Getol Mengukur, Lupa Olahraga

Hari ini tanggal 9 September diperingati sebagai hari olahraga nasional. Tak banyak orang Indonesia yang tahu dan peduli karena hari ini bukan hari libur nasional. Mungkin juga karena kita sudah kebanyakan hari libur. 

Ketidakpedulian orang Indonesia terhadap hari olahraga nasional ini membuat saya juga sangsi apakah kita juga tahu singkatan “SDI”.

Kalau Anda belum tahu apa itu SDI, SDI adalah singkatan dari Sports Development Index. Meski istilah ini berbahasa Inggris, ternyata indeks ini dibuat oleh bangsa kita sendiri. Alasannya karena indeks yang khusus mengukur keberhasilan pembangunan di sektor olahraga belum ada. 

Inggris, kata Suyadi Prawiro selaku asisten deputi di Kemenpora, punya indeks yang mirip. Namanya Sports Equity Index (SEI) yang cuma memakai 1 indikator: partisipasi masyarakat dalam olahraga. Selain itu, metode lain untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga di sebuah negara biasanya adalah jumlah medali yang berhasil diraup di Olimpiade. Namun, Kemenpora berkilah itu kurang akurat untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga. Baiklah…

Pemerintah Indonesia pun ingin membuat ‘gebrakan’ dengan memunculkan SDI ini. Sebagian alasannya juga karena adanya kebijakan nasional berupa Dekrit Presiden 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang mewajibkan penggunaan SDI.

Menurut website resmi Kemenpora, SDI adalah metode pengukuran keberhasilan pembangunan olahraga di nusantara. Indeks ini mulai diterapkan di lapangan pada tahun 2003 hingga 2007. Cakupan SDI ada 4 dimensi: ketersediaan SDM olahraga, ruang terbuka, partisipasi, dan kebugaran jasmani. Dalam perkembangannya kemudian, 4 dimensi SDI ini melebar menjadi 9. Lima dimensi tambahan lainnya yaitu literasi fisik, perkembangan personal, kesehatan, ekonomi, performa. 

Table of Contents

Melorot

Saya pun mencari-cari laporan SDI terkini. Yang terbaru yang bisa diakses adalah versi tahun 2023 lalu. Yang terbaru tahun 2024 ternyata belum bisa saya temukan. Di situ ditemukan bahwa SDI tahun 2023 menurun sebanyak 0,327 dari skala 0-1.  Di tahun 2022, SDI ada di kisaran 0,335. Dengan demikian, terjadi penurunan 0,008 poin. Intinya, bangsa ini masih jauh dari angka 1 yang menjadi simbol kesempurnaan versi SDI ciptaannya sendiri.

Ironisnya, kalau kita lihat di lapangan, prestasi olahraga elit dan partisipasi masyarakat kita dalam olahraga juga begini-begini saja dari rezim ke rezim. Tidak ada hal yang baru, mencengangkan, dan wow. Kalaupun ada perubahan, malah sedikit kemunduran. Cabor badminton yang jadi anak emas pemerintah dan pihak swasta selama ini ternyata keok di Olimpiade Paris 2024. 

Kalaupun ada janji-janji surga untuk pelaku olahraga, biasanya cuma gimmick sebelum pemilihan umum. Lihat saja janji Prabowo dan Gibran tentang insentif pajak untuk klub olahraga. Mereka berjanji akan memberi kemudahan dan insentif bagi penyelenggara lomba olahraga dan kesenian, demikian dikutip dari katadata.co.id. Apakah ini akan terealisasi? Tak ada yang bisa menjamin.

Kegemasan lainnya soal pembangunan olahraga di Indonesia ialah birokrasi kita yang masih rumit, korup,  dan sering tak bisa dicerna dengan akal sehat. Maka dari itu, saat Bea Cukai menyatakan medali emas Rizki Juniansyah dan Veddriq Leonardo bebas bea masuk atau pajak impor, sontak masyarakat bertanya: “Bukannya sudah seharusnya? Apa perlu itu diumumkan? Kalau memang Bea Cukai masih waras ya seharusnya memang tidak dikenai pajak apapun.” Mungkin itu karena Bea Cukai sudah jadi bulan-bulanan warganet akhir-akhir ini dalam banyak kasus. 

Yang konyol adalah Rizki Juniansyah yang mengaku sudah dijanjikan bonus ratusan juta oleh pemprov Banten tetapi setelah ditunggu-tunggu pihak Pemprov Banten tak juga mengucurkan dana. Hingga Rizki angkat bicara di media 28 Agustus 2024 setelah pulang dari Paris, Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar pun baru bereaksi. Kumparan kemudian mengabarkan Rizki akan mendapat 250 juta dari pemprovnya. Itupun nanti di HUT Banten bulan Oktober. Jadi tak langsung cair ya!

Bangsa Ringkih 

Tak cuma ketidakberesan di kalangan birokrasi soal kebijakan dan kepedulian terhadap pembinaan olahraga dan kesejahteraan atlet, di lapangan juga masih banyak orang Indonesia yang tak pernah atau hampir tak pernah menyempatkan diri berolahraga.

Berdasarkan SDI tahun 2023, partisipasi olahraga masyarakat Indonesia secara umum juga menurun selama 2 tahun terakhir, dan ini juga ternyata berpengaruh pada tingkat kebugaran jasmani masyarakat.

Dalam survei Indeks Pembangunan Olahraga, diterapkan tes kebugaran jasmani Multistage Fitness tes (MFT) atau yang sering disebut sebagai ‘beep test’. Hasil yang didapatkan ternyata sangat memprihatinkan. Kebugaran masyarakat Indonesia yang berusia 10-60 tahun (usia produktif) menurun cukup signifikan. Di tahun 2021, persentase warga Indonesian yang hasil beep test-nya termasuk baik atau lebih adalah 7,87%, tahun 2022 menurun lagi menjadi 5,75% dan 2023 makin menurun menjadi 4,18%. Duh!

Lalu soal kebugaran jasmani para remaja (10-15 tahun) dan pemuda (16-30 tahun) yang kondisinya baik juga menurun. Tahun 2021 persentase remaja yang bugar 8,68% pemuda bugar 8,83%. Di 2022, turun jadi 7,03% dan 6,17%. Lalu di tahun 2023, malah turun lagi jadi 6,79% dan 5,04%. Sangat memprihatinkan.

Sementara itu, secara spesifik lagi, tingkat kebugaran remaja-remaja 10-15 tahun kita sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Setelah Kemenpora mengukur tingkat kebugaran 1578 remaja Indonesia usia 10-15 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada 2023 ditemukan fakta bahwa mayoritas (77,12%) remaja Indonesia tingkat kebugarannya kurang dan sangat kurang. Dengan kata lain, dari 10 remaja kita, cuma 2 yang badannya sehat dan fit. Yang lainnya ringkih, sakit-sakitan, dan lemah.

Lalu untuk segmen pemuda (umur 16-30 tahun), kondisinya malah makin menyedihkan. Karena persentase pemuda ringkih mencapai 83,55%! Cuma 5,04% yang menunjukkan kondisi fisik yang baik.

Tak heran jika data IDAI juga menyatakan bahwa jumlah kasus diabetes pada anak-anak muda di negara ini juga melambung tinggi. Dari tahun 2010 hingga 2023, jumlah kasus diabetes anak naik hingga 70 kali lipat. Jelas sudah bisa dikatakan kondisi genting. Ini tak cuma bakal jadi sandungan tetapi gunung penghalang tercapainya Generasi Emas 2045 nanti. Bagaimana bisa jadi bangsa besar kalau generasi mudanya sakit-sakitan dan lemah begini?

Karena itulah, bangsa ini masih punya banyak pekerjaan rumah dalam bidang pemberdayaan olahraga. Setop ego sektoral di kalangan birokrat. Setop praktik korupsi di segala lini organisasi olahraga. Ciptakan lingkungan yang kondusif agar anak-anak muda mau berolahraga. Jangan bangun mall dan jalur kendaraan melulu. Bangunlah taman kota, jalur sepeda, jalur jogging. Berikan subsidi pada makanan sehat agar tidak semahal sekarang. Justru yang dimahalkan harusnya makanan sampah yang membuat badan sakit. (*/)

This entry was posted in Latest news and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *