Untuk Sehat, Jangan Cuma Lakoni 1 Jenis Olahraga

Bagi Anda yang ingin menurunkan berat badan, mengurangi lemak, mengecilkan lingkar pinggang, menurunkan kadar gula darah, dan meningkatkan massa otot, upayakan dari sekarang untuk melakukan jenis olahraga yang bervariasi (multi dimensi). 

Jenis-jenis olahraga yang dimaksud di sini adalah latihan beban (resistance training), latihan interval (sprint), peregangan (stretching), dan ketahanan (endurance). Demikian dikutip dari hasil studi sebuah penelitian ilmiah yang dipublikasikan 30 Mei 2014 oleh Skidmore College yang berjudul “Quality, not quantity, counts most in exercise, diet.” 

Peneliti yang terlibat dalam studi ini, Paul Arciero, membuktikan bahwa pendekatan multidimensional dalam berolahraga dan diet jauh lebih efektif dibandingkan sekadar melakukan satu jenis latihan saja dalam jumlah/ volume banyak. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di The Journal of Applied Physiology, Arciero menunjukkan manfaat nyata dari aktivitas olahraga yang mencakup latihan beban, sprint interval, peregangan (termasuk yoga atau pilates), dan latihan daya tahan.

Ini artinya Anda yang suka yoga/ pilates dan ingin kondisi kesehatan dan kebugaran bisa makin baik, mungkin sekarang saatnya untuk juga menambahkan porsi latihan beban, interval, dan daya tahan ke dalam rutinitas Anda.

Begitu juga Anda yang sudah menjalani olahraga beban (resistance training), imbangilah dengan peregangan, ketahanan dan latihan interval.

Sebagai informasi, latihan beban ialah bentuk olahraga untuk meningkatkan kekuatan dan massa otot, misalnya latihan angkat beban dengan barbel, dumbell, resistance band, atau dengan berat badan sendiri. Latihan interval (interval training) ditujukan untuk membangun kekuatan dan ketahanan, misal lompat tali, lari menaiki tangga, burpees, sprint, pullups, pushup, v sit. Sementara itu, olahraga peregangan bertujuan meningkatkan elastisitas otot, misalnya yoga dan pilates. Latihan ketahanan bertujuan untuk meningkatkan ketahanan otot untuk bekerja dalam waktu yang lama, misal plank selama 1-2 menit, pushups 100 kali.

Studi ilmiah oleh Arciero ini fokus pada 57 subjek penelitian yang berusia 35-57 tahun yang tidak aktif berolahraga. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing mengonsumsi 60 gram whey protein setiap hari, namun dengan pola latihan berbeda: kelompok pasif, kelompok latihan beban intensif, dan kelompok multidimensional.

Hasilnya, dengan porsi asupan protein yang lebih banyak pun subjek yang tidak berolahraga sama sekali masih mendapatkan manfaat positif meski tidak sebesar grup lain yang latihan beban dan dan grup yang menjalani banyak jenis olahraga. Terkait ini, Arciero berargumen bahwa asupan protein yang lebih banyak bisa membantu menurunkan kadar lemak badan bahkan jika kita tak berolahraga.

Temuan Arciero ini seakan membongkar ‘mitos’ bahwa kita cukup melakukan satu jenis olahraga saja untuk sehat. Menurutnya, kesehatan tidak bisa dicapai hanya dengan mengangkat beban atau sekadar berlari di treadmill. Olahraga harus mencakup berbagai aktivitas yang mengintegrasikan tubuh secara menyeluruh, tandas Arciero.

Untuk memudahkan masyarakat memahami pendekatannya, Arciero menciptakan akronim “PRISE”:

– P: Protein

– R: Resistance (Latihan Beban)

– I: Interval (Latihan Sprint)

– S: Stretching (Peregangan)

– E: Endurance (Daya Tahan)

Nah, bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah setelah ini Anda akan menambahkan jenis olahraga lain di samping olahraga yang sudah jadi favorit selama ini? (*/)

Posted in Yoga | Tagged , , , , , | Leave a comment

Panggul VS Pinggul: Persamaan dan Perbedaan

Dalam kelas yoga dan pilates sering disebut istilah “pinggul” dan “panggul”. Sekilas mungkin kita paham bagian badan mana yang dimaksud oleh guru/ instruktur saat disebutkan istilah umum ini tetapi jika ditanya hingga detail soal perbedaan panggul dan pinggul, sebagian orang merasa bingung dan merasa bahwa keduanya sama saja. Padahal tidak demikian.

Panggul dan pinggul memiliki perbedaan meski saling berkaitan. Tubuh kita memiliki satu panggul dan dua sendi pinggul. Mari kita telaah bersama-sama agar jelas persamaan dan perbedaan keduanya.

Pertama-tama, persamaan keduanya adalah lokasinya berada di antara perut bawah dan tulang paha. 

Bedanya, area panggul (atau yang disebut “pelvic” dalam bahasa Inggris) adalah struktur tulang yang berbentuk setengah lingkaran di bawah perut. 

Panggul (pelvic) terdiri dari tiga tulang utama yakni ilium (tulang berbentuk sayap di sisi panggul), iskium (bagian tengah panggul), dan pubis (dasar struktur panggul).

Sementara itu, pinggul (atau yang biasa disebut “sendi pinggul” atau “hip joints) adalah sambungan antara panggul dan tulang paha, berbentuk seperti bola dalam mangkuk (ball-and-socket).

Lalu bagaimana dengan perbedaan fungsi panggul dan pinggul? 

Panggul (pelvic) memiliki banyak fungsi penting di antaranya yakni untuk menghubungkan tulang belakang dan kaki, mendistribusikan berat badan bagian atas, melindungi organ dalam perut bagian bawah, dan memfasilitasi gerakan punggung dan kaki.

Sebaliknya, sendi pinggul (hip joints) memiliki fungsi-fungsi yang berbeda, yaitu menghubungkan panggul dan tulang paha, mentransfer berat badan, memungkinkan gerakan badan yang lebih fleksibel, dan menjaga stabilitas tubuh.

Ringkasnya, panggul adalah suatu struktur tulang keseluruhan tetapi sendi pinggul adalah sambungan antara panggul dan tulang paha. (*/)

Posted in Yoga | Tagged , , , , , | Leave a comment

4 Cara Merasakan Otot-otot Dasar Panggul dalam Yoga dan Pilates

(Foto: verywellfit.com)

Belajar bagaimana mengendalikan otot-otot di dasar panggul (pelvic floor) bagi pemula di yoga maupun pilates adalah hal yang relatif menantang. Menantang baik bagi si pengajar dan si murid juga.

Kenapa? Karena mustahil si pengajar memperlihatkan cara kerja otot pelvic floor-nya sebagaimana ia memperagakan cara kerja otot-otot di bagian tubuh lain.

Murid pemula juga susah untuk merasakan otot dasar panggul mereka apalagi yang memiliki level kesadaran badan (body awareness) yang belum terasah sebab otot-otot di dasar panggul ini bukan termasuk otot-otot ‘besar’ yang gerakannya bisa dilihat dengan mudah. Kerjanya ‘halus’ dan perlu kepekaan tinggi untuk merasakan aktivasinya. 

Tujuan aktivasi otot-otot dasar panggul adalah untuk nantinya bisa membantu kita dalam menstabilkan daerah sekitar panggul dan sejumlah ruas tulang belakang paling bawah (lumbar pelvic area).

Cara Pertama: Duduk di Atas Bola

Dalam cara pertama, kita bisa menggunakan alat bantu (props) berupa bola pilates kecil yang setengahnya saja yang terisi udara atau gym ball berukuran besar sebagai alternatifnya.

Tujuan dari duduk di atas bola ini adalah untuk memberikan titik sentuh (contact points) bagi keempat titik penting di dasar panggul, yakni tulang kemaluan (pubic bone/ pubic symphysis), tulang ekor (tail bone/ coccyx), dan kedua tulang duduk (sitting bones/ ischial tuberocity).

Area di antara keempat titik ini adalah area tempat otot-otot dasar panggul berada. Anda bisa membayangkan dasar panggul yang dibentuk oleh otot-otot kecil yang tersusun mirip dengan sebuah mangkuk kecil atau hammock.

Untuk bisa merasakan keempat titik sentuh penting tadi, kita bisa melakukan gerakan memutar saat duduk di atas bola. Kemudian ambil napas untuk merilekskan otot-otot dasar panggul dengan membiarkannya turun menuju ke arah bola, lalu saat buang napas, tarik naik dan kencangkan otot-otot di dasar panggul agar menjauh dari permukaan bola.

Cara Kedua: Berbaring dengan Kaki Ditekuk

Untuk cara kedua, kita bisa berbaring di matras dengan posisi terlentang dan kedua lutut ditekuk dan tangan di belakang kepala tanpa mengangkat kepala. Bayangkan torso/ batang tubuh kita sebagai bangunan bertingkat dan otot-otot dasar panggul sebagai lift yang turun naik di dalam bangunan bertingkat tersebut.

Saat ambil napas (inhale), biarkan otot-otot dasar panggul turun dan mengendur ke bawah seperti lift yang turun ke lantai dasar. Saat buang napas (exhale), kencangkan dan tarik naik otot-otot dasar panggul mirip dengan naiknya lift dari lantai dasar ke lantai yang lebih tinggi.

Di sini, harus diingat: jangan sampai otot-otot lain ikut mengencang/ aktif. Misalnya otot bokong (gluteus maximus) atau otot-otot paha ikut mengencang dan bekerja. Sebisa mungkin isolasi gerakan ini hanya di area dasar panggul alias hanya otot-otot dasar panggul yang terasa aktif dan kencang. 

Cara Ketiga: Berbaring Menyamping dengan Satu Lutut Ditekuk

Cara ketiga ialah dengan berbaring di sisi samping kanan  atau kiri di atas matras dengan posisi badan lurus, tulang belakang lurus, stabil, dan kokoh, dan lengan bawah menjadi alas kepala. Lutut kaki atas kemudian ditekuk 90 derajat dan tempatkan bola pilates atau balok di bawah lutut atas ini. Tugas lutut atas ini adalah menekan bola atau balok ke bawah sekuat mungkin.

Ambil napas untuk bersiap, lalu buang napas sambil tekan lutut atas ke bola atau balok. Kencangkan otot dasar panggul dengan dibantu aktivasi otot adductor atau paha dalam. 

Tujuan gerakan ini adalah untuk merasakan kontraksi otot paha dalam (adductors) yang juga turut mengaktifkan otot-otot di dasar panggul.

Cara Keempat: Back and Fourth in All Fours

Cara keempat ialah dengan memulai di posisi all fours (merangkak) dengan tangan dan lutut di matras. Kemudian dengan menjaga posisi netral tulang belakang, pindahkan berat badan dari depan (tangan) ke belakang (lutut) dengan menarik bokong ke belakang.

Saat inhale, badan ke depan bertumpu di tangan sembari bayangkan tulang kemaluan dan tulang ekor saling menjauh. Saat exhale, tarik badan ke belakang untuk bertumpu di lutut sambil membayangkan tulang kemaluan dan tulang ekor mendekat maksimal sehingga terjadilah aktivasi/ engagement otot-otot dasar panggul. (*/)

Posted in Yoga | Tagged , , , , | Leave a comment

Should We Feel Guilty of Our Subordinates’ Resignation?

Guilty as charged? (Photo credit: Netflix screenshot)

Today, I was watching a 90s Japanese TV series called Beach Boys. The story revolves around one of its main characters, Kaito Suzuki (Yutaka Takenouchi), a prominent trading firm employee who resigns after completing a highly strategic proposal project for a major company. He then chooses to work as a worker responsible for daily operations of a seaside inn that was nearly closed because the owner, an old gentleman, wanted to send his grandchild to Tokyo.

In short, when Kaito resigns, his superior is surprised. The scriptwriter doesn’t depict any drama of Kaito being prevented from resigning or being held back by the company or his boss, as we might have experienced or witnessed. He is simply allowed to resign.

A few days later, Kaito, while working leisurely at the inn, is surprised when his former boss visits with his family. It seems he not only wants to bring his family for a vacation but also to witness the condition of his former subordinate’s current workplace.

How good could his new workplace be that he would choose it over staying in a company where his career was on the rise and a promotion was waiting? Not everyone would dare or want to leave such a stable job as Kaito did.

Then there’s a scene where the former boss says to Kaito, “When a subordinate resigns, the superior must take responsibility (for the resignation).”

I was stunned, pondering this statement. Would a superior really feel guilty when a subordinate requests to resign?

From my personal experience, not all superiors feel guilty when an employee resigns.

Some don’t want to show their guilt. They don’t want to beg the employee to stay longer, but there are hints that the subordinate will regret doing this.

There are also superiors who cry when ending the working relationship because they feel helpless. They feel they have no other option to retain the subordinate, so termination is the only possible choice.

There are also types of superiors who aren’t very talkative but seem to gesture: “Oh, go ahead and resign. There are many more candidates waiting. Next!”

Fortunately, during my time as a superior, I’ve never experienced a subordinate resigning. If it were to happen to me, there would certainly be a hint of guilt.

Are there any attitudes, policies, approaches, or ways of thinking that might have been unpleasant to my subordinate? Would this be shared and spread to other subordinates or just affect the one resigning?

The moment of a subordinate’s resignation can be a moment of self-examination and reflection for a superior and leader in an organization. Are we leading well? (*/)

Posted in life | Tagged | Leave a comment

Can Your Toxic Workplace Be Someone Else’s Heaven?

This morning I taught a student who had been absent for two weeks. She said she had to miss my yoga class because she was busy with work matters.

After class, she shared more details: “I’m finally relieved to have submitted my resignation!” She looked tired but radiant. She explained that fortunately she had found a new job, and although this new position would reduce her income by 30%, she was still grateful because she wouldn’t have to work so hard into the early hours and weekends just to accompany her boss who only wanted company for conversation and dinner, while she was losing time with her children and husband. When her husband heard her complaints, he supported her decision to resign immediately.

Upon learning of her resignation, her boss told her to reconsider because she was about to be promoted, given a company car, a personal driver, special privileges, and more. But my student wasn’t tempted by these offers because she was already hurt by her boss’s harsh words, constant micromanaging, and threats of termination for even minor mistakes. Combined with working hours beyond what was humanly reasonable, all these pressured working conditions were finally cast aside by my student. I congratulated her this morning for having the courage to make that decision.

She also felt that her boss had a different life vision. While her boss prioritized (or got obsessed with?) wealth and power, my student was content to work normally while still being able to enjoy time with family while maintaining her physical and mental health through running and yoga. She constantly rejected any idea of promotion as she knew too well what might be sacrificed behind the C-level title.

My student’s story this morning reminded me of some moments of euphoria when receiving positions or job offers that seemed wow, financially tempting, but then I slowly regretted them because I had to sacrifice my health and life balance for work achievements that weren’t ultimately valued much.

In times like those, I also made the same decision as my yoga student: choosing to leave the organization. And that was a blessing, because I came to know that my life priorities weren’t about achievements in that place and that wasn’t a big problem. Not a failure. Because I understood well that my life priorities wouldn’t be achieved if I kept working there.

Does that mean the organization was entirely bad? It’s not that simple to judge because for others, the work environment there might be their dream. So, let them go through their process there. And at the same time, we also go through our process elsewhere. It’s a necessary ‘professional’ divorce that may lead us to an interesting journey.

So enjoy the ride! 😎

Posted in life | Leave a comment

Kenapa Orang Makin Ramai Pindah Thread?

Akhir-akhir ini saya mencoba memulai menekuni Thread, jejaring sosial adik kandung Instagram dan Facebook itu. Dulu saat pertama lahir, Thread dicemooh sebab sangat mirip dengan X atau Twitter. Paling juga bentar lagi ilang, atau ditutup. Begitu cibir warganet.

Saya sendiri sudah lama punya akun Thread. Saya buka akun itu begitu diumumkan ada. Tujuannya supaya mengamankan username saja. Nggak muluk-muluk. Karena saya paham bahwa itulah yang dilakukan para sesepuh media sosial dulu juga. Saya belajar itu dari orang-orang semacam alm. Nukman Luthfie dan Wicaksono atau Ndoro Kakung. Kalau ada media sosial baru, mereka langsung buru-buru mendaftar agar usernamenya bisa bebas pilih sesuka mereka. Patsinya agar usernamenya sama persis dengan akun-akun media sosial terdahulu sehingga orang tak akan kebingungan mencari mereka di media sosial baru.

Belum Jenuh

Nah, saya beberapa minggu lalu cukup terkejut karena saat saya iseng buka Thread, kok ternyata makin ramai. Ada banyak orang mencoba peruntungan baru di media sosial ini. Biasalah, saat mereka jenuh dan tak bisa lagi menengguk untung dari media sosial lain (TikTok, Instagram, X, Youtube) mereka pun merambah ke media sosial lain yang masih segar dan potensial. Thread adalah salah satu yang belum jenuh dengan persaingan meski ya orang-orang dengan tingkat popularitas tinggi di Instagram bisa dengan lebih mudah mendapatkan fanbase juga di Thread itu.

Saya sendiri menduga bahwa X atau Twitter yang sekarang dikendalikan Elon Musk itu jadi kehilangan esensi dan keasyikannya sebagai media sosial. Fitur-fitur gratisnya terbatas, iklan makin banyak.

Tapi sebenarnya tak cuma itu. Warga Twitter konon sangat toksik. Setidaknya itu yang saya ketahui dari salah satu dedengkotnya Twitter yang sudah nge-tweet dari 2009, sama seperti saya. Bedanya saya bukan selebtwit atau selebritas seperti Radit. Menurut Raditya, Twitter terlalu ramai dan penuh konflik.

Ia mengatakan via grid.id, tanggal 18 Juni 2019 “Dulu seseru itu. Cuma, gue gak tahu kapan dan apa yang terjadi, lama-lama banyak orang berantem di situ. Ada bot lah, ada apa lah, dukung ini, dukung itu, bahkan itu terjadi sama orang-orang yang gue follow. Jadi ribut sendiri, dan menurut gue itu toxic banget sih.”

Karena akun Twitternya nganggur, ternyata ada pihak-pihak tak bertanggung jawab yang membuat akun lain yang mengaku punya Raditya sehingga ia akhirnya konfirmasi ke akunnya dan hingga sekarang ia masih enggan nge-tweet lagi. Mungkin trauma sekali dengan nyinyirnya orang-orang Twitter yang sok cerdas dan intelek.

Pola Berulang

Sebagai orang yang sudah makan asam garam dunia media sosial sejak 2009 juga (ya saya juga anak pengguna MXit, MySpace dan Friendster sebelum era Facebook), pola yang sama terus berulang. Ada yang baru, jadi hype, lalu populer dan makin matang, lalu pengelolanya membuat perubahan dan jadi nggak asyik lagi lalu lama-lama bubar atau berubah bentuk.

Saya sendiri sudah hampir kehabisan energi untuk bermedia sosial. Saya punya akun X, Instagram (tapi Facebook sudah saya hapus), Thread, YouTube, dan beberapa blog seperti WordPress dan Medium. Sudah, saya merasa tak sanggup lagi kalau harus aktif di media sosial atau platform lain. LinkedIn saja saya sudah tak melirik karena kalau saya ke sana cuma untuk melihat-lihat pasti bakal depressed sebab orang-orangnya juga pamer prestasi dan posisi dan kadang juga keluhan susahnya mencari kerja di zaman resesi ekonomi global dan geopolitik jelang perang Dunia 3 ini. Memang LinkedIn agak berbeda dari Instagram, yang orang-orangnya ‘dijual adalah’menjual’ fisik tapi ya intinya sama saja: pamer.

Meski saya juga harus akui, kalau mau belajar dari media sosial juga bisa banget. Ada banyak juga orang-orang hebat mau berbagi ilmu dan pengalaman di sana saban hari. That’s good and a blessing tapi ya kalau Anda cuma mengikuti orang itu saja. Kalau Anda mengikuti orang lain yang tak seinspiratif itu, pastinya bakal merusak energi Anda juga saat membaca postingan mereka.

But anyway, Thread menurut saya menawarkan kesegaran. Saat media sosial lain mulai stagnan, algoritmanya sudah mulai susah ditebak dan tak memihak pendatang baru yang mengais perhatian warganet, ya tiada cara lain selain menjajaki lahan baru. Enjoy while this freshness still lasts. (*/)

Posted in Blog | Tagged , | Leave a comment

Menyoal Kejujuran Manusia dalam Penggunaan AI

Di era AI, adalah sebuah kenaifan jika kita membaca apapun tanpa sebuah kecurigaan di dalam otak:” Apakah tulisan yang saya baca ini adalah hasil karya AI, atau sepenuhnya dibuat manusia? Atau 50-50, ada bagian yang digarap dengan AI dan ada bagian yang digarap manusia sendiri?”

Begitulah peliknya menjadi manusia penulis sekaligus pembaca pada hari ini. Kita tak cuma harus berpikir mencerna isi tulisan tetapi juga mesti memutuskan apakah tulisan itu murni buatan manusia atau AI atau hasil kolaborasi AI dan manusia yang begitu apik dan mulus.

Tetapi sebenarnya ini bukan tugas utama pembaca melainkan para penulis/ kreator untuk menjawab pertanyaan maha penting: “Apakah Anda berani sebagai penulis atau kreator konten menyatakan secara terbuka bahwa Anda memang pakai AI dalam berkarya atau Anda menjamin karya Anda 100% bersih dari intervensi AI?” Nah, itulah masalah moralitas dan etika yang sedang kita hadapi sekarang.

Saya sendiri sempat berdialog soal moralitas dan etika serta kejujuran manusia di era AI dengan Wicaksono atau yang dikenal sebagai Ndoro Kakung, seorang praktisi dan ahli di bidang komunikasi yang dulu dikenal sebagai narablog dalam kesempatan acara Obrolan Hatipena dengan judul “Menjadi Penulis di Era AI”.

Saya punya hipotesis begini: “Apakah ada kemungkinan seorang manusia penulis bisa menulis begitu ringkas, padat, apik dan sempurnanya hingga hasil karyanya dideteksi oleh software sebagai karya AI?”

Wicaksono mengatakan hal itu bisa saja terjadi sebab sekali lagi teknologi apapun pada dasarnya pasti ada celah kesalahan.

Checker-nya juga bisa tertipu. Namanya juga teknologi yang punya keterbatasan,” ujarnya.

