Ditilik dari latar belakang keluarga, tidak ada darah seni yang mengalir dalam tubuh Syaiful Gribaldi. Ayahnya bergelut di bidang swasta dan ibunya ibu rumah tangga. Dunia seni terdengar asing bagi mereka. Namun, ketertarikan Syaiful kepada seni sudah muncul secara alami sejak dini. Kepada Art Republik Indonesia, ia berbagi pandangannya mengenai banyak hal, dari perjalanannya ke titik saat ini hingga persepsinya mengenai dunia seni kotemporer di tanah air. Berikut adalah petikan wawancara dengan sang seniman muda di sela kesibukannya menyiapkan karya untuk sebuah pameran di Jakarta.
Bagaimana Anda bisa tertarik ke dunia seni?
Dari kecil saya sudah gemar menggambar. Saya tertarik menjadi arsitek awalnya. Begitu masuk SMA, saya berminat kuliah ke jurusan Seni. Karena di ITB ada jurusan yang sesuai minat, saya pun akhirnya memutuskan kuliah di jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Grafis (2004-2010). Meskipun secara formal di bangku kuliah saya menekuni bidang Seni Grafis, setelah lulus hingga saat ini, saya tersebut justru lebih memilih berkarya dalam bentuk gambar (drawing), instalasi dan video.
Siapa yang menjadi inspirasi Anda dalam seni saat masih kecil?
Saya masih ingat sosok Pak Raden. Saya sering ikut lomba gambar dan di satu kesempatan beliau pernah mendatangi lomba yang saya ikuti. Dari sana, saya makin tertarik dan kemudian baru tahu beliau juga dulu alumni kampus yang sama dengan saya.
Apa tantangan yang pertama dihadapi dalam mewujudkan impian menjadi seniman?
Dulu saat saya masih kecil, orang tua saya bangga saya memiliki bakat seni. Mereka sangat mendukung saya menekuninya. Namun, begitu sudah dewasa dan saya harus memilih studi secara formal, baru orang tua merasa keberatan. Sebagaimana tipikal orang tua di Indonesia, keduanya belum meyakini bahwa menjadi seniman bisa menjadi profesi yang layak dan sumber penghidupan juga seperti profesi lainnya. Untuk meyakinkan orang tua, saya berupaya mandiri selama kuliah, misalnya dengan mencari beasiswa dan tidak mengandalkan apalagi meminta uang saku dari keduanya.
Bagaimana kuliah membantu Anda tumbuh sebagai seniman?
Ide didapat dari luar ruang kuliah, tetapi begitu masuk ruang kuliah, ide tadi akan diuji. Saat kuliah saya bertemu dosen-dosen yang mendorong perkembangan saya. Salah satunya ialah Asmudjo J. Irianto, yang membebaskan saya dalam menghasilkan ide tetapi tidak lupa menekankan pentingnya kemampuan untuk mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut. Beliau juga turut memberikan masukan yang terperinci jika ada yang perlu diperbaiki dalam karya para mahasiswa.
Kali ini sedang kerjakan karya apa?
Saya sedang mengerjakan karya bertema pangan. Tema ini dipilih karena ruang lingkupnya untuk eksplorasinya luas. Di pameran tersebut karya saya dipajang bersamaan dengan karya puluhan seniman lain dari dalam dan luar negeri.
Apa hal yang menarik dari proyek Anda sekarang?
Konsepnya ‘open lab‘ dan itu menarik karena memungkinkankan kami para seniman untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan para praktisi dan pakar di bidang selain seni. Misalnya, saya bisa belajar tentang dekomposisi pada ahli forensik, yang hasilnya dimasukkan dalam karya.
Waktu pengerjaan karya biasanya berapa lama?
Tergantung pada jenis karya dan proyeknya. Bisa beberapa hari atau setahun. Yang paling mudah misalnya mural (lukisan di dinding). Yang paling sulit ialah karya yang sedang saya kerjakan karena berkaitan dengan proses dekomposisi jasad manusia sebagai bahan pangan, yang melibatkan jamur, bakteri, dan larva, serta makhluk pengurai lain. Prosesnya rumit karena harus melalui izin Kepolisian dan rumah sakit, riset dengan dokter forensik dan bedah, agar tetap mematuhi prosedur yang berlaku agar tidak dianggap ilegal dan tindak kriminal.
Jadi seniman juga harus bisa menangani urusan selain seni?
Saya banyak belajar bahwa seniman juga harus bisa meyakinkan orang lain mengenai proyeknya. Itu karena belum ada pemahaman dalam masyarakat awam bahwa seni memiliki urgensi tersendiri. Jadi, apa yang terkesan iseng itu sebenarnya memiliki makna atau pesan penting yang ingin disampaikan. Saya ingin sebuah karya seni dapat memulai pembicaraan yang terbuka tentang isu penting. Untuk meyakinkan pihak lain yang asing dengan seni, saya biasanya menunjukkan portofolio karya. Dulu sebelum memiliki portofolio, saya bekerjasama dengan teman-teman. Jika tidak bisa membujuk orang untuk bekerjasama, saya lakukan sendiri dengan cara saya sepanjang tidak merugikan pihak lain dan tidak melanggar hukum.
Apa arti profesionalisme dalam bekerja sebagai seniman?
Sulit mengukur profesionalisme dalam seni karena ada elemen personal di dalamnya. Seniman sulit terus bekerja saat suasana hatinya kurang mendukung. Seniman bukan mesin.
Bagaimana proses kreatif Anda?
Saya menjaring ide baru dari bacaan dan perjalanan ke tempat lain. Kemudian saya tangkap ide tersebut dengan ponsel cerdas. Untuk corat coret, saya pakai buku catatan. Dari situ, saya bisa tambahkan jika saya butuh bantuan teman atau pihak lain untuk mengerjakannya atau butuh studi lagi untuk dapat mengerjakan dengan maksimal. Jika mesti datang ke laboratorium atau tempat tertentu, saya lakukan demi hasil yang optimal.
Seperti apa Anda dalam beberapa tahun mendatang?
Saya tidak ada bayangan. Saya berusaha yang terbaik dalam hal apapun yang saya kerjakan saat ini. Saya lebih suka menjalani tanpa banyak berekspektasi tetapi kemudian bisa menemukan kejutan-kejutan dalam perjalanan. Tetapi kini karakter impulsif saya itu lebih terkendali karena bekerja dalam sebuah manajemen yang mengarahkan saya dalam merampungkan proyek.
Bagaimana pendapat Anda tentang perkembangan seni kontemporer Indonesia?
Perkembangannya positif dan menggembirakan, yang bisa dilihat dari makin ramainya aktivitas seni. Perhatian pemerintah terhadap kesenian juga makin baik. Saya optimis dunia seni kita akan lebih maju. (*)