Conclave Coworking Space Hadirkan ‘New Yorker Feel’ di Jakarta

PENGANTAR: Tulisan ini saya buat di tahun 2015 dan saya tayangkan kembali di sini sebagai dokumentasi.

13 Feb 2015 Hits : 1,037

Ciputraentrepreneurship News, Jakarta – Jika Anda berkesempatan melewati jalan Wijaya di Jakarta Selatan, mungkin Anda pernah melirik karena tertarik dengan sebuah bangunan kokoh berlantai tiga yang berkesan lapang dan terang. Desainnya berbeda dari bangunan-bangunan lain di sekelilingnya. Di depannya tidak dijumpai pagar pembatas yang mengungkung. Begitu juga bagian facade (muka bangunan), yang tampak begitu transparan karena hanya dibatasi material kaca bening. Desain bergaya industrial ini terkesan tangguh dan ‘raw’.  Dinding-dindingnya dibiarkan diplester dengan warna abu-abu khas semen yang tidak dilapisi cat, telanjang begitu saja tanpa dibungkus dengan kertas dinding (wallpaper). Langit-langitnya juga tidak dibatasi dengan tripleks atau plafon yang membuat kesan lega dan tinggi makin terasa. Suasana hangat bisa ditemui di lantai dua karena ruangannya didominasi warna coklat kayu. Ini menjadi salah satu upaya untuk menggugah ‘New Yorker feel’ untuk mendongkrak produktivitas bagi mereka yang bekerja di dalamnya.

Conclave Coworking Space” – demikian nama bangunan tadi – merupakan buah kerjasama dua orang pemuda. Awalnya, Aditya Hadiputra dan Marshall Tegar Utoyo berteman semasa kuliah di jurusan SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen), Institut Teknologi Bandung.  Saat itu mereka menekuni bidang industri keuangan seperti jual beli saham, brokerage, investasi dan sebagainya. Setelah mengecap pengalaman di dunia kerja dan mengalami pergeseran minat, Aditya merasa kurang nyaman di industri keuangan karena jarang bertemu orang. “Mereka yang benar-benar bermain saham misalnya, pekerjaan sehari-harinya hanya berhadapan dengan laptop saja,” paparnya.

Akhirnya dua tahun lalu, ia mendapatkan ide untuk mendirikan sebuah kantor bersama (coworking space) yang bisa disewa dengan tarif yang terjangkau bagi semua kalangan, terutama entrepreneur yang baru mendirikan startup. Mereka ini adalah kelompok yang masih belum dapat mendapatkan ruang kantor besar yang bertarif tinggi di titik sentral ibukota yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan perniagaan negeri ini.

Setelah pulang dari perjalanan mereka ke Sydney, Marshall dan Aditya mengunjungi banyak coworking space di sejumlah lokasi di berbagai negara, seperti Australia, Singapura, Hong Kong, Filipina, dan sebagainya. Setelah itu tercetus ide mendirikan Conclave.

Dari pengamatannya terhadap semua coworking space tersebut, Aditya menyimpulkan masing-masing memiliki ciri khas. Dan bagi Aditya, ia menginginkan Conclave menjadi tempat yang akomodatif bagi berbagai komunitas di ibukota. “Karena ingin menjadi rumah dan tempat komunitas-komunitas beraktivitas, kami menyediakan ruang khusus yang dapat dipakai untuk menyelenggarakan acara-acara pertemuan (event) yang beragam. Mulai dari workshop, seminar, talk show, penghargaan (award), pesta ulang tahun, syuting video atau pemotretan.” Aditya yakin dengan memberikan ruang di Conclave bagi komunitas-komunitas ini, kreativitas mereka akan bisa terus ditingkatkan.

Dua sahabat itu memiliki minat yang berbeda. Aditya mengaku dirinya lebih tertarik kepada dunia bisnis teknologi informasi. Sementara Marshall lebih ingin menekuni bidang desain.