Ia pun menekankan pentingnya kejujuran para penulis dan kreator saat menayangkan karyanya ke publik.

“Berani nggak penulis deklarasi ke pembaca? Misalnya ‘Ini lho karya asli saya tanpa AI’, atau kalau memang pakai bantuan AI, katakan, “Ini saya buat dengan AI’. Ini tidak mudah karena sudah masuk ranah moral, ” terang pria yang hadir sebagai pembicara utama di acara talkshow tersebut.

Apalagi ia mengatakan saat ini masyarakat Indonesia terutama para pelaku bidang akademiknya sedang bergelut dengan masalah moralitas. Buktinya beberapa waktu lalu santer beredar berita jual beli gelar profesor. Tentunya ini sangat memprihatinkan sebab universitas sebagai soko gurunya kaum intelektual dan cendekiawan negara ini sudah tersangkut masalah-masalah moral dan etika.

Kolom Tempo oleh Ubedillah Badrun membedah ‘borok’ kaum akademisi kampus kita, yang sebagian terseret kasus-kasus korupsi dan jual beli gelar doktor honoris causa/ doktor kehormatan yang terkesan begitu mudah diberikan pada tokoh-tokoh yang kurang layak menerimanya karena rekam jejak mereka yang minus di mata masyarakat. Misalnya kasus penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Unnes pada Nurdin Halid yang mantan terpidana kasus korupsi sehingga ia sudah cacat secara moral untuk menerima gelar tersebut.

Kata Wicaksono, cara lain agar kita bisa tahu apakah tulisan seseorang itu asli buatannya atau pakai bantuan AI adalah dengan dengan membaca banyak karya tulisannya dan jika kemudian ada hasil tulisannya yang memiliki perbedaan gaya yang tiba-tiba dan drastis, bisa dipastikan karyanya itu adalah hasil intervensi AI.

Namun, mungkin ini berlaku untuk sosok-sosok penulis yang sudah memiliki pakem dalam menulis. Gaya mereka sudah punya DNA tertentu. Tetapi akan lebih susah untuk mendeteksi tulisan-tulisan penulis pemula yang masih mencari gaya menulis dan jatidirinya. (*/)

Posted in Blog | Tagged , , , , , , , , | Leave a comment

Setop Kambinghitamkan AI Atas Masalah Etika dan Moralitas Kita

Hanya manusia picik yang selalu menyalahkan AI (atau teknologi lain) untuk problem moralitas dan etika yang mereka hadapi. Kenapa? Karena semua masalah moralitas dan etika itu kembali ke manusianya. Tampaknya kita lupa bahwa seperti gunting, motor, laptop, internet, dan microwave, AI juga cuma alat yang dikendalikan manusia dan dibuat dengan tujuan untuk kepentingan umat manusia juga. Jadi akar masalahnya terletak di dalam diri kita sendiri. Begitulah kesimpulan setelah saya menyimak dialog dan paparan Wicaksono atau yang dikenal sebagai blogger Ndoro Kakung dalam acara Obrolan Hatipena bertajuk “Menjadi Penulis di Era AI” kemarin malam (12/9).

Wicaksono sendiri saya sudah kenal lama sejak zaman keemasan blogging tahun 2010-an karena ia kerap menulis hal-hal menarik di blognya ndorokakung.com. Ia juga tampil di banyak kesempatan seperti Pesta Blogger 2010 yang bergengsi saat itu karena mengumpulkan banyak penulis blog dari berbagai daerah di dalam negeri dan mengundang sejumlah sosok dari luar negeri.

Selalu Ada Penawarnya

Menanggapi soal perkembangan AI yang sudah berhasil mengeksekusi tugas menulis dengan piawai, Wicaksono menanggapi: “Jangan khawatir dengan perkembangan AI karena setiap teknologi ada antidotnya”. Ia mencontohkan misalnya dengan kemunculan berbagai AI chatbot seperti ChatGPT, kita bisa saksikan munculnya sejumlah software pendeteksi tulisan karya AI. Sehingga kita tidak mudah ditipu oleh pengguna AI yang tak mau mengakui bahwa mereka pakai AI dalam tugas dan tulisan akademik, sebuah masalah etika yang jelas adalah masalah dalam diri manusia. Bukan semata salah AI.

Saya mengamini pendapat Wicaksono. Karena jika mengamati dan merenungi perkembangan peradaban dari waktu ke waktu, selalu saja ada kemunculan teknologi baru yang mulanya dikutuk sebagai pemicu kehancuran oleh mereka yang berpikiran kolot dan kuno. Ada protes di sana-sini, mengatakan perkembangan teknologi baru membuat hancur umat manusia. Tetapi karena teknologi baru itu bisa memudahkan hidup manusia, akhirnya lambat laun ia tak terbendung dan memasuki berbagai lini. Lalu ia dianggap normal dan wajar. Pola semacam ini bisa kita amati dari zaman kemunculan kapal uap, telegram, telepon, listrik, hingga internet yang dianggap biang keladi dari senjakala media cetak dunia. Tapi toh manusia tetap bisa hidup bahkan lebih nyaman sekarang ini, bukan?

Tentukan Batas Etika dan Moral

Kuncinya adalah kita mau berubah seiring dengan perkembangan zaman atau duduk diam mengamati sambil mengutuki perubahan itu sampai lelah sendiri dan mati. Yang tak kalah penting ialah manusia juga perlu belajar ilmu filsafat dan etika serta merenungkan soal moralitasnya sendiri agar ia bisa menentukan batas-batas dalam penggunaan AI dalam kehidupannya. Misalnya dalam konteks dunia kepenulisan, kita harus membicarakan jenis tulisan seperti apa yang boleh pakai AI dan jenis mana yang tidak seharusnya pakai AI.

