Menebar Asa untuk Kaum Menengah Paruh Baya

Seorang anak muda di TikTok mengeluhkan sulitnya mencari kerja. Di usianya yang ‘sudah’ di pertengahan 20-an, ia mengatakan sekarang makin lama waktu yang dihabiskan untuk mencari kerja. Ia menunjukkan ratusan atau mungkin puluhan email lamaran kerja yang ia kirimkan. 

Saya pikir ia menganggur 1-2 tahun. Eh di akhir video dia berkata: “Akhirnya punya kerjaan lagi setelah 3,5 bulan nganggur…” 

Tampaknya ia membuat video TikTok tadi untuk memberi semangat pada anak muda lainnya yang masih menunggu kesempatan kerja bahwa kesempatan dan harapan itu masih ada, asal kita masih berusaha. Di kolom komentar, ia merespon para komentator dengan kata-kata yang membesarkan hati. 

Saya pun mengapresiasi konten itu. Setidaknya ia tak menyebut besaran kompensasi gaji yang ia dapatkan di pekerjaan barunya, yang bisa berpotensi memicu kecemburuan dan mendorong orang tak puas dengan pekerjaan yang mereka miliki sekarang. Karena sering orang lupa dengan niat awal yang cuma memotivasi, eh lama-lama kok jadi ajang pamer pencapaian diri. Akhirnya malah ‘dirujak’ warganet.

Tanpa bermaksud mengecilkan besarnya penderitaan anak-anak muda Gen Z akibat kesulitan mencari kerja di tengah resesi ekonomi seperti saat ini, saya juga menemukan kelompok lain yang tak kalah menderitanya: pencari kerja kelompok menengah usia 40-an.

Kebetulan pagi ini saya menonton sebuah konten YouTube yang membahas soal fenomena “Chillean Paradox” yang merujuk pada fenomena di salah satu negara Amerika Selatan, Chile.

Di sana, pertumbuhan ekonominya relatif tinggi dan stabilitas makroekonomi membaik. Sayangnya semua pencapaian positif di atas kertas itu juga dibarengi dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang makin nyata di pelupuk mata. Ternyata di lapangan, meskipun Chile mengalami kemajuan ekonomi pesat sejak era 1970-an, perbedaan antara kaya dan miskin tetap mencolok.

Faktor-faktor penyebab paradoks ini tak cuma satu. Setidaknya ada 4 faktor yang berperan dalam terjadinya Chillean Paradox ini, yakni kebijakan ekonomi neoliberalisme yang menciptakan kesenjangan akses terhadap sumber daya, pasar tenaga kerja yang kurang memberikan perlindungan memadai bagi pekerja, sistem pendidikan yang bergantung pada kemampuan finansial dan membatasi mobilitas sosial, dan struktur pajak yang cenderung regresif.

Dampak paradoks ini adalah terjadinya ketidakstabilan sosial, kesenjangan kesehatan dan kesejahteraan, terhambatnya peluang ekonomi, serta menurunnya kepercayaan terhadap institusi.

Indonesia menurut laman moneynesia.com juga berpotensi mengalami paradoks serupa jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan distribusi kesejahteraan. 

Chilean Paradox menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Diperlukan kebijakan yang berfokus pada redistribusi kekayaan dan peningkatan akses terhadap layanan dasar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Sebuah komentar di bawah video YouTube yang saya saksikan itu menarik perhatian saya karena sungguh mencerminkan nestapa kelompok ekonomi dan usia menengah (middle class, middle age) di negara kita.

Di Indonesia saat ini, tak cuma orang-orang yang berada di kelompok ekonomi menengah alias middle class yang menderita sebab diperlakukan sebagai ‘sapi perah’ dan ‘lokomotif’ penggerak ekonomi bangsa di tengah kelesuan ekonomi dan kondisi geopolitik dunia yang jauh dari kata stabil.

Mereka yang berada di rentang middle age alias paruh baya atau umur 40-an juga kena dampak parah karena sebagian dari mereka kena layoff tapi mereka juga menghadapi tantangan lebih besar untuk masuk kembali ke dunia kerja karena adanya diskriminasi usia dan kecenderungan para pemberi kerja untuk merekrut anak-anak muda lajang usia 20-an saja yang gajinya lebih rendah. Mungkin sebagai junior officer/ staff berstatus pegawai kontrak atau bahkan intern bergaji mepet UMR.

Yang mau lebih efisien lagi bahkan tak mau lagi merekrut manusia dari berbagai rentang usia. Cukup sisihkan anggaran untuk pakai layanan AI berbayar atau menyewa freelancers/ pekerja lepas berpengalaman untuk menghemat pengeluaran bisnis.

Bisa dikatakan susah untuk bersikap optimistis saat ini dengan melihat semua kondisi ini. Dan untuk membangkitkan optimisme itu, cobalah membaca kutipan berikut ini:

“Tanpa kerja, semua hidup membusuk. Tapi ketika kerja tanpa jiwa, hidup tercekik dan mati.” – Albert Camus

Selamat mencari karya! (*/)

This entry was posted in Blog and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *