Sebagai penulis, kita ingin tulisan kita tidak cuma dibaca hanya untuk dilupakan kemudian. Kita mau tulisan kita bisa membekas dan diingat para pembaca kita. Karena itulah, kalau saya ditanya soal definisi “tulisan yang berdampak”, saya akan mengatakan bahwa tulisan berdampak merupakan sebuah tulisan yang berhasil memantik diskusi dan dialog publik soal isu-isu tertentu yang penting bagi kemaslahatan masyarakat. Bukan ‘hanya’ sebuah tulisan yang mendeskripsikan sebuah isu atau kondisi yang faktual di lapangan.
Tuntutan untuk menghasilkan sebuah tulisan yang berdampak ini dikemukakan oleh Okky Madasari selaku mentor dalam event “Writing Retreat Satu Pena 2024” yang dihelat tanggal 30, 31 Agustus dan 1 September 2024 lalu di De Pointe Resort, Puncak, Bogor. Sebanyak 25 penulis ikut serta dalam retreat menulis ini dan diharuskan menghasilkan tulisan yang berkualitas setelah sesi brainstorming, diskusi dan pemberian masukan/ kritik.
Sebagai salah satu peserta, saya juga ikut menulis. Topik yang diberikan oleh mentor ialah “Sudahkah manusia Indonesia merdeka?“. Dan karena saya tinggal di Banten, saya ingin mengaitkan topik besar itu pada fenomena dinasti politik di Banten yang begitu kental kemudian disarankan Okky untuk meneropong fenomena ini dari teori mekanisme pelarian diri yang disusun oleh pemikir Erich Fromm pada tahun 1942. Saya pun mencoba untuk mempertajam pembahasan esai yang saya tulis lagi berdasarkan masukan Okky.
Sebagai penulis, saya memang sudah sering membahas dan mengaplikasikan Kecerdasan Buatan (AI) dalam proses kreatif saya. Beberapa tulisan saya yang membahas soal AI ialah “Penting untuk Editor dan Pendidik! Inilah Cara Deteksi Tulisan AI“, “Kenapa Kita Harus Batasi Penggunaan AI Jika Masih Sayang Bumi“, “AI Sebagai Alat Membangkitkan Bisnis Media Lokal”, dan lain-lain yang Anda bisa baca di bawah profil Kompasiana saya. Satu artikel yang saya buat dengan bantuan AI bahkan berhasil menjadi headline di Kompasiana dan dibaca 1688 kali sampai tulisan ini ditayangkan: “Mengenang Joko Pinurbo: Pernah Bakar Puisi karena Ditolak Penerbit“.
Dari Dinasti ke AI
Kembali ke writing retreat, saat draft tulisan saya ditelaah Okky, ia terus terang menyukainya dan mengatakan bahwa perkembangan tulisan esai/ opini saya lebih baik dibandingkan draft paragraf pertama yang sebelumnya saya ajukan.
Di dalam esai ini saya mengkritik fenomena dinasti politik di Banten (dinasti Ratu Atut, Jayabaya, dan Natakusumah) dan bagaimana dinasti politik menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah wilayah (dengan mengutip data penelitian World Bank) dan bahwa fenomena ini muncul tak lain karena masyarakat Banten sendiri memang masih kebingungan dan belum bisa mandiri sebab mereka masih belum berpendidikan dan didera kemiskinan ekstrem.
Solusi jangka pendeknya ialah dengan memilih bersandar pada seorang sosok pemimpin yang bisa melakukan segalanya untuk mereka sebab hidup rakyat Banten sudah sulit. Meski pada jangka panjang, kecenderungan semacam ini bakal membuat mereka sulit maju juga.
Saya berteori di esai tersebut bahwa fenomena dinasti politik ini bisa muncul karena keserakahan elit politik daerah yang menjelma sebagai kompeni pribumi sekaligus karena manjanya masyarakat menengah bawah yang enggan berubah untuk maju. Karena untuk maju, perlu perubahan radikal yang sangat tidak nyaman.
Karena panitia dan mentor sebelumnya tidak menyebutkan larangan untuk memakai AI selama proses menulis, saya pun memakai AI di dalam proses menulis esai ini. Karena saya belum selesai membaca, saya menggunakan claude.ai untuk mendapatkan ringkasan novel Max Havelaar yang berlatar Banten masa lalu di tahun 1860-an dan kondisi mengenaskan masyarakatnya di bawah sistem tanam paksa Belanda. Saya juga menggunakan claude.ai untuk meringkas teori Erich Fromm soal mekanisme pelarian diri yang ia tulis di seminal “Fear of Freedom” (1942).
Seperti saya katakan tadi, Okky sebagai mentor memberikan pujian atas isi esai saya. Namun, sejurus kemudian muncul sebuah pertanyaan dari Wina Armada selaku salah satu anggota Dewan Pembina Satu Pena: “Apakah di sini Anda pakai AI?”
Saya menjawab dengan jujur bahwa saya memang memakai AI untuk menulis esai ini lebih cepat dan efisien.
Danny J.A. selaku Ketua Umum Satu Pena pun memberikan pledoi mengenai penggunaan AI dalam berkarya. Ia mengatakan bahwa penggunaan AI dalam menulis sebagaimana dalam bidang seni juga tak akan bisa terbendung sebab AI adalah perkembangan zaman yang tak terelakkan. Kita sebagai penulis mesti bersiap menyambutnya, entah itu mau atau tidak mau.
Dari sini diskusi soal esai saya pun bergulir menjadi soal boleh tidaknya sebuah tulisan yang dibuat dengan AI masuk ke dalam buku dan bagaimana penerapan etika saat seorang penulis menghasilkan karya dengan AI. Haruskah ia menulis dengan gamblang bahwa ia memakai AI di dalam proses menulisnya?
‘Pelatuk’ Diskusi
Dari sesama rekan penulis, saya juga menuai reaksi beragam. Penulis-penulis muda mengatakan bahwa mereka juga menulis dengan AI meski memang mereka menggunakan software untuk memparafrase dan memoles tulisan agar tak terdeteksi oleh manusia dan mesin lain. Di sini saya tertawa dalam hati. Apa bedanya karena itu semua sama-sama pakai AI? Bedanya cuma mengaku atau tidak. Ketahuan atau tidak.
Sementara itu, penulis-penulis yang lebih konservatif menolak penggunaan AI dalam tulisan dan proses kreatif. Salah seorang bahkan mengatakan,”Saya kagum dengan kejujuran Anda tetapi kecewa dengan perbuatan Anda”. Dengan kata lain, ia mengharamkan penggunaan AI dalam proses menulis.
Butuh beberapa waktu untuk mencerna segala reaksi ini dan saya bisa berpikir lebih jernih menanggapinya setelah menyingkirkan ego saya sebagai penulis yang begitu besar namun rapuh sekali. Sudah bukan rahasia umum kalau kaum penulis itu peka sekali terhadap kritik. Dikritik sedikit bisa membakar harga diri, membuat geram dan marah.
Tapi saya mencoba memisahkan ego saya dan karya. Yang mereka anggap menjijikkan itu adalah karya saya yang menggunakan AI. Mereka tidak jijik dan kontra terhadap saya sebagai pribadi. Sesederhana itu. Dengan demikian saya bisa berpikir dan berdiskusi lebih rileks dan terbuka bahkan dengan mereka yang berseberangan soal AI dalam menulis.
Tetapi kembali pada pertanyaan definisi tulisan yang berdampak, jika saya bertanya pada diri saya sendiri:”Apakah esai kamu itu sudah berdampak?”, saya pikir saya akan menjawab: “Iya. Setidaknya ia sudah bisa memantik diskusi soal etika penggunaan AI dalam proses menulis”.. Hahaha.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda pro atau anti AI dalam menulis? Dan jika Anda anti AI, apakah itu karena Anda tidak tahu caranya atau karena Anda tahu cara penggunaannya tetapi menganggap itu sebagai sebuah kecurangan? Karena saya harus katakan, jangan sampai kita membenci sesuatu karena hanya kita belum memahami atau masih asing terhadapnya. (*/)
P.S.: Tulisan ini murni dihasilkan penulis tanpa bantuan AI.