilih buku, Umesh juga dikenal sebagai pelancong yang pemberani. Ia suka mengunjungi tempat-tempat yang paling jarang dikunjungi turis. “Desember lalu saya sempat ke Antartika,” imbuhnya.

Sebagai fotografer yang antusias, Umesh sebelumnya telah menggelar pameran foto untuk tujuan pengumpulan dana amal saat masih bekerja selama 5 tahun sebagai Country Managing Director di Bangkok. Ia telah menerbitkan buku fotonya sendiri yang isinya foto-foto perjalanan di India. (*/)

VERSI BAHASA INGGRIS

UMESH PHADKE: THE BEAUTIFICATION CAPTAIN

Armed with his experience, courage, and passion, Umesh Phadke fully grasps the potential and challenges of Indonesia. His teeming optimism keeps propeling L’Oréal Indonesia towards the peak.

EDUCATED formally as an engineer, it seemed unlikely for Umesh Phadke to be interested in the beauty care industry. Yet, the Indian business leader has managed to prove his unwavering passion for the last 23 years at one of the world’s greatest beauty care companies, L’Oréal. 

What makes him passionate? One night he visited a friend. He brought some L’Oréal products for his friend’s wife and was stunned by her response. “She couldn’t contain her joy and danced around the house because of my gifts. That reaction made me passionate about my job,” he remembered. 

It dawned on him his work entails more than selling cosmetics. “It’s also about making others happy, feel more beautiful and excited about life. That’s the highest purpose of my work,” he told Warta Ekonomi team at DBS Tower, Jakarta, on March 23, 2018.

Boldness

The 23-year veteran of the FMCG business dares to make impactful decisions. Back then he boldly reinvented himself as a marketer after 7 years in sales. It enriched his skills as a country manager later on.

His character suits the dynamic Indonesian market. “Indonesia gives many kinds of challenges. Supply chain and distribution are still major issues,” he stated.

Beauty, however, is about optimism. “In good and bad times, women take care of their beauty,” Umesh argued. He noticed the country’s fast economic growth may aid the company’s business growth. “The beauty care industry grows 1.5 to 2 times of the economic growth. Indonesia has a young populace, too. They enter the job market hoping to look and feel good, and to do so they need beauty care products.”

The current administration also lifts the morale. He emphasized, “It’s the ‘secret sauce’ that helps unlock all potentials with their vision and hard work.”

He has a unique way to embolden local cultural capital. “At work we need to bring a nice blend of home, social and organizational cultures. So while keeping harmony, I want them to be more courageous too.”

Universalization

Umesh has faith in universalization: going global while respecting local relevance, needs and consumers. For that reason, L’Oréal sells different products in different markets. For example for the Indonesian market, it sells products in sachets at affordable prices.

To capture the market, it makes continuous efforts to understand consumers by interacting with consumers in many Indonesian cities, gather insights, and translate them into improvement at R&D labs. For instance, as halal cosmetics gains traction, some of L’Oréal Indonesia’s products have been halal-certified. 

Developing organization from inside and outside is his next plan to lead the market. Internally, he trains local talents using an online approach. Externally, he focuses on digital marketing and ecommerce as solutions to the country’s distribution drawback.

“My mother played an important role in developing me into who I am today.”

UMESH remembered his late mother whom he deems his best role model in parenting. He always keeps his mother’s photograph and proudly said to others what his mother had taught him.

Meanwhile, his father shaped Umesh as an intellectually adventurous man. “There’s no book in the world that I couldn’t ask for,” he recalled times whenever his father took him to bookshops.

It is no wonder Umesh has a penchant for books. He reads books of various genres, from fiction to travelogues. Unlike most readers focusing on a single book at a time, he reads several books simultaneously. This year he launched his own book club for employees sharing the same passion of soaking in ocean of words.

As daring as he can be in selecting books, Umesh is also known for being a fearless traveler. He has been to least touristy places on earth. “Last December I just went to Antartica,” he added.

Being an avid photographer as well, Umesh has previously staged some photo exhibitions for social cause fundraising during his 5-year stint as Country Managing Director in Bangkok. He has self-published a photo book containing photos taken along his trips in India. (*/)

Posted in Writing | Tagged , , | Leave a comment

Asyiknya Membaca Karakter Orang dari Bagian Tubuhnya

Karakter manusia berkaitan erat dengan tampilan fisiknya. (Sumber gambar: Freepik)

Orang Barat berfatwa: “Jangan nilai buku dari sampulnya” dan menurut saya itu adalah kebohongan publik terbesar sepanjang sejarah. Siapapun tahu penampilan selalu dianggap penting oleh manusia dari dulu zaman Nabi Adam sampai detik ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda: “Carilah kebutuhan dari orang-orang berwajah rupawan.” 

Dengan berpegangan pada proposisi bahwa penampilan fisik/ raga manusia juga sama pentingnya dengan jiwa yang mengisi di dalamnya, saya pun tertarik untuk belajar sekilas ilmu firasat. Dari buku Kitab Firasat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari Bentuk Tubuhnya yang berjudul asli Al-Firsah: Dalluka il Ma’rifah Akhlq an-Ns wa Thabi him wa ka annahum Kitbun Mafth karya Imam Fakhruddin ar-Razi, saya menemukan secuil pengetahuan yang bisa diaplikasikan tatkala bertemu dengan orang-orang baru.

Dijelaskan oleh sang pemeriksa buku bernama Mushtafa ‘Asyur dalam pengantar buku ini bahwa ilmu firasat ini bukanlah kesyirikan. Dengan kata lain, ilmu firasat lain dari pembacaan khodam yang akhir-akhir ini ngetren di TikTok Live.

Ia menyebutkan ada setidaknya ada 4 sosok dalam agama Islam yang konon memiliki ketajaman membaca karakter orang dari bagian badannya, yakni Al Aziz (ayah angkat Nabi Yusuf AS), putri Nabi Syuaib AS, dan Abu Bakar Shiddiq RA (sahabat Nabi Muhammad SAW), serta istri Firaun yang mengangkat Nabi Musa AS sebagai anaknya. Ilmu firasat mereka ini tak bisa dipelajari karena itu berasal dari ketajaman nurani yang dilimpahkan Allah SWT.

Adapun Firasat Khalqiyyah yang akan dibahas sekelumit di tulisan ini adalah ilmu firasat yang bisa dipelajari oleh manusia awam seperti kita dengan pengamatan bentuk anggota badan.

Percaya atau tidak, bentuk badan bisa menunjukkan sifat-sifat terpuji, tercela, tingkat kecerdasan/ kebodohan, emosi yang sering dipendam, kecenderungan-kecenderungan perilaku dan potensi penyakit yang ada dalam diri seorang manusia.

Membaca Seluruh Wajah

Kita mulai dari dahi dulu sebagai bagian terasa wajah manusia. Dahi yang berkerut dan rata menunjukkan karakter pemarah. Dahi yang sempit dan kecil menunjukkan kecerdasan yang rendah. Dahi besar bisa berarti pemalas dan pemarah (otak terlalu panas akibat sering marah). Dahi yang terlalu banyak kerutan berarti pertanda sombong. Dahi yang rata dan kencang tanpa kerutan menunjukkan watak pengacau. 

Kemudian alis. Alis lebat menandakan seseorang kerap berduka dan sering berkata buruk. Sementara itu, alis miring dari hidung ke bawah dan dari pelipis ke atas berarti ada watak sombong dan bodoh. Bentuk alis yang melengkung menandakan watak penipu, pembohong. Mata yang indah dan cantik bagi pria dipandang sebagai cacat karena itu seharusnya dimiliki wanita, setidaknya menurut kepercayaan masyarakat Arab Kuno. 

Lalu mata. Mata yang besar artinya pemalas karena banyak kelembapan dalam otak dan mirip dengan mata kerbau. Mata yang melotot berarti bodoh dan terlalu suka berbicara. Mata yang cekung artinya ada watak jahat. Mata yang terlalu menonjol keluar dianggap tercela. Orang yang berjiwa baik memiliki mata yang agak cekung ke dalam. Mata yang bergerak cepat dan tajam menandakan potensi berbuat makar, penipuan dan pencurian. Gerak mata yang lamban menunjukkan terlalu banyak berpikir. Mata yang banyak bergerak dan kecil berarti ada kecenderungan bertindak jahat. Mata yang banyak bergerak tapi besar menunjukkann potensi kebodohan. Mata yang tak bergerak menandakan adanya penyakit atau sifat penakut. Mata yang warnanya mirip mata kambing betina artinya bodoh. Pandangan mata pria yang mirip pandangan mata wanita menandakan nafus birahi yang tinggi. Orang dengan pandangan mata bak anak kecil yang banyak senyum dan gembira menandakan potensi panjang umur. Mata yang mirip sapi menunjukkan kebodohan.

Masih soal mata. Warna mata yang sangat hitam berarti penakut. Warna merah artinya pemarah. Warna biru atau putih artinya penakut. Mata yang jernih artinya bodoh. Mata yang menonjol artinya tak tahu malu. Warna kuning menunjukkan sifat pengecut. Warna biru dan di tengahnya ada warna kuning menunjukkan akhlak buruk. Titik-titik yang banyak di sekitar pupil menandakan sifat jahat. Pupil hitam dengan garis seperti lingkaran menyiratkan watak jahat dan suka berbicara. Pupil hitam dengan bercak kuning menunjukkan kecenderungan membunuh dan melukai orang lain. Warna biru atau hijau menunjukkan watak hina. Dan pupil mata dengan bercak merah pertanda watak paling jahat dan buruk. Warna mata biru yang hijau berarti watak pengkhianat/ penjahat. Mata bersinar dan berkilap menandakan hobi bersenggama. Mata yang terbaik dan ideal ialah warna syahlah (kebiru-biruan) karena dianggap sebagai warna pertengahan antara hitam, biru dan hijau.

Kita beralih ke hidung. Hidung dengan ujung lancip mirip anjing menunjukkan sifat suka bermusuhan, peragu, dan meremehkan apapun. Hidung yang atasnya tebal mirip babi menunjukkan kepekaan indrawi yang rendah. Hidung tebal dan terlihat berisi bak hidung kerbau menunjukkan kurang pengetahuan. Hidung pesek  bak unta menunjukkan tingginya birahi. Hidung dengan lubang besar berarti ada sifat pemarah. Hidung yang melengkung dari dahi mirip paruh gagak menunjukkan sifat tak tahu malu. Hidung melengkung bak paruh elang menunjukkan jiwa yang baik. Hidung yang dalam dan dahinya membulat menunjukkan nafsu seksual yang tinggi.

Kemudian ke mulut. Mulut lebar artinya syahwatnya tinggi. Bibir tebal artinya bodoh dan keras kepala. Bibir yang pucat menandakan badan lemah dan sakit-sakitan. Bibir tipis dan lemas bak bibir harimau menunjukkan kebajikan. Bibir tipis di bagian gigi taring mendakan badan yang kuat. Bibir yang atasnya tebal menunjukkan kebodohan. Gigi yang mudah tanggal dan renggang menandakan badan yang lemah. Gigi taring yang panjang dan kuat menandakan ketamakan dan sifat jahat.

Wajah juga memiliki artinya sendiri. Wajah gemuk menandakan malas dan bodoh mirip kerbau. Pipi gemuk menunjukakn keras kepala. Wajah kurus menunjukkan ketelitian pada segala hal (banyak berpikir sehingga badan kering). Wajah bulat menunjukkan bodoh dan berjiwa hina. Wajah besar menunjukkan rasa malas. Wajah kecil menunjukkan watak hina dan busuk serta suka merayu dan manja. Wajah buruk menandakan buruknya akhlak meski ada pengecualian pada sebagian kecil orang.  Wajah panjang tandanya tak tahu malu. Pelipis yang menonjol dan tenggorokannya seolah penuh menandakan sifat pemarah. 

Cara seseorang tertawa juga bisa menandakan bagaimana wataknya. Terlalu banyak tertawa tandanya suka menganggap remeh urusan-urusan dan egois. Tak banyak tertawa artinya suka melanggar batasan dan aturan. Tertawa yang terlalu keras artinya tak tahu malu dan ucapannya sering menyakiti orang. Tertawa sampai batuk menandakan watak tak tahu malu dan suka membual/ besar mulut.

Telinga juga menandakan sejumlah kecenderungan sifat manusia pemiliknya. Telinga yang besar bak keledai artinya bodoh tapi panjang usia.

Leher juga menjukkan watak. Leher yang tebal dan berisi menunjukkan karakter yang kuat. Leher kurus menandakan badan yang lemah. Leher tebal dan penuh biasanya orangnya mudah marah. Leher yang terlihat pas dan seimbang menandakan jiwa yang baik. Lalu leher yang kecil dan panjang artinya penakut. Leher yang sangat pendek biasanya menunjukkan suka bertipu muslihat.

