Saat mendengar kabar bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI akan memberlakukan aturan khusus untuk mendorong produsen makanan kemasan untuk mencantumkan label warna khusus kadar kandungan gula dalam produk minuman kemasan, banyak orang merasa gembira.
Saya merasa skeptis terhadap efektivitas rencana tersebut dalam menanggulangi naiknya tren kasus diabetes di kaum dewasa muda dan anak-anak dan berpendapat bahwa upaya pelabelan semacam itu kurang efektif.
Sebelumnya mari kita bahas makin gentingnya kondisi kesehatan bangsa ini akibat naiknya jumlah kasus diabetes. Dikutip dari laman fkm.unair.ac.id, diabetes di kelompok usia anak-anak di Indonesia menjadi masalah kesehatan yang semakin serius, yang artinya juga mengancam masa depan bangsa dan bisa membebani masyarakat di masa depan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi dari 0,04% (2007) menjadi 0,2% (2013), yang berarti sekitar 1 dari 500 anak Indonesia menderita diabetes. Diabetes melitus tipe 1, di mana tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup, adalah jenis yang paling umum pada anak-anak.
Faktor risiko utama meliputi obesitas, keturunan, pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan diabetes di kalangan anak dan keluarga juga dapat memperburuk kondisi.
Kenapa saya bisa berpendapat demikian? Berikut adalah 3 alasan saya.
Literasi Rendah
Alasan pertama saya adalah tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih relatif rendah. Coba Anda tanya pada pembeli makanan kemasan di toko-toko kelontong atau convenient store yang merambah di daerah-daerah pelosok, pernahkah mereka membaca label kandungan gizi di kemasan makanan yang akan mereka makan atau berikan pada bayi atau anak-anak mereka? Kalaupun mereka sudah baca, apakah mereka paham dan bisa menakar dan mengetahui batasan konsumsinya? Saya sendiri ragu. Jangankan yang buta huruf, yang melek huruf belum tentu bisa paham dan peduli dengan informasi gizi makanan/ minuman kemasan. Apalagi ukuran huruf informasi gizi begitu mikroskopis, bak jasad renik sehingga mata orang dewasa umur 40-an ke atas sudah menyerah untuk membacanya tanpa kacamata. Pokoknya enak, kenyang, segar, murah, sudah itu saja. Taruhan, itulah yang ada di benak banyak konsumen Indonesia.
Pengamalan Rendah
Alasan kedua ialah tingkat pengamalan pengetahuan kesehatan masyarakat yang masih rendah. Kita semua sudah diajari menu sehat di sekolah sejak kecil dan pasti sudah pernah membaca informasi cara makan sehat di buku, majalah, atau internet kapan saja di mana saja dan gratis pula tapi toh banyak orang memilih untuk makan sesuai selera mereka dan mengabaikan prinsip makan dan minum yang sehat, bukan?
Anda bisa melihat salah satu buktinya di video TikTok ibu Utti yang viral ini. Di sini ia dengan bangga menunjukkan anaknya yang membawa bekal nasi dan makanan olahan seperti mi instan dan nugget ayam dengan porsi ganda. Tanpa sayur dan buah. Anaknya terlihat suka dengan makanan instan tadi karena mungkin sudah dibiasakan sejak kecil untuk makan dengan menu seperti itu. Anak itu tampak gemuk, berisi. Tapi apakah jika diperiksa ia benar-benar sehat? Saya sungguh sangsi.
@ibuk.utti Replying to @kodokatlantis75 katanya pake mi dabel bun,,,jadi deh bekal dan sarapan si adek #rekomendasisarapan DJ MASHA AND THE BEAR – DJ JEDAG JEDUG
Di sini kita bisa melihat gagalnya pendidikan di sekolah kita untuk mengubah pola makan dan cara makan masyarakat agar lebih sehat. Mungkin kita hapal menu 4 sehat 5 sempurna, manfaat vitamin A sampai K dan jenis makanan yang mengandung vitamin itu semua, tapi faktanya di meja makan kita tersajinya makanan instan dan kalengan. Tidak ada makanan segar sedikitpun di kulkas.
Ketidakmampuan Berpikir Jernih
Alasan ketiga ialah orang Indonesia yang sudah paham pun masih akan tergoda untuk memilih makanan yang bergula tinggi jika produk itu tersedia. Dengan kata lain, keras kepala. Karena sekali mencandu makanan manis, seseorang akan terus menerus mengkonsumsinya. Jadi bisa saja label kandungan gula itu sudah ada dan orang sudah membaca tapi toh masih saja keras kepala memilih makanan tadi karena otak sudah tak bisa berpikir jernih dan tak bisa memikirkan efek jangka panjang. Ini fakta di lapangan, bukan omong kosong saya saja. Bahkan mereka yang sudah sakit diabetes, begitu divonis, masih curi-curi makan yang harus dijauhi dengan alasan tak bisa lagi menikmati hidup jika berpantang ‘semua’ makanan favoritnya tadi. Jadi saya pikir, sekali lidah seseorang sudah terbiasa dengan jenis makanan tertentu di masa kecilnya, maka akan susah sekali untuk mengubah preferensi makanan itu saat ia sudah terlanjur dewasa apalagi jika sudah lansia.
Lalu apa jalan keluarnya? Menurut saya, akan lebih efektif jika pemerintah mewajibkan semua produsen mengurangi kandungan gula di produk kemasan mereka yang dijual bebas. Ini adalah cara yang tercepat dan paling efektif jika mau mencegah bangsa ini loyo akibat diabetes di masa datang.
Bagaimana dengan upaya edukasi dan pencegahan? Tentu saja edukasi harus masih dilakukan tetapi kita harus realistis bahwa cara itu bakal memakan waktu lama untuk melihat hasilnya. Untuk mengubah perilaku masyarakat yang sudah ‘memfosil’ atau sulit untuk diubah begini, kampanye edukatif dan preventif terasa lamban dan malah membuat kita nanti akan makin terbelit wabah diabetes. Karena harus dipahami juga bahwa pencegahan diabetes tak cuma soal menjauhi makanan manis. Tak sesederhana itu. Sebab ada begitu banyak faktor lain. Jangan sampai kita melupakan olahraga, pengubahan pola dan bahan makanan serta minuman sehari-hari, dan sebagainya. (*/)