PENGANTAR: Saya pernah bekerja sebagai jurnalis untuk sebuah website bertema entrepreneurship antara tahun 2010 hingga 2015. Saya berkesempatan menulis sejumlah startup dan mewawancarai sederet entrepreneur muda di era menjamurnya gagasan bahwa punya startup itu keren banget. Berikut adalah salah satu tulisan saya tentang sebuah startup yang kini sudah tidak ada kabarnya.
Selasa, 15 Januari 2013 09:21
Berawal dari sebuah komunitas di Yogyakarta, sebuah startup bernama “Capung” sanggup melanglang buana hingga ke negeri Paman Sam. “Sebenarnya kami bermula dari sebuah komunitas. Di dalamnya tidak hanya berisi orang teknik, tetapi juga dari berbagai bidang namun memiliki minat yang sama yakni elektronika, aeromodelling, dan robotika,” ungkap Dendy Pratama, salah satu sosok kunci dan pendiri Capung.
Setelah berkumpul dan berdiskusi, muncullah sebuah rencana pengembangan perangkat yang bisa menerbangkan kamera. Fungsinya untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan bisnis mereka yang merancang. “Yang punya bisnis percetakan menggunakannya untuk percetakan. Sementara untuk saya sendiri yang studi komunikasi menggunakannya untuk fotografi dan berbagai kebutuhan pembuatan film dokumenter,” ujarnya. Setelah beberapa waktu dan mengikuti kompetisi IEC 2011, ia baru dapat berkonsentrasi mengembangkan sisi robotikanya. Jadilah pesawat tanpa awak mikro, imbuhnya. Mulanya hanya berupa pesawat styrofoam yang digunakan untuk pengemasan barang. Sangat sederhana, tetapi sekarang sudah lebih berkembang. Perangkat yang dibuat oleh Capung berjenis 3: trikopter, helikopter, dan multikopter.
Apa yang dilakukan kru Capung hampir sama dengan berbagai agen pemotretan yang kita kenal. Bedanya, mereka mengambil angle di sisi atas, bukan dari samping, depan atau yang sejajar dengan posisi objek foto. Inilah yang dinamakan “aerial photography”. Kata Dendy,”Kami memilih foto udara karena saingannya di darat sudah terlalu banyak dan saya tak terlalu hebat untuk fotografi darat.” Pemikiran inovatif dan out-of-the-box , Dendy disambut senyum dari audiens acara Jumpa Pers ITB Entrepreneurship Challenge 2013 (IEC 2013) yang berlangsung di Pusat Kebudayaan AS “At America”, kawasan Sudirman Jakarta tadi malam (14/ 1/ 2013).
“Kami tergerak untuk mengabadikan berbagai gambar dari tempat-tempat indah di seluruh nusantara dari atas seperti yang banyak kita saksikan di National Geographic, NHK dan sebagainya yang banyak menayangkan film dokumenter dengan angle di atas,” Dendy berkata. Capung tidak mau mengambil ange yang sudah digunakan banyak fotografer. “Kami pun memutuskan untuk berkeliling Indonesia untuk mengabadikan tempat-tempat yang indah dengan menggunakan angle-angle berbeda. Sejumlah tempat yang telah mereka potret dari atas ialah Pura Bedugul di Bali, Candi Prambanan di Jawa Tengah, bahkan jembatan Suramadu. Angle dari udara membuat tempat-tempat tujuan wisata ini terlihat lebih memukau.
Untuk memotret berbagai objek menarik tersebut sering kru Capung harus mengerahkan berbagai daya upaya dan trik untuk menyiasati keadaan dan medan yang sukar. Seperti saat memotret jembatan Suramadu, mereka harus mengendarai perahu di bawah jembatan tersebut dan kemudian menerbangkan pesawat tanpa awak yang telah dilengkapi kamera untuk memotret dari ketinggian yang pas. Pemotretan tempat-tempat wisata ini mereka lakukan sekadar memenuhi rasa ingin tahu, bukan karena keharusan pengerjaan sebuah proyek.
Capung selama ini menangani proyek-proyek yang dibagi menjadi 2 kelompok besar: komersial dan non-komersial. Untuk jenis komersial, mereka mengenakan biaya yang bervariasi tergantung sejumlah faktor terutama durasi terbang. Sementara untuk non-komersial, mereka sering diikutsertakan dalam pemantauan dari udara pasca bencana untuk mengetahui tingkat keparahan bencana di suatu wilayah.
Secara umum, Capung menyediakan jasa fotografi dan videografi untuk berbagai tujuan. Di antaranya ialah pemetaan, dokumentasi, survey, film / sinetron dan berita. Dilengkapi dengan peralatan canggih dan laboratorium serta riset yang mendalam perangkat capung telah teruji di berbagai medan.
Startup yang tahun ini direncanakan akan menjadi badan hukum tersebut harus menghadapi berbagai kendala, terutama mahalnya peralatan yang mayoritas masih impor. Namun, apa yang menjadi batasan bagi orang lain justru membuat kru Capung menjadi lebih kreatif. Mereka mampu mencari bahan-bahan di sekitar yang lebih murah dengan fungsi yang kurang lebih sama. Ini terjadi jika peralatan tiba-tiba rusak. “Dulu kami harus memulai dengan 1 baterai, dengan harga 20 dollar dan harus pesan di Hong Kong,” katanya. Keterbatasan dana itu membuat Capung harus lebih kreatif.
Nama “Capung” belum banyak dikenal tetapi hasil karya mereka telah banyak beredar. Seperti foto-foto yang dipublikasikan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia beberapa waktu lalu tentang fenomena Crop Circle di Yogyakarta. “Inilah proyek pertama kami: memotret crop circle di sana.Saat itu banyak stasiun TV bingun cara mengambil gambar. Dan kamilah yang satu-satunya dapat mengambil gambar dari ketinggian,” kata Dendy. Dan hebatnya, hal itu dilakukan tanpa harus menyewa helikopter yang mahal. Dari hasil jerih payah menjual dokumentasi crop circle ke stasiun TV itulah Capung makin menjulang.
Satu kiat untuk mengumpulkan modal awal berbisnis dari Dendy ialah kelihaian dalam memanfaatkan kompetisi-kompetisi entrepreneurship. “Karena biasanya lomba-lomba ini menawarkan banyak hadiah berupa uang,” kata Dendy yang telah diundang ke AS untuk memperdalam pengetahuan tentang penerbangan pesawat awak tanpa mikro yang berhubungan erat dengan Capung. Uang hadiah itu bisa dialokasikan ke berbagai pos untuk mendanai startup agar lebih berkembang. “Itulah yang memotivasi kami untuk menang,”tambahnya mantap. (*/Akhlis)