Hanya manusia picik yang selalu menyalahkan AI (atau teknologi lain) untuk problem moralitas dan etika yang mereka hadapi. Kenapa? Karena semua masalah moralitas dan etika itu kembali ke manusianya. Tampaknya kita lupa bahwa seperti gunting, motor, laptop, internet, dan microwave, AI juga cuma alat yang dikendalikan manusia dan dibuat dengan tujuan untuk kepentingan umat manusia juga. Jadi akar masalahnya terletak di dalam diri kita sendiri. Begitulah kesimpulan setelah saya menyimak dialog dan paparan Wicaksono atau yang dikenal sebagai blogger Ndoro Kakung dalam acara Obrolan Hatipena bertajuk “Menjadi Penulis di Era AI” kemarin malam (12/9).
Wicaksono sendiri saya sudah kenal lama sejak zaman keemasan blogging tahun 2010-an karena ia kerap menulis hal-hal menarik di blognya ndorokakung.com. Ia juga tampil di banyak kesempatan seperti Pesta Blogger 2010 yang bergengsi saat itu karena mengumpulkan banyak penulis blog dari berbagai daerah di dalam negeri dan mengundang sejumlah sosok dari luar negeri.
Selalu Ada Penawarnya
Menanggapi soal perkembangan AI yang sudah berhasil mengeksekusi tugas menulis dengan piawai, Wicaksono menanggapi: “Jangan khawatir dengan perkembangan AI karena setiap teknologi ada antidotnya”. Ia mencontohkan misalnya dengan kemunculan berbagai AI chatbot seperti ChatGPT, kita bisa saksikan munculnya sejumlah software pendeteksi tulisan karya AI. Sehingga kita tidak mudah ditipu oleh pengguna AI yang tak mau mengakui bahwa mereka pakai AI dalam tugas dan tulisan akademik, sebuah masalah etika yang jelas adalah masalah dalam diri manusia. Bukan semata salah AI.
Saya mengamini pendapat Wicaksono. Karena jika mengamati dan merenungi perkembangan peradaban dari waktu ke waktu, selalu saja ada kemunculan teknologi baru yang mulanya dikutuk sebagai pemicu kehancuran oleh mereka yang berpikiran kolot dan kuno. Ada protes di sana-sini, mengatakan perkembangan teknologi baru membuat hancur umat manusia. Tetapi karena teknologi baru itu bisa memudahkan hidup manusia, akhirnya lambat laun ia tak terbendung dan memasuki berbagai lini. Lalu ia dianggap normal dan wajar. Pola semacam ini bisa kita amati dari zaman kemunculan kapal uap, telegram, telepon, listrik, hingga internet yang dianggap biang keladi dari senjakala media cetak dunia. Tapi toh manusia tetap bisa hidup bahkan lebih nyaman sekarang ini, bukan?
Tentukan Batas Etika dan Moral
Kuncinya adalah kita mau berubah seiring dengan perkembangan zaman atau duduk diam mengamati sambil mengutuki perubahan itu sampai lelah sendiri dan mati. Yang tak kalah penting ialah manusia juga perlu belajar ilmu filsafat dan etika serta merenungkan soal moralitasnya sendiri agar ia bisa menentukan batas-batas dalam penggunaan AI dalam kehidupannya. Misalnya dalam konteks dunia kepenulisan, kita harus membicarakan jenis tulisan seperti apa yang boleh pakai AI dan jenis mana yang tidak seharusnya pakai AI.
Dan jika kita memakai AI dalam proses kreatif menulis, jangan sampai lupa untuk mendeklarasikan secara jelas dan lantang bahwa Anda menggunakan AI dalam menulis. Hal ini sendiri sudah dilakukan oleh media arus utama dalam negeri seperti Kompas.com yang mencantumkan catatan di setiap berita yang dibuat dengan AI. Kejujuran ini harus ditegakkan agar nantinya kita bisa memudahkan mendeteksi tulisan mana yang dibuat dengan bantuan AI (tak peduli berapapun persentase kontribusi AI dalam tulisan itu) dan tulisan yang murni buatan otak manusia, tanpa bantuan AI sedikitpun. (*/)