Dan jika kita memakai AI dalam proses kreatif menulis, jangan sampai lupa untuk mendeklarasikan secara jelas dan lantang bahwa Anda menggunakan AI dalam menulis. Hal ini sendiri sudah dilakukan oleh media arus utama dalam negeri seperti Kompas.com yang mencantumkan catatan di setiap berita yang dibuat dengan AI. Kejujuran ini harus ditegakkan agar nantinya kita bisa memudahkan mendeteksi tulisan mana yang dibuat dengan bantuan AI (tak peduli berapapun persentase kontribusi AI dalam tulisan itu) dan tulisan yang murni buatan otak manusia, tanpa bantuan AI sedikitpun. (*/)

Posted in Writing | Tagged , , , , | Leave a comment

Getol Mengukur, Lupa Olahraga

Hari ini tanggal 9 September diperingati sebagai hari olahraga nasional. Tak banyak orang Indonesia yang tahu dan peduli karena hari ini bukan hari libur nasional. Mungkin juga karena kita sudah kebanyakan hari libur. 

Ketidakpedulian orang Indonesia terhadap hari olahraga nasional ini membuat saya juga sangsi apakah kita juga tahu singkatan “SDI”.

Kalau Anda belum tahu apa itu SDI, SDI adalah singkatan dari Sports Development Index. Meski istilah ini berbahasa Inggris, ternyata indeks ini dibuat oleh bangsa kita sendiri. Alasannya karena indeks yang khusus mengukur keberhasilan pembangunan di sektor olahraga belum ada. 

Inggris, kata Suyadi Prawiro selaku asisten deputi di Kemenpora, punya indeks yang mirip. Namanya Sports Equity Index (SEI) yang cuma memakai 1 indikator: partisipasi masyarakat dalam olahraga. Selain itu, metode lain untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga di sebuah negara biasanya adalah jumlah medali yang berhasil diraup di Olimpiade. Namun, Kemenpora berkilah itu kurang akurat untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga. Baiklah…

Pemerintah Indonesia pun ingin membuat ‘gebrakan’ dengan memunculkan SDI ini. Sebagian alasannya juga karena adanya kebijakan nasional berupa Dekrit Presiden 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang mewajibkan penggunaan SDI.

Menurut website resmi Kemenpora, SDI adalah metode pengukuran keberhasilan pembangunan olahraga di nusantara. Indeks ini mulai diterapkan di lapangan pada tahun 2003 hingga 2007. Cakupan SDI ada 4 dimensi: ketersediaan SDM olahraga, ruang terbuka, partisipasi, dan kebugaran jasmani. Dalam perkembangannya kemudian, 4 dimensi SDI ini melebar menjadi 9. Lima dimensi tambahan lainnya yaitu literasi fisik, perkembangan personal, kesehatan, ekonomi, performa. 

Melorot

Saya pun mencari-cari laporan SDI terkini. Yang terbaru yang bisa diakses adalah versi tahun 2023 lalu. Yang terbaru tahun 2024 ternyata belum bisa saya temukan. Di situ ditemukan bahwa SDI tahun 2023 menurun sebanyak 0,327 dari skala 0-1.  Di tahun 2022, SDI ada di kisaran 0,335. Dengan demikian, terjadi penurunan 0,008 poin. Intinya, bangsa ini masih jauh dari angka 1 yang menjadi simbol kesempurnaan versi SDI ciptaannya sendiri.

Ironisnya, kalau kita lihat di lapangan, prestasi olahraga elit dan partisipasi masyarakat kita dalam olahraga juga begini-begini saja dari rezim ke rezim. Tidak ada hal yang baru, mencengangkan, dan wow. Kalaupun ada perubahan, malah sedikit kemunduran. Cabor badminton yang jadi anak emas pemerintah dan pihak swasta selama ini ternyata keok di Olimpiade Paris 2024. 

Kalaupun ada janji-janji surga untuk pelaku olahraga, biasanya cuma gimmick sebelum pemilihan umum. Lihat saja janji Prabowo dan Gibran tentang insentif pajak untuk klub olahraga. Mereka berjanji akan memberi kemudahan dan insentif bagi penyelenggara lomba olahraga dan kesenian, demikian dikutip dari katadata.co.id. Apakah ini akan terealisasi? Tak ada yang bisa menjamin.

Kegemasan lainnya soal pembangunan olahraga di Indonesia ialah birokrasi kita yang masih rumit, korup,  dan sering tak bisa dicerna dengan akal sehat. Maka dari itu, saat Bea Cukai menyatakan medali emas Rizki Juniansyah dan Veddriq Leonardo bebas bea masuk atau pajak impor, sontak masyarakat bertanya: “Bukannya sudah seharusnya? Apa perlu itu diumumkan? Kalau memang Bea Cukai masih waras ya seharusnya memang tidak dikenai pajak apapun.” Mungkin itu karena Bea Cukai sudah jadi bulan-bulanan warganet akhir-akhir ini dalam banyak kasus. 

Yang konyol adalah Rizki Juniansyah yang mengaku sudah dijanjikan bonus ratusan juta oleh pemprov Banten tetapi setelah ditunggu-tunggu pihak Pemprov Banten tak juga mengucurkan dana. Hingga Rizki angkat bicara di media 28 Agustus 2024 setelah pulang dari Paris, Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar pun baru bereaksi. Kumparan kemudian mengabarkan Rizki akan mendapat 250 juta dari pemprovnya. Itupun nanti di HUT Banten bulan Oktober. Jadi tak langsung cair ya!

Bangsa Ringkih 

Tak cuma ketidakberesan di kalangan birokrasi soal kebijakan dan kepedulian terhadap pembinaan olahraga dan kesejahteraan atlet, di lapangan juga masih banyak orang Indonesia yang tak pernah atau hampir tak pernah menyempatkan diri berolahraga.

Berdasarkan SDI tahun 2023, partisipasi olahraga masyarakat Indonesia secara umum juga menurun selama 2 tahun terakhir, dan ini juga ternyata berpengaruh pada tingkat kebugaran jasmani masyarakat.

Dalam survei Indeks Pembangunan Olahraga, diterapkan tes kebugaran jasmani Multistage Fitness tes (MFT) atau yang sering disebut sebagai ‘beep test’. Hasil yang didapatkan ternyata sangat memprihatinkan. Kebugaran masyarakat Indonesia yang berusia 10-60 tahun (usia produktif) menurun cukup signifikan. Di tahun 2021, persentase warga Indonesian yang hasil beep test-nya termasuk baik atau lebih adalah 7,87%, tahun 2022 menurun lagi menjadi 5,75% dan 2023 makin menurun menjadi 4,18%. Duh!

Lalu soal kebugaran jasmani para remaja (10-15 tahun) dan pemuda (16-30 tahun) yang kondisinya baik juga menurun. Tahun 2021 persentase remaja yang bugar 8,68% pemuda bugar 8,83%. Di 2022, turun jadi 7,03% dan 6,17%. Lalu di tahun 2023, malah turun lagi jadi 6,79% dan 5,04%. Sangat memprihatinkan.

Sementara itu, secara spesifik lagi, tingkat kebugaran remaja-remaja 10-15 tahun kita sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Setelah Kemenpora mengukur tingkat kebugaran 1578 remaja Indonesia usia 10-15 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada 2023 ditemukan fakta bahwa mayoritas (77,12%) remaja Indonesia tingkat kebugarannya kurang dan sangat kurang. Dengan kata lain, dari 10 remaja kita, cuma 2 yang badannya sehat dan fit. Yang lainnya ringkih, sakit-sakitan, dan lemah.

Lalu untuk segmen pemuda (umur 16-30 tahun), kondisinya malah makin menyedihkan. Karena persentase pemuda ringkih mencapai 83,55%! Cuma 5,04% yang menunjukkan kondisi fisik yang baik.

Tak heran jika data IDAI juga menyatakan bahwa jumlah kasus diabetes pada anak-anak muda di negara ini juga melambung tinggi. Dari tahun 2010 hingga 2023, jumlah kasus diabetes anak naik hingga 70 kali lipat. Jelas sudah bisa dikatakan kondisi genting. Ini tak cuma bakal jadi sandungan tetapi gunung penghalang tercapainya Generasi Emas 2045 nanti. Bagaimana bisa jadi bangsa besar kalau generasi mudanya sakit-sakitan dan lemah begini?

Karena itulah, bangsa ini masih punya banyak pekerjaan rumah dalam bidang pemberdayaan olahraga. Setop ego sektoral di kalangan birokrat. Setop praktik korupsi di segala lini organisasi olahraga. Ciptakan lingkungan yang kondusif agar anak-anak muda mau berolahraga. Jangan bangun mall dan jalur kendaraan melulu. Bangunlah taman kota, jalur sepeda, jalur jogging. Berikan subsidi pada makanan sehat agar tidak semahal sekarang. Justru yang dimahalkan harusnya makanan sampah yang membuat badan sakit. (*/)

Posted in Latest news | Tagged , | Leave a comment

Bagaimana Membuat Tulisan yang Berdampak (Impactful Writing)

Denny JA saat menyampaikan materi di Writing Retreat Satupena 2024 di Bogor 30 Agustus-1 September 2024. (Foto: Dok. Satupena)

Seminggu lalu saya mengikuti Writing Retreat bersama Komunitas Satupena yang dihelat di Puncak, Bogor selama 3 hari. Saya punya ‘oleh-oleh’ dari event itu bagi para pembaca setia blog ini. Karena event itu soal menulis, oleh-oleh yang akan saya berikan juga bentuknya tulisan.

Salah satu pembahasan yang menarik untuk saya ‘bungkus’ menjadi ‘oleh-oleh’ dari sana ialah cara menyusun tulisan yang berdampak yang disampaikan oleh Denny JA selaku Ketum Satupena pada Jumat malam (30/8) di De Pointe Resort and Resto, Jl. Negalsari, Sukatani, Tugu Utara, Kec. Cisarua, Kab. Bogor, Jabar.

Nonfiksi Berdampak

Salah satu contoh tulisan yang berdampak positif bagi masyarakat menurut Denny ialah sebuah karya monumental dari penulis beraliran feminisme Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique.

Kisah di balik buku tersebut sangat menarik. Di tahun 1958, Friedan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan pendidikan yang lebih baik dari kebanyakan wanita saat itu menghadiri acara reuni kampusnya yang angkatan 1942. Sekolah tempatnya belajar dulu kini memintanya untuk mengajari wanita-wanita menulis dengan baik.

Pertanyaan yang menjadi dasar tulisan mereka ialah “Apakah Anda merasa bahagia dengan kehidupan Anda sekarang?” Sebagai respon, para peserta yang semuanya wanita dipersilakan menulis sebuah tulisan yang menjawab pertanyaan tadi berdasarkan pengalaman dan sudut pandang mereka masing-masing.

Sekilas, wanita-wanita seangkatannya yang mengikuti pelatihan menulis Friedan itu berhasil memenuhi ekspektasi masyarakat. Mereka adalah perempuan yang setelah lulus sekolah kemudian menikah dan melahirkan anak-anak dan mapan secara ekonomi sebagai kelas menengah tetapi merasa ada kekosongan dalam hidup mereka meski hidup sudah sesuai dengan standar masyarakat saat itu.

Friedan lalu membaca tulisan-tulisan wanita tadi dan menyimpulkan bahwa kebahagiaan dari jenis kehidupan yang sudah ditetapkan masyarakat saat itu ternyata tak berhasil membuat wanita-wanita bahagia.

Inilah yang kemudian mendorong Friedan menyusun buku The Feminine Mystique yang premis utamanya adalah menyatakan bahwa perempuan yang mengikuti jalur sesuai ekspektasi masyarakat tak sepenuhnya bahagia dalam menjalani kehidupan mereka. Ternyata waktu telah berubah dan cara berpikir wanita tak lagi sama. Mereka menghendaki perubahan. Mereka ingin lebih banyak ruang berkiprah di ranah publik sebagaimana laki-laki.

The Feminine Mystique kemudian memantik api emansipasi perempuan gelombang kedua di bidang ekonomi di tahun 1960-an. Perempuan saat itu ingin berkarier dan memiliki pekerjaan di luar rumah.

Gelombang pertama fenimisme sendiri telah muncul di tahun 1920-an di bidang politik. Saat itu kaum wanita berhasil meraih hak untuk bersuara atau mencoblos dalam pemilu seperti pria. Sebelumnya wanita dianggap sebagai warga negara kelas dua yang tak berhak mencoblos saat pesta demokrasi nasional.

Karya tulis berpengaruh kedua lainnya yang menurut Denny JA patut diapresiasi ialah Silent Spring oleh Rachel Carson, seorang penulis perempuan yang menyoroti fenomena penggunaan pestisida yang marak di dekade 1960-an.

Dalam buku nonfiksinya itu, ia mengemukakan sebuah keanehan di alam sekitarnya. Di saat musim semi, ia mengamati kondisi sepi mencekam yang seharusnya riuh rendah karena burung-burung yang bermigrasi. Satwa-satwa ini ternyata saat itu banyak yang mati mengenaskan sebab penyemprotan pestisida berbahan DDT yang mematikan. Buku Carson ini berhasil membangkitkan kesadaran orang terhadap isu pelestarian lingkungan hidup. Tak heran jika Silent Spring disebut sebagai buku paling berpengaruh dalam gerakan pelestarian lingkungan hidup di tahun 1960-an.

Fiksi Berdampak

Jika tadi adalah karya-karya nonfiksi dengan dampak yang luas, ada juga karya fiksi yang berdampak masif terhadap peradaban manusia saat ini.

Salah satunya yang dipilih oleh Danny JA ialah film The Strange Fruit (1937) yang menceritakan buruknya perlakuan masyarakat kulit putih Amerika Serikat kepada warga Afrika-Amerika di tahun 1930-an. Penganiayaan yang berujung maut kerap dialami warga kulit hitam di sana dan sudah dianggap jamak.

Namun, sebagian orang yang merasa terusik nuraninya mencoba memberontak. Salah satu bentuk pemberontakan terhadap tradisi diskriminasi dan perbudakan kulit hitam terutama di negara-negara bagian di Selatan AS yang pro perbudakan itu ialah karya fiksi.

Di sini digunakan pengandaian “buah yang aneh” untuk menggambarkan mayat-mayat orang kulit hitam yang digantung di pepohonan akibat tindak kekerasan orang kulit putih. Tak seharusnya manusia menganggap penggunaan kekerasan terhadap manusia lain sebagai hal yang wajar dan bisa dimaklumi.

The Strange Fruit kemudian bisa mendorong perubahan mindset warga AS kulit putih untuk menghentikan perlakuan tak manusiawi mereka pada warga kulit hitam. Film ini sukses memicu perubahan sosial di AS dan mengobarkan gerakan anti diskriminasi yang masih terus relevan hingga sekarang era Black Lives Matter.

5 Poin Penting untuk Menghasilkan Tulisan Berdampak

Menurut Danny JA, ada setidaknya lima poin yang ia kemukakan agar seorang penulis bisa menghasilkan sebuah karya yang menghasilkan dampak bagi masyarakat tempat kita berada.

Poin yang pertama ialah kita harus rajin mengamati peristiwa sehari-hari yang mungkin terkesan remeh dan menemukan potensi besar terjadinya perubahan radikal di baliknya.

Poin kedua ialah selalu tanyakan “kenapa” (why) sebelum kita menulis. Inilah nantinya premis yang akan bisa menggerakkan dan mengarahkan isi tulisan kita agar bisa menghasilkan dampak yang luas.

Poin penting ketiga yakni dalam menimbulkan dampak, kita harus berani melawan sebuah otoritas/ tradisi yang sudah ada sejak lama. Dengan demikian, penulis harus bersiap jika ada tindak kekerasan baik yang bersifat verbal maupun fisik terhadapnya.

Poin keempat yaitu bahwa buku hanyalah satu pintu pertama sebuah dampak sosial. Buku saja tidak cukup untuk memicu perubahan dan dampak. Setelah buku terbit, ia harus dibarengi dengan gerakan-gerakan nyata lainnya untuk memperbesar amplitudo gagasan di dalamnya.

Poin kelima yang tak kalah penting yaitu jika kita ingin mendunia, jangan lupakan pentingnya membangun koneksi.

Nah, setelah ini, upayakan untuk merenungkan poin-poin di atas sebelum menulis sesuatu agar tulisan kita ke depan bisa lebih berdampak. Tak cuma tulisan itu harus dirilis, tayang dan dibaca sebanyak mungkin orang di luar sana tetapi idealnya tulisan kita juga bisa mendorong perubahan cara pikir, berkata, dan berperilaku pada mereka yang membacanya. Barulah tulisan kita bisa dikatakan berdampak (impactful). (*/)

Posted in Writing | Tagged , , , , , , , , , | Leave a comment