Membaca Penampilan Badan

Sekarang kita beralih ke tampilan badan secara keseluruhan alias perawakan. Orang dengan perawakan gemuk dan keras artinya sensitivitas dan pemahamannya kurang bagus. Sementara itu, mereka yang berbadan lembek malah menunjukkan bagusnya pemahaman dan sifat. Tubuh kurus dan tulang kuat menunjukkan terbiasa berburu bak anjing dan harimau. Perut bawah yang kecil menandakan kekuatan yang baik. Sebaliknya perut bawah yang menggembung artinya badan yang lemah.

Kita beralih ke punggung. Tulang belakang/ punggung yang seimbang/ sedang menandakan jiwa yang kuat. Tulang punggung yang kecil dan lemah menandakan jiwa yang lebih. Tulang rusuk yang ukurannya sedang berarti jiwa yang kuat dan sebaliknya. Tubuh yang gemuk menunjukkan watak banyak berbicara. Area perut yang lebih besar menunjukkan kegemaran makan yang berlebihan dan kecerdasan yang kurang. Sendi yang kokoh dan dada tebal menandakan jiwa yang kuat dan sebaliknya.

Perut juga penting. Perut yang gembur dan lunak menendakan akal yang baik. Perut yang besar menunjukkan nafsu seks yang tinggi. Tulang iga yang kecil menunjukkan hati yang lemah.

Punggung juga menunjukkan kecenderungan watak. Jika menonjol, maka sifat orangnya kuat. Jika besar, orang itu suka marah. Jika cekung, orangnya bersifat buruk. Punggung rata dianggap menunjukkan sifat baik. Bahu yang kecil dikaitkan dengan kecerdasan yang rendah dan sebaliknya bahu lebar menjadi tanda kecerdasan tinggi. Pangkal bahu yang tinggi menjadi tanda kecerdasan rendah.

Untuk lengan, kita akan bahas panjangnya. Jika panjang lengan mencapai lutut, artinya si pemilik badan berjiwa bagus. Tapi jika terlalu pendek, artinya orang itu suka hal jahat dan pengecut. Telapak tangan lembek menunjukkan seseorang lekas paham dan belajar mudah. Tapi telapak tangan yang terlalu pendek berarti bodoh. Telapak tangan yang sangat mungil artinya terlalu banyak bicara dan kecerdasannya kurang.

Kita sampai ke telapak kaki, yang jika gemuk dan keras berarti kemampuan memahami rendah. Te lapak kaki kecil dan indah menunjukkan kesombongan. Mata kaki kecil tandanya pengecut. Mata kaki besar artinya orang itu kuat. Telapak kaki besar dan kokoh artinya jiwa orang itu kuat. 

Untuk betis, betis yang tebal dan gemuk artinya bodoh dan tak tahu malu. Betis yang kekar berotot ialah jiwa yang kuat. 

Kemudian kita bahas lengan. Jika lengan kekar, artinya jiwanya kuat. Lengan yang gemuk artinya jiwanya lemah. 

Paha juga ada artinya. Bentuk paha gemuk dan penuh artinya jiwanya lemah. 

Bagaimana dengan bokong? Pemilik bokong besar berarti kuat dan perkasa. Bokong yang gemuk berisi menunjukkan jiwa yang lemah. Bokong yang rata dan kempes menunjukkan buruknya akhlak. 

Tentu ini semua tak berlaku secara absolut atau pasti 100% benar dan valid. Kita perlu membaca ini semua dengan mengingat bahwa ini hanya panduan kasar dan umum, tidak bisa menjelaskan secara akurat dan tepat. 

Namun demikian, kita bisa anggap panduan ini sebagai rambu-rambu untuk mewaspadai saat bertemu dengan orang baru. Selamat membaca manusia! (*/)

Posted in Blog | Tagged , , , | Leave a comment

3 Alasan Mengapa Pelabelan Kandungan Gula Bisa Sia-sia Belaka

Pelabelan kandungan gula di makanan kemasan baru akan diberlakukan. Sebuah langkah yang percuma? (Sumber gambar: Freepik)

Saat mendengar kabar bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI akan memberlakukan aturan khusus untuk mendorong produsen makanan kemasan untuk mencantumkan label warna khusus kadar kandungan gula dalam produk minuman kemasan, banyak orang merasa gembira.

Saya merasa skeptis terhadap efektivitas rencana tersebut dalam menanggulangi naiknya tren kasus diabetes di kaum dewasa muda dan anak-anak dan berpendapat bahwa upaya pelabelan semacam itu kurang efektif.

Sebelumnya mari kita bahas makin gentingnya kondisi kesehatan bangsa ini akibat naiknya jumlah kasus diabetes. Dikutip dari laman fkm.unair.ac.id, diabetes di kelompok usia anak-anak di Indonesia menjadi masalah kesehatan yang semakin serius, yang artinya juga mengancam masa depan bangsa dan bisa membebani masyarakat di masa depan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi dari 0,04% (2007) menjadi 0,2% (2013), yang berarti sekitar 1 dari 500 anak Indonesia menderita diabetes. Diabetes melitus tipe 1, di mana tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup, adalah jenis yang paling umum pada anak-anak.

Faktor risiko utama meliputi obesitas, keturunan, pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan diabetes di kalangan anak dan keluarga juga dapat memperburuk kondisi.

Kenapa saya bisa berpendapat demikian? Berikut adalah 3 alasan saya.

Literasi Rendah

Alasan pertama saya adalah tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih relatif rendah. Coba Anda tanya pada pembeli makanan kemasan di toko-toko kelontong atau convenient store yang merambah di daerah-daerah pelosok, pernahkah mereka membaca label kandungan gizi di kemasan makanan yang akan mereka makan atau berikan pada bayi atau anak-anak mereka? Kalaupun mereka sudah baca, apakah mereka paham dan bisa menakar dan mengetahui batasan konsumsinya? Saya sendiri ragu. Jangankan yang buta huruf, yang melek huruf belum tentu bisa paham dan peduli dengan informasi gizi makanan/ minuman kemasan. Apalagi ukuran huruf informasi gizi begitu mikroskopis, bak jasad renik sehingga mata orang dewasa umur 40-an ke atas sudah menyerah untuk membacanya tanpa kacamata. Pokoknya enak, kenyang, segar, murah, sudah itu saja. Taruhan, itulah yang ada di benak banyak konsumen Indonesia.