Arsitektur dan desain interior Conclave dikerjakan oleh mereka sendiri. “Kami menggabungkan kelebihan-kelebihan kami dan kami ingin memenuhi kebutuhan orang TI dan desain. Terciptalah coworking space Conclave,” ujar pria berkacamata itu.

Dalam pembangunan Conclave yang berlokasi di jl. Wijaya Jakarta Selatan itu, Marshall lebih banyak menangani aspek desainnya, sesuai dengan passion-nya. Ia membuat Conclave sedemikian rupa sehingga bisa mengakomodasi kebutuhan kaum pekerja kreatif di dalamnya. Ada perpustakaan, ruang kerja yang tenang, ruang rapat yang nyaman dengan kapasitas 6-7 orang, kafe Typology di sebelahnya untuk bersantap di sela-sela kesibukan pekerjaan atau sekadar mengobrol melepas penat, dan sebagainya. Bahkan para anggota Conclave bisa mandi dan kemudian bekerja kembali setelah badan terasa segar.

Menurut Aditya, Conclave menjadi solusi bagi entrepreneur-entrepreneur baru yang membutuhkan ruang kantor yang terjangkau. Ruang kerja bisa disewa per jam sehingga penyewaan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan.

Aditya mengatakan keunggulan bekerja di sebuah coworking space dibandingkan jika menyewa atau mengkontrak sebuah bangunan rumah sebagai kantor sendiri adalah para entrepreneur atau pekerja lepas (freelancers) di industri kreatif ini tidak perlu lagi pusing tentang infrastruktur pendukung semacam koneksi Internet, listrik, dan sebagainya. “Lebih baik mereka ngantor di coworking space yang lebih memudahkan. Tinggal bayar dan tahu beres,” cetusnya.

Conclave juga menjanjikan sambungan Internet yang lebih cepat. Sebagaimana diketahui, koneksi yang dapat diandalkan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi kaum pekerja digital saat ini.

Selain itu, Aditya yakin bahwa bekerja di coworking space juga bisa memperluas jejaring atau koneksi bisnis seorang entrepreneur. Bandingkan dengan bekerja di sebuah kantor atau ruko yang terpisah dari komunitas atau sesama pelaku industri yang sama. “Anda bisa bertemu dengan orang-orang baru di coworking space setiap hari meski memiliki latar belakang yang berbeda-beda.”

Walaupun ia mengakui ada sebagian orang yang merasa nyaman bekerja di kafe-kafe bergaya hipster di Jakarta, Aditya menegaskan ada kelebihan yang dipunyai coworking space, yaitu sambungan Internet yang lebih dapat diandalkan dan kenyamanan untuk bekerja selama yang dibutuhkan.  “Bekerja dua jam saja di kafe sudah terasa agak ‘gerah’ karena hilir mudik dan kebisingan orang yang ada di dalamnya,” ia beralasan. Belum lagi dari sudut pandang si pemilik kafe yang menganggap pelanggan yang duduk terlalu lama sebagai ‘gangguan’ karena mereka ingin juga menyediakan tempat bagi pengunjung lainnya yang ingin masuk, membeli makanan dan minuman dan menikmatinya di sana. Karena itulah, bisa dipahami kalau kafe-kafe itu memberikan fasilitas koneksi Internet yang tidak terlalu cepat. Padahal mereka yang ingin bekerja lebih efisien membutuhkan koneksi Internet yang berkualitas prima.

Conclave baru saja melakukan soft launching Desember 2014 lalu. Aditya mengatakan grand launching akan digelar awal Maret tahun ini sehingga akan ada lebih banyak orang yang beraktivitas di dalamnya.

Aditya berterus terang ada satu elemen penting yang belum ia hadirkan di Conclave. “Bau kopi! Biasanya orang kalau masuk ke tempat seperti ini dan ditambah dengan bau kopi akan bisa lebih berkonsentrasi,” ia berseloroh. (*/Akhlis)

This entry was posted in Blog and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *