Dipertemukan oleh takdir, dua pelukis cum psikolog dari Italia berkolaborasi dalam seni.
Bertemu dan jatuh cinta 9 tahun lalu, Alessandro Vignola dan Neva Epoque sama-sama mahasiswa psikologi yang berminat dalam seni lukis. Keduanya kemudian sepakat untuk menjalani hidup sebagai seniman begitu menuai respon positif dari penikmat karya mereka. Dengan mengusung nama “Delta NA”, mereka membuka studio seni di tengah kota Asti, Italia utara yang memiliki lansekap pegunungan yang permai. Kepada Art Republik, kedua seniman itu mendiskusikan perjalanan seni mereka hingga sekarang.
AR: Bagaimana awalnya Anda berdua berkolaborasi?
Kami belajar psikologi di kampus yang sama. Saat kuliah tahun 2001 itulah kami bertemu pertama kali. Setelah lulus, kami tak bertemu lagi. Setelah tujuh tahun berselang, kami bertemu kembali di tempat yang sama saat kami terakhir bertemu. Kami percaya dengan takdir (destiny) dan itulah kenapa kami memilih nama “delta” untuk kami berdua dalam berkesenian.
Dulu kami melukis sendiri-sendiri tetapi kemudian ada kolektor lukisan kami yang ingin agar kami melukis lukisan yang lebih besar. Karena salah satu dari kami tak punya banyak waktu untuk membuat lukisan sebesar itu, kami putuskan mengerjakan lukisan itu bersama-sama. Lukisan kolaborasi pertama kami tak begitu memuaskan. Dari sana, kami sadar kolaborasi sangat menarik dan sejak itu kami selalu berkolaborasi dalam melukis. Dalam berkolaborasi kami membutuhkan waktu untuk menemukan gaya melukis kami yang baru karena ini berbeda dari melukis sendiri. Gaya ini baru dan lain dari gaya kami saat melukis solo.
AR: Warna biru mendominasi karya-karya Anda. Apakah memang dibuat sengaja demikian?
Kami bereksperimen dengan warna-warna yang merilekskan dan memberi nuansa harmoni. Kami tidak merencanakan dan proses itu terjadi begitu saja. Prosesnya menarik karena entah kenapa kami mengalir dari warna biru, hijau, pink, merah, seperti gelombang yang berulang. Kami tak tahu alasannya tetapi mungkin karena berkaitan dengan emosi dan perasaan kami. Bisa juga berkaitan dengan irama hidup, dari tidur, beraktivitas hingga tidur kembali.
Kami harus cermat memilih warna untuk emosi tertentu. Meski kami tidak membatasi warna-warna yang dipakai, kami tidak bisa menggunakan sejumlah warna seperti kuning dan hitam. Untuk kuning, kami hanya memakai warna emas atau kuning yang pucat. Sementara warna hitam kami hindari karena menandakan ketiadaan cahaya dan merusak harmoni lukisan. Untuk tandatangan kami memilih memakai warna biru tua yang terasa lebih alami.
AR: Hingga saat ini, lukisan mana yang menurut Anda berdua yang paling Anda sukai?
Sulit untuk memilih. Tetapi lukisan terbaru yang kami rampungkan biasanya kami lebih sukai dari yang lain karena memiliki koneksi yang lebih erat dengan diri kami.
AR: Bagaimana proses kreatif Anda?
Biasanya kami mulai dengan banyak menggambar. Baru setelah selesai, kami lanjutkan dengan memberikan cat. Saat memulai, biasanya kami tidak tahu apa yang akan kami hasilkan tetapi kami terus mengerjakannya. Kami bisa merasakan ada banyak yang bisa dikuak dari sana. Seperti ada sebongkah marmer di hadapan kami, dan kami yakin ada patung di dalamnya. Dan yang bisa kami lakukan hanyalah terus memahatnya dengan seksama.
AR: Gaya atau aliran apa yang Anda adopsi dalam karya-karya Anda ini?
Sulit untuk menentukan. Anda bisa menyebutnya abstrak tetapi tidak sepenuhnya demikian. Ada nuansa ekspresionisme, tetapi juga tidak sama persis dengan itu. Awalnya kami sebut “instinctive expressionism” karena kami pakai jari untuk melukis. Kami memilih menyebut ini sebagai “existential mechanics”, yang menjadi dasar bagi kami dalam berkarya kolaborasi. Kami menggabungkan gaya abstrak yang informal agar dalam proses melukis, kami tidak terlalu banyak berpikir sehingga kami bisa memberikan sensasi keterbukaan dan relaksasi pada mereka yang menyaksikan karya lukisan kami. Kami juga mempersilakan khalayak untuk menginterpretasikan karya-karya kami sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.
AR: Dalam kolaborasi, selalu ada risiko satu pihak mendominasi yang lain. Apa yang harus dilakukan jika itu terjadi?
Hal terpenting ialah memastikan kolaborasi terjadi secara seimbang dan bagaimana kita menemukan orang yang tepat dan membuat kita nyaman untuk diajak berkolaborasi. Prosesnya bisa memakan waktu lama agar bisa tercipta harmoni dan keselarasan. Bila ada salah satu yang ternyata terlalu dominan, pihak lain harus mengimbanginya dengan lebih berupaya menghadirkan dan membuka diri dalam karya bersama itu.
AR: Adakah alasan tertentu mengapa Anda melukis dengan memakai kanvas yang amat kecil?
Kami tidak menentukan ukuran kanvas. Saat kami akan bekerja, kami belum tahu apa yang akan keluar, kami merasakan adanya ketertarikan pada ukuran kanvas tertentu. Jadi, ini bukan semata-mata pilihan kami secara sadar. Bisa dikatakan, kanvas itulah yang memilih kami. Jadi, tiap lukisan muncul dengan makna, ukuran, dan warna masing-masing.
AR: Adakah pesan yang Anda hendak sampaikan melalui karya-karya Anda?
Kami memiliki banyak pesan dalam karya kami. Dalam beberapa tahun terakhir kami menerapkan teori existential mechanics, yang menyatakan bahwa seniman memiliki cara menangkap realita di balik dunia yang kasat mata ini. Realita bisa dimaknai sebagai serangkaian lapisan yang saling tumpang tindih, mirip dengan anyaman serat kain yang berpola dan berulang. Kami bermula dari bentuk geometrik dan statik untuk kemudian beralih ke semesta yang terbuat dari bentuk-bentuk geometrik tersebut. Pesan kami ialah bahwa realita itu mirip mimpi. Dan realita bukan semata-mata hal yang kita bisa tangkap dengan netra tetapi sesuatu yang lebih besar. Inilah cara kami memadukan kehidupan nyata dan energi spiritual. Kami mendorong audiens untuk menikmati lukisan dengan cara yang bertahap, tidak sekali saja dan berpuas diri karena di balik lukisan tersembunyi banyak makna yang bisa digali setiap kali menikmatinya. Lukisan juga seperti kehidupan, yang selalu memberikan kejutan jika kita mau membuka pikiran kita terhadap berbagai kemungkinan baru. (*/)
(Ditulis dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Akhlis Purnomo untuk Art Republik Indonesia Agustsu 2017)