Pengamalan Rendah

Alasan kedua ialah tingkat pengamalan pengetahuan kesehatan masyarakat yang masih rendah. Kita semua sudah diajari menu sehat di sekolah sejak kecil dan pasti sudah pernah membaca informasi cara makan sehat di buku, majalah, atau internet kapan saja di mana saja dan gratis pula tapi toh banyak orang memilih untuk makan sesuai selera mereka dan mengabaikan prinsip makan dan minum yang sehat, bukan?

Anda bisa melihat salah satu buktinya di video TikTok ibu Utti yang viral ini. Di sini ia dengan bangga menunjukkan anaknya yang membawa bekal nasi dan makanan olahan seperti mi instan dan nugget ayam dengan porsi ganda. Tanpa sayur dan buah. Anaknya terlihat suka dengan makanan instan tadi karena mungkin sudah dibiasakan sejak kecil untuk makan dengan menu seperti itu. Anak itu tampak gemuk, berisi. Tapi apakah jika diperiksa ia benar-benar sehat? Saya sungguh sangsi.

@ibuk.utti Replying to @kodokatlantis75 katanya pake mi dabel bun,,,jadi deh bekal dan sarapan si adek #rekomendasisarapan DJ MASHA AND THE BEAR – DJ JEDAG JEDUG

Di sini kita bisa melihat gagalnya pendidikan di sekolah kita untuk mengubah pola makan dan cara makan masyarakat agar lebih sehat. Mungkin kita hapal menu 4 sehat 5 sempurna, manfaat vitamin A sampai K dan jenis makanan yang mengandung vitamin itu semua, tapi faktanya di meja makan kita tersajinya makanan instan dan kalengan. Tidak ada makanan segar sedikitpun di kulkas.

Ketidakmampuan Berpikir Jernih

Alasan ketiga ialah orang Indonesia yang sudah paham pun masih akan tergoda untuk memilih makanan yang bergula tinggi jika produk itu tersedia. Dengan kata lain, keras kepala. Karena sekali mencandu makanan manis, seseorang akan terus menerus mengkonsumsinya. Jadi bisa saja label kandungan gula itu sudah ada dan orang sudah membaca tapi toh masih saja keras kepala memilih makanan tadi karena otak sudah tak bisa berpikir jernih dan tak bisa memikirkan efek jangka panjang. Ini fakta di lapangan, bukan omong kosong saya saja. Bahkan mereka yang sudah sakit diabetes, begitu divonis, masih curi-curi makan yang harus dijauhi dengan alasan tak bisa lagi menikmati hidup jika berpantang ‘semua’ makanan favoritnya tadi. Jadi saya pikir, sekali lidah seseorang sudah terbiasa dengan jenis makanan tertentu di masa kecilnya, maka akan susah sekali untuk mengubah preferensi makanan itu saat ia sudah terlanjur dewasa apalagi jika sudah lansia. 

Lalu apa jalan keluarnya? Menurut saya, akan lebih efektif jika pemerintah mewajibkan semua produsen mengurangi kandungan gula di produk kemasan mereka yang dijual bebas. Ini adalah cara yang tercepat dan paling efektif jika mau mencegah bangsa ini loyo akibat diabetes di masa datang. 

Bagaimana dengan upaya edukasi dan pencegahan? Tentu saja edukasi harus masih dilakukan tetapi kita harus realistis bahwa cara itu bakal memakan waktu lama untuk melihat hasilnya. Untuk mengubah perilaku masyarakat yang sudah ‘memfosil’ atau sulit untuk diubah begini, kampanye edukatif dan preventif terasa lamban dan malah membuat kita nanti akan makin terbelit wabah diabetes. Karena harus dipahami juga bahwa pencegahan diabetes tak cuma soal menjauhi makanan manis. Tak sesederhana itu. Sebab ada begitu banyak faktor lain. Jangan sampai kita melupakan olahraga, pengubahan pola dan bahan makanan serta minuman sehari-hari, dan sebagainya. (*/)

Posted in life | Tagged , , , , | Leave a comment

“Clean”: Bagaimana Mandi Tanpa Sabun Memperbaiki Kesehatan Anda

Buku “Clean” tulisan James Hamblin, seorang dokter yang mengingatkan pentingnya peran mikrobioma kulit untuk kesehatan. (Sumber gambar: goodreads)

Siapa di antara Anda yang berpikir: “Mandi ya harus pakai sabun!”. Setelah membaca artikel ini, pemikiran Anda bisa jadi akan berubah 180 derajat. 

Adalah James Hamblin, seorang pria yang mengklaim dirinya selama 5 tahun terakhir mandi tanpa sabun. Pernyataannya sangat kontroversial mengingat profesinya adalah seorang paramedis, mantan jurnalis The Atlantic, serta dosen kesehatan masyarakat. Tentu ia memiliki alasan kuat dan logis mengapa ia menghindari sabun dan segala produk yang mengandung sabun.

Setiap ia mengaku tak pernah mandi pakai sabun, orang-orang penasaran apakah ia punya bau badan. Ternyata tidak. Ia tidak memiliki bau badan yang menyengat tetapi juga tidak wangi semerbak bak habis mandi dengan senyawa parfum (yang sebenarnya juga terkandung dalam sabun-sabun yang dijual bebas). Dan meski ia menyarankan mandi tanpa sabun, ia tetap mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menjalankan prosedur medis.

Menjaga Mikrobioma Alami Kulit

Dalam buku berjudul Clean yang ia tulis, Hamblin menjelaskan betapa kita selama ini sudah dibodohi industri skincare dan personal care karena sejatinya mandi yang bersih itu sebenarnya tak perlu pakai sabun. Cukup dengan membasuh badan dengan air bersih dan menggosok kulit. Sesimpel itu mandi sebetulnya. Nenek moyang kita melakukannya sudah lama.

Dan Hamblin kemudian menemukan dalam penelitiannya bahwa penggunaan sabun saat mandi apalagi secara berlebihan (saya pernah mendengar ada orang yang bangga mandi 3-4 kali sehari demi kebersihan dan tercium wangi) bisa memberangus keberadaan mikrobioma kulit yang berharga untuk kesehatan badan.

Seperti kita ketahui, masyarakat modern dibombardir dengan pesan bahwa bakteri dan virus adalah musuh besar manusia. Tapi nyatanya, tak semua bakteri dan virus itu jahat alias merugikan kesehatan. Kita harus membuka mata dan menerima fakta bahwa ada juga jenis bakteri dan virus dalam tubuh dan permukaan kulit yang justru kalau mereka kita basmi, kita juga yang bakal merugi. 

Hamblin meneliti bahwa pemikiran bahwa semua bakteri dan virus harus kita basmi itu berasal dari pesan marketing produsen-produsen sabun dan perawatan kulit yang mengklaim demikian dengan tujuan bisa menjual produk mereka sebanyak mungkin. Untuk membuktikannya, Hamblin meneliti iklan-iklan sabun yang disebarluaskan sejak abad ke-20 saat perusahaan besar seperti Procter and Gamble dan Unilever secara masif mengkampanyekan hidup sehat tanpa bakteri dengan penggunaan sabun setiap hari.

Sabun bisa membunuh mikrobioma yang bermanfaat. Salah satu contoh jenis mikrobioma atau bakteri baik itu adalah Staphylococcus epidermis, yang menurut sebuah studi oleh tim University of California, San Diego, yang dipimpin dermatolog Richard Gallo, secara alami sudah berkembang biak di kulit manusia. Tanpa bakteri ini, kita bakal lebih rentan kena kanker kulit sebab bakteri tersebut mengeluarkan senyawa yang disebut 6-N-hydroxyaminopurine yang membidik sel tumor dan mencegah DNA kita melakukan replikasi, demikian tulis Hamblin di bab pertama bukunya.

James Hamblin menguak pentingnya mikrobioma alami kulit yang bermanfaat dan bagaimana pembatasan penggunaan sabun bisa mempertahankan mikrobioma tadi./BBC

Mengenal Mikrobioma Kulit

Nah, di permukaan kulit kita ini (sebagaimana di dalam usus dan beberapa bagian badan lain) juga ada sebuah ekosistem yang halus dan rapuh, yang terdiri dari bakteri, jamur, kutu dan bahkan virus yang membantu kita bisa tetap sehat.

Makhluk-makhluk jasad renik ini menumpang hidup di atas dan dalam kulit kita tanpa merugikan kesehatan kita. Mereka makan dan bertahan hidup dari keringat yang keluar dari pori-pori kita. Mereka juga melahap minyak alami yang dikeluarkan badan sepanjang hari. Dan mekanisme ini sudah berlangsung sejak zaman dulu kala. Sangat alami, cuma kita saja yang tak pernah ketahui.

Hebatnya, meski ada sebagian mikroba ini yang cuma menumpang tanpa memberikan efek buruk bagi kesehatan, ada juga sebagian kelompok mikroba tadi yang justru berperan penting untuk mencegah datangnya masalah kesehatan. Ini bisa dipahami sebab kulitlah organ pertama yang menjadi perisai tubuh terhadap serangan bibit penyakit.

Dan penggunaan sabun yang terlalu banyak di sekujur tubuh saat mandi bisa memberangus populasi mikroba baik di kulit ini hingga kemudian muncul beragam masalah kesehatan. Masalah kulit seperti jerawat, eksim, psoriasis menurut Hamblin adalah sejumlah masalah yang bisa jadi terjadi akibat musnahnya mikrobioma kulit ini. Saya mengamini karena saya juga menemui beberapa orang yang mengaku sering coba-coba eksperimen skincare ini itu, sabun ini itu, lalu jerawatnya malah makin parah. Begitu berhenti pakai produk apapun, malah lebih bagus kondisi kulitnya. 

Hasil Eksperimen Saya

Saya sendiri pernah mencoba untuk mandi tanpa sabun dan shampo (sebagai gantinya saya pakai air lemon/ jeruk nipis untuk hilangnya minyak di rambut yang lepek) selama beberapa waktu dan memang tidak ada orang yang mengeluh saya makin bau. Semua orang masih mendekat saat bertemu, memeluk, dan berinteraksi seperti biasa. 

Memang harus diakui bahwa ada kalanya saya harus menggunakan sabun sebab badan berkeringat dan mengeluarkan minyak dan ditempeli debu jalanan secara kolosal. Mandi dengan air bersih saja dan menggosok terasa kurang. Maka saya putuskan untuk menggunakan sedikit sabun saja di area-area yang rawan bau badan yakni ketiak, leher belakang, dada, selakangan dan bokong. Saya gosok-gosok berulang kali dan bilas. Jadi tidak melumuri sabun ke sekujur badan. 

Saya baru mandi dengan sabun di sekujur badan jika dan hanya jika merasa sangat kotor misal sehabis melakukan perjalanan antarkota yang panjang dan lama yang membuka risiko adanya bakteri atau virus parasit atau patogen yang membahayakan. Tapi ini adalah sebuah ritual yang saya anggap istimewa, bukan sehari-hari. 

Selain menjaga mikrobioma alami kulit, mandi tanpa atau dengan menggunakan sedikit sabun saja juga ternyata membantu saya menghemat anggaran pembelian sabun dan produk perawatan diri. Kenapa? Karena begitu saya mengurangi penggunaan sabun, saya juga bisa mengurangi anggaran pembelian lotion atau produk pelembap kulit. Sebab kulit akan terasa sangat kering (ditambah jenis kulit saya yang begitu kering) selesai mandi. 

Saya dulu sering merasa kering dan kesatnya kulit itu sebagai tanda kulit yang bersih tetapi seiring dengan berjalannya waktu, saya paham bahwa itu pemikiran yang sesat. Justru kelembapan kulit saya yang berkurang drastis dan tak seharusnya itu terjadi. Kulit saya malah makin keriput lebih cepat kalau minyak sebum dan kelembapan alami kulit terangkat begitu banyak oleh penggunaan sabun yang terlalu liberal di kulit.

Jadi, bagaimana? Apakah Anda juga berminat mengurangi penggunaan sabun? (*/)

Posted in life | Tagged , | Leave a comment

Waspadai Bahaya Kesehatan Bahan Kimia Pengganggu Endokrin

Penyakit diabetes mellitus dianggap menjadi wabah yang meresahkan masyarakat Indonesia saat ini. Makanan dan minuman manis pun disalahkan karena dianggap memicu penyakit ini pada anak-anak dan anak muda. Sampai pemerintah mewacanakan rencana pelabelan kandungan  gula pada  makanan kemasan yang dijual bebas.

Tapi banyak orang lupa bahwa pemicu diabetes melitus bukan cuma pola makan dan pola hidup yang kurang sehat, yang disebut diabetes melitus tipe 2. Karena ada juga orang yang terkena diabetes melitus tipe 1. Diabetes tipe 1 ini termasuk dari sekian banyak penyakit yang berkaitan dengan sistem endokrin manusia. 

Sistem endokrin sendiri adalah sistem yang tersusun dari sejumlah jaringan kelenjar yang menghasilkan dan melepaskan hormon pengontrol sejumlah fungsi tubuh. Sistem endokrin terdiri atas kelenjar adrenal, hipotalamus, ovarium, pankreas, paratiroid, kelenjar pineal, kelenjar hipofisis, testis, timus, dan tiroid. Sistem endokrin memungkinkan tubuh untuk tumbuh dan berkembang, mengatur metabolisme, mengatur fungsi seksual, sampai suasana hati.

Picu Banyak Penyakit

Berdasarkan sebuah laporan berjudul “Endocrine Disrupting Chemicals: Threats to Human Health“, diketahui bahwa ancaman terhadap kesehatan sistem endokrin manusia  makin meluas dengan penggunaan beragam bahan kimia yang diketahui memicu gangguan sistem endokrin jika manusia terpapar pada zat-zat tersebut. Inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya jumlah kasus penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sistem endokrin seperti diabetes mellitus tipe 1, yang sedang terjadi saat ini di banyak negara di dunia.

Menurut data yang dihimpun Endocrine Society dan International Pollutants Elimination Network (IPEN), dinyatakan bahwa paparan bahan kimia pengganggu endokrin bisa berasal dari empat sumber yakni penggunaan bahan plastik, pestisida, produk konsumen (termasuk produk anak-anak), dan zat per- dan polifluoroalkil (PFAS).

Peneliti dan ilmuwan Andrea C. Gore, PhD, dari University of Texas di Austin yang fokus meriset soal isu ini juga menjelaskan bahwa bahan kimia pengganggu endokrin yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari kita membuat kita lebih rentan terhadap gangguan reproduksi, kanker, diabetes, obesitas, penyakit jantung, dan kondisi kesehatan serius lainnya. Gore juga merupakan anggota Dewan Direksi Endocrine Society. 

Ia menambahkan bahwa paparan bahan-bahan kimia ini bisa menimbulkan risiko yang sangat serius bagi para ibu hamil dan anak-anak. 

Kesadaran terhadap bahaya paparan zat-zat kimia pengganggu kinerja endokrin ini sayangnya masih sangat rendah di tengah masyarakat Indonesia.

Kesadaran yang rendah itu masih ditambah dengan pesatnya laju produksi global plastik dan pestisida meskipun para ilmuwan sudah memperingatkan bahwa polusi kimia dan plastik akan memicu krisis kesehatan yang makin meluas dan meningkat di muka bumi. 

Jenis-jenis Bahan Kimia Pengganggu Endokrin

Tercatat ada sejumlah bahan kimia yang memiliki kaitan erat dengan gangguan endokrin. Berikut adalah beberapa di antaranya.

Yang pertama ialah glyphosate, zat herbisida yang paling banyak digunakan di dunia. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa glyphosate memiliki delapan dari sepuluh karakteristik utama bahan kimia pengganggu sistem endokrin. Studi lain menemukan adanya hubungan antara glyphosate dan gangguan terhadap sistem reproduksi. 

Kedua ialah bisphenol A (BPA) yang relatif populer akibat pemberitaan media. BPA ini dapat ditemukan pada berbagai kemasan makanan dan minuman masa kini yang terbuat dari bahan plastik polikarbonat dan resin epoksi.

Ketiga yakni zat phthalates, yang berfungsi membuat plastik lebih fleksibel dan tahan lama. Anda bisa terpapar zat satu ini dari penggunaan produk mainan anak, kemasan makanan sehari-hari, kemasan skincare dan shampo serta cat kuku.

Keempat yakni dioksin, yang terbentuk dari proses pembakaran sampah dan produksi pestisida. Semua ini bisa didapatkan akibat pembakaran sembarangan maupun pembakaran proses industri.

Kelima ialah paraben, yang terkandung dalam beragam produk kosmetik dan perawatan kulit seperti lotion dan deodoran.

Keenam yakni polychlorinated biphenyls (PCBs) yang luas dipakai di bidang industri dan perdagangan. Sudah ada negara-negara yang melarang penggunaan bahan kimia ini tetapi tampaknya Indonesia belum. 

Ketujuh ialah polybrominated diphenyl ethers (PBDEs). Zat kimia satu ini digunakan sebagai bahan pencegah api dalam produk elektronik, pakaian, dan furnitur. (*/)

Posted in Latest news | Tagged , , | Leave a comment

Simalakama Industri Media: Cetak Surut, Online Susah Cuan

Pada tanggal 17 Juli 2024 lalu, dirilis sebuah pengumuman mengenai ditutupnya penerbit majalah berita mingguan Gatra yang dianggap sebagai salah satu media cetak terkemuka di Indonesia. Mereka secara terbuka telah mengumumkan penutupan operasionalnya per akhir Juli ini.

Tutupnya Gatra makin menambah panjang deretan bisnis media cetak yang rontok dengan merebaknya media online. Tercatat sudah ada 20-an lebih media bisnis cetak yang kolaps. Sebut saja Tabloid BOLA dan Bola Vaganza, Tabloid Cek & Ricek, Rolling Stone Indonesia, Majalah HAI, Majalah Kawanku, Majalah GoGirl, Cosmo Girl Indonesia, Esquire Indonesia, For Him Magazine Indonesia (FHM), Maxim Indonesia, NYLON Indonesia, Majalah Commando, High End Teen Magazine, Grazia Indonesia, Sinar Harapan, Tabloid Soccer, Harian Bola, Jakarta Globe, Indonesia Finance Today, Majalah Chip, Majalah Tech Life, Reader’s Digest Indonesia, National Geographic Traveler Indonesia, Majalah Motor, Koran Tempo Minggu, Majalah Trax, Jurnal Nasional, Majalah Penthouse, hingga Slam Indonesia.

Senjakala media cetak ini sebenarnya terjadi sudah cukup lama. Mungkin sepuluh tahunan terakhir atau malah lebih.

Dari maraknya situs berita online semacam detik.com yang berdiri 9 Juli 1998, kemudian ditambah munculnya media sosial semacam Facebook, Twitter, dan kawan-kawannya yang marak mulai akhir dekade 2010-an, media cetak semakin tersingkir saja dari hari ke hari. Siapa yang mau beli koran dan majalah dengan harga yang tak murah sementara membaca berita di ponsel saja gratis dan lebih aktual? Begitu pikir kebanyakan orang sekarang.

Menurut konsultan komunikasi krisis Jojo S. Nugroho, penutupan bisnis media cetak yang makin banyak ditemui di Indonesia ini mencerminkan sejumlah tantangan akbar yang tengah menghadang para pelaku industri media.

Beberapa faktor tantangan tersebut misalnya perubahan pola konsumsi media dalam masyarakat, penurunan pendapatan iklan, dan tingginya biaya operasional. 

Soal pola konsumsi masyarakat, kemunculan situs berita online membuat mereka berpikir bahwa berita seharusnya gratis dan cepat. Padahal aktivitas memproduksi berita tak murah. Sama sekali tidak! Bahkan mahal dan lama jika kita mau menetapkan standar jurnalistik yang ketat. Tapi apa boleh buat, dari sana kemudian pelaku industri media mencoba menuruti kemauan masyarakat dengan menghadirkan berita secepat mungkin dengan mengorbankan akurasi dan kualitas. Akibatnya, hoaks, misinformasi, dan disinformasi marak bermunculan. 

Soal pendapatan iklan yang menurun dalam bisnis media cetak, hal itu memang tak bisa dihindari lagi. Pembaca tak mau menghabiskan uang untuk membaca konten yang sudah basi. Padahal ongkos memproduksi media cetak makin mahal. News cycle makin cepat. Sebuah berita bahkan bisa basi dalam hitungan 24 jam. Dan wartawan harus bekerja 24 jam sehari dan 7 jam seminggu. Semua untuk menuruti kemauan masyarakat agar bisa menikmati konten berita yang cepat, akurat, dan murah bahkan gratis. Dari penurunan pembaca (readership) dan oplah, otomatis berdampak juga pada pemasang iklan. Siapa yang mau pasang iklan mahal di koran atau majalah yang jangkauan pembacanya makin sempit? Rugi dong, kalau pakai celetukan khas Prabowo semasa kampanye dulu.

Lalu faktor biaya operasional yang tinggi juga jadi persoalan. Para manusia jurnalis butuh gaji yang harus bisa mengimbangi laju kebutuhan mereka yang makin naik dari tahun ke tahun. Belum harus berkompetisi dengan laju inflasi. Lalu mesin-mesin cetak juga perlu dirawat, diganti jika rusak, dan semua onderdilnya kemungkinan besar impor dan makin mahal dengan melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dan para jurnalis butuh tunjangan kesehatan dan dana pensiun yang layak juga. Ongkosnya tinggi, bos! Pakai AI bisa gratis tak perlu memikirkan tetek bengek begini.

Namun, ironisnya saat mereka beralih ke media online, para pelaku bisnis media ini juga menghadapi tantangan baru yang tak kalah masif. Semuanya bermuara pada: bagaimana memonetisasi website dan semua konten digital yang mereka miliki agar bisnis tetap bisa jalan dan ada laba yang bisa dihasilkan.

Dan itu tak mudah. Sama sekali tidak. Karena dunia maya ini punya aturan-aturan sendiri yang jauh berbeda dari dunia cetak. Jurnalis-jurnalis kawakan gagap begitu dihadapkan pada teknik SEO copywriting. Dari aspek pengalaman jurnalistik, mereka mungkin kampiun tapi begitu terjun ke lapangan, mereka lamban dan kurang efisien.

Dunia media dan jurnalistik yang dulunya begitu stabil kini begitu labil dan bisa berubah seiring dengan algoritma mesin pencari, perubahan selera pembaca, dan kepentingan pemilik modal. Sterilnya ruang redaksi dari intervensi pemilik bisnis dan pemilik saham makin langka saja.

Jadi tugas jurnalis tak cuma menjadi pewarta yang objektif dan berimbang tetapi juga bagaimana menarik pembaca dengan konten yang berkualitas. Beruntung jika tugas jurnalis ini dibedakan dari pebisnis tapi di banyak kasus tugas jurnalis juga disamakan dengan pebisnis. Harus bisa mencari klien yang mau pasang iklan atau mau kerjasama membuat artikel advertorial atau menjadi sponsor. 

Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen berita juga kini makin tak mampu lagi menyokong keberlangsungan industri media dan jurnalistik sebab mereka terlilit kebutuhan yang makin mencekik di tengah resesi ekonomi global. Jika mereka bisa mendukung pun, dana yang bisa dikeluarkan hanya dengan ala kadarnya. Harga berlangganan media online juga menjadi sangat amat murah. Hal ini membuat bisnis media online tak bisa cepat mapan dan balik modal padahal semua teknologi ini juga butuh biaya pemeliharaan tinggi. 

Itulah peliknya kondisi industri sekarang ini. Jadi harap maklum jika kinerja media kita kerap jadi sorotan. Karena orang-orangnya sedang kebingungan mencari arah dan ‘pegangan’. (*/)

Posted in Latest news | Tagged , , , , | Leave a comment

4 Kasta Hobi

Hobi juga punya kastanya sendiri. (Sumber gambar: Freepik)Hobi menurut catatan sejarah sudah berkembang sejak adanya manusia di muka bumi ini. Hobi pada hakikatnya ialah hal-hal remeh temeh dan menyenangkan yang dilakukan manusia untuk mengisi waktu di sela kegiatan bertahan hidup mereka yang menyedot energi. Saat melakukan hobi, manusia justru bisa mendapatkan kembali energi mereka. 

Karena itulah, musykil kalau ada yang berkata manusia bisa hidup tanpa hobi. Takdir atau fitrah manusia itu memiliki hobi meski tipenya berbeda-beda. Bahkan hobi-hobi di dunia ini bisa digolongkan ke dalam 4 kasta berbeda. Kita akan kupas selanjutnya di dalam tulisan ini.Namun, sebelum itu mari kita bahas soal konsep hobi yang terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Hobi Dari Zaman ke Zaman

Membayangkan hobi manusia di zaman prasejarah rasanya pasti membosankan tapi nyatanya tidak. Banyak sekali jenis hobi yang ditekuni oleh manusia prasejarah di waktu senggang mereka. Dilansir dari history.com, hobi manusia prasejarah mencakup ekspresi seni yang hasilnya kita masih bisa temukan sekarang seperti lukisan di gua, pahatan dan ukiran kuno yang menggambarkan sosok-sosok mini bak mainan dari bahan batu, tulang belulang dan material alami lainnya yang bernilai artistik. Manusia prasejarah juga sudah mengenal instrumen musik dan tarian, mulai menekuni hasta karya dan keterampilan pembuatan alat-alat rumah tangga, keterampilan bercerita yang berkembang hingga sekarang, permainan dan perlombaan sederhana, kebiasaan mengkoleksi barang/ objek yang dianggap menarik/ unik/ lucu, dan masih banyak lainnya. Intinya, hobi itu sangat lekat dengan eksistensi manusia dari dulu kala.

Kemudian di abad modern, hobi berkembang menjadi lebih kompleks. Di abad ke-16 istilah “hobby” aslinya merujuk pada seekor kuda poni atau kuda berukuran mini. Hingga abad ke-17 kata tersebut digunakan untuk menggambarkan sebuah kuda mainan dan kemudian barulah ia digunakan untuk menggambarkan aktivitas pengisi waktu luang.

Lalu di abad ke-18, saat masyarakat Barat perlahan berubah menjadi masyarakat industrial, hobi menjadi aktivitas yang dianggap penting dan bahkan menyimbolkan gengsi sebab cuma kalangan atas saja yang bisa memiliki hobi. Orang menengah bawah menganggap hobi sebagai kemewahan sebab mereka ini tak punya waktu luang yang bisa digunakan secara bebas sesuai kehendak sendiri. Hidup orang menengah dan bawah cuma untuk kerja dan istirahat.  Sementara itu, para orang kaya dan bangsawan punya banyak waktu untuk dimanfaatkan dengan baca buku, menonton opera, berolahraga sejenis berkuda, dan sebagainya tanpa cemas soal bisa makan besok atau tidak.

Begitu dunia memasuki abad ke-19 dan 20, perkembangan teknologi dan sains mendorong perubahan norma masyarakat dan perlahan hobi tak cuma bisa dinikmati orang kaya tapi juga kalangan menengah ke bawah. Makin banyak jenis hobi yang berkembang misalnya koleksi perangko atau filateli, membuat bangunan dari blok-blok mirip lego, dan sebagainya.

Di abad ke-21, hobi makin beragam sesuai dengan perkembangan teknologi yang pesat. Orang tak cuma memiliki hobi olahraga, membaca, atau hobi konvensional lain tapi juga hobi jenis baru seperti e-sports, fotografi digital, dan lain-lain.

4 Kasta Hobi

Yang menarik dan mungkin belum tentu Anda ketahui, ada 4 kasta besar hobi. Kasta ini dibagi berdasarkan sejumlah kriteria yang menurut saya penting untuk mengukur level sebuah hobi yakni manfaat bagi diri sendiri, manfaat bagi orang lain, dan kemampuan hobi tersebut menghasilkan uang.

Kasta pertama ialah kasta hobi terendah, yakni jenis hobi yang membahagiakan diri sendiri saja tapi tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, dan tidak menghasilkan uang. Kenapa saya berkata ada hobi yang menyenangkan tapi tidak bermanfaat bagi diri sendiri? Karena pada kenyataannya mayoritas manusia terjebak pada aktivitas tanpa faedah seperti judi, berzina, nongkrong di pinggir jalan hingga tengah malam, melakukan prank pada orang lain malam-malam, onani/ masturbasi, menonton film porno, dan sebagainya. Itu semua menyenangkan untuk dilakukan tetapi justru merugikan diri dan orang lain (keluarga kita), dan justru bikin kita makin miskin.

Kasta kedua ialah kasta hobi yang lebih tinggi, yakni hobi yang bisa membahagiakan diri dan bermanfaat bagi diri sendiri tapi tidak ada faedahnya bagi orang lain dan tidak menghasilkan uang. Apa contohnya jenis hobi kasta kedua ini? Sebut saja aktivitas journalling atau membuat jurnal pribadi yang bisa memberikan kelegaan dan menjadi sarana yang bagus untuk memelihara kesehatan mental dan fisik. Orang lain tak bisa menuai manfaatnya dan Anda juga tak bisa dapat duit dari itu.

Kasta ketiga yakni hobi yang membahagiakan diri dan berguna untuk orang lain, tapi tidak menghasilkan uang. Contoh hobi seperti ini adalah hobi memungut sampah di lingkungan sekitar. Kita tilik saja kreator konten Pandawara yang melakukan hobi ini. Saat membersihkan sungai, mereka bukannya dapat duit banyak tapi malah dipalak oknum dengan alasan untuk biaya TPA. Belum lagi ada sentimen negatif dari oknum birokrat yang tersinggung jika daerah mereka dijadikan target pembersihan. Masyarakat sekitarnya juga tak tahu diri, masih buang sampah terus. Sudah capek, menguntungkan orang lain tapi dimusuhi. Aneh tapi nyata memang. Tapi hobi kasta ketiga ini berpotensi bisa naik kasta jika mindset masyarakat mayoritas bisa diubah. Cuma berat dan lama!

Kasta tertinggi atau yang keempat yaitu hobi yang tak cuma membahagiakan diri, tapi juga berguna untuk orang lain, dan bisa menghasilkan uang! Inilah jenis hobi idaman semua orang yang seharusnya ditekuni. Namun, untuk bisa mendapatkan jenis hobi seperti ini memang kita harus memahami panggilan jiwa/ passion dalam diri yang sebenarnya (bukan cuma ikut tren ini itu) sehingga jika ada halangan dan rintangan kita tak mudah menyerah dan cerdas dan jeli dalam mencermati kebutuhan masyarakat sekitar. Titik persilangan antara passion diri dan kebutuhan masyarakat luas inilah yang bakal menjadi area hobi yang berkasta tertinggi ini. Hanya saja tantangan yang bisa muncul jika punya hobi seperti ini adalah Anda bakal sampai di titik saat Anda merasa bahwa bisa membosankan karena terasa terlalu menuntut dan monoton. Karena begitu Anda berkomitmen untuk mengkomersialkan hobi, Anda bakal terikat dengan sejumlah kontrak ekonomi yang bisa mewajibkan Anda untuk menuruti kehendak pihak lain yang kurang sesuai dengan selera atau nurani Anda. Di sinilah pertarungan idealisme dan kebutuhan material bisa membuat Anda gamang. Jadi, adalah tak sepenuhnya benar jika Anda pikir menekuni sebuah pekerjaan yang juga hobi adalah 100% menyenangkan. Pasti nanti ada momen-momen pahitnya juga. Dan Anda harus siap untuk itu. (*/)

Posted in Blog | Tagged , | Leave a comment