Simalakama Industri Media: Cetak Surut, Online Susah Cuan

Pada tanggal 17 Juli 2024 lalu, dirilis sebuah pengumuman mengenai ditutupnya penerbit majalah berita mingguan Gatra yang dianggap sebagai salah satu media cetak terkemuka di Indonesia. Mereka secara terbuka telah mengumumkan penutupan operasionalnya per akhir Juli ini.

Tutupnya Gatra makin menambah panjang deretan bisnis media cetak yang rontok dengan merebaknya media online. Tercatat sudah ada 20-an lebih media bisnis cetak yang kolaps. Sebut saja Tabloid BOLA dan Bola Vaganza, Tabloid Cek & Ricek, Rolling Stone Indonesia, Majalah HAI, Majalah Kawanku, Majalah GoGirl, Cosmo Girl Indonesia, Esquire Indonesia, For Him Magazine Indonesia (FHM), Maxim Indonesia, NYLON Indonesia, Majalah Commando, High End Teen Magazine, Grazia Indonesia, Sinar Harapan, Tabloid Soccer, Harian Bola, Jakarta Globe, Indonesia Finance Today, Majalah Chip, Majalah Tech Life, Reader’s Digest Indonesia, National Geographic Traveler Indonesia, Majalah Motor, Koran Tempo Minggu, Majalah Trax, Jurnal Nasional, Majalah Penthouse, hingga Slam Indonesia.

Senjakala media cetak ini sebenarnya terjadi sudah cukup lama. Mungkin sepuluh tahunan terakhir atau malah lebih.

Dari maraknya situs berita online semacam detik.com yang berdiri 9 Juli 1998, kemudian ditambah munculnya media sosial semacam Facebook, Twitter, dan kawan-kawannya yang marak mulai akhir dekade 2010-an, media cetak semakin tersingkir saja dari hari ke hari. Siapa yang mau beli koran dan majalah dengan harga yang tak murah sementara membaca berita di ponsel saja gratis dan lebih aktual? Begitu pikir kebanyakan orang sekarang.

Menurut konsultan komunikasi krisis Jojo S. Nugroho, penutupan bisnis media cetak yang makin banyak ditemui di Indonesia ini mencerminkan sejumlah tantangan akbar yang tengah menghadang para pelaku industri media.

Beberapa faktor tantangan tersebut misalnya perubahan pola konsumsi media dalam masyarakat, penurunan pendapatan iklan, dan tingginya biaya operasional. 

Soal pola konsumsi masyarakat, kemunculan situs berita online membuat mereka berpikir bahwa berita seharusnya gratis dan cepat. Padahal aktivitas memproduksi berita tak murah. Sama sekali tidak! Bahkan mahal dan lama jika kita mau menetapkan standar jurnalistik yang ketat. Tapi apa boleh buat, dari sana kemudian pelaku industri media mencoba menuruti kemauan masyarakat dengan menghadirkan berita secepat mungkin dengan mengorbankan akurasi dan kualitas. Akibatnya, hoaks, misinformasi, dan disinformasi marak bermunculan. 

Soal pendapatan iklan yang menurun dalam bisnis media cetak, hal itu memang tak bisa dihindari lagi. Pembaca tak mau menghabiskan uang untuk membaca konten yang sudah basi. Padahal ongkos memproduksi media cetak makin mahal. News cycle makin cepat. Sebuah berita bahkan bisa basi dalam hitungan 24 jam. Dan wartawan harus bekerja 24 jam sehari dan 7 jam seminggu. Semua untuk menuruti kemauan masyarakat agar bisa menikmati konten berita yang cepat, akurat, dan murah bahkan gratis. Dari penurunan pembaca (readership) dan oplah, otomatis berdampak juga pada pemasang iklan. Siapa yang mau pasang iklan mahal di koran atau majalah yang jangkauan pembacanya makin sempit? Rugi dong, kalau pakai celetukan khas Prabowo semasa kampanye dulu.

Lalu faktor biaya operasional yang tinggi juga jadi persoalan. Para manusia jurnalis butuh gaji yang harus bisa mengimbangi laju kebutuhan mereka yang makin naik dari tahun ke tahun. Belum harus berkompetisi dengan laju inflasi. Lalu mesin-mesin cetak juga perlu dirawat, diganti jika rusak, dan semua onderdilnya kemungkinan besar impor dan makin mahal dengan melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dan para jurnalis butuh tunjangan kesehatan dan dana pensiun yang layak juga. Ongkosnya tinggi, bos! Pakai AI bisa gratis tak perlu memikirkan tetek bengek begini.

Namun, ironisnya saat mereka beralih ke media online, para pelaku bisnis media ini juga menghadapi tantangan baru yang tak kalah masif. Semuanya bermuara pada: bagaimana memonetisasi website dan semua konten digital yang mereka miliki agar bisnis tetap bisa jalan dan ada laba yang bisa dihasilkan.

Dan itu tak mudah. Sama sekali tidak. Karena dunia maya ini punya aturan-aturan sendiri yang jauh berbeda dari dunia cetak. Jurnalis-jurnalis kawakan gagap begitu dihadapkan pada teknik SEO copywriting. Dari aspek pengalaman jurnalistik, mereka mungkin kampiun tapi begitu terjun ke lapangan, mereka lamban dan kurang efisien.

Dunia media dan jurnalistik yang dulunya begitu stabil kini begitu labil dan bisa berubah seiring dengan algoritma mesin pencari, perubahan selera pembaca, dan kepentingan pemilik modal. Sterilnya ruang redaksi dari intervensi pemilik bisnis dan pemilik saham makin langka saja.

Jadi tugas jurnalis tak cuma menjadi pewarta yang objektif dan berimbang tetapi juga bagaimana menarik pembaca dengan konten yang berkualitas. Beruntung jika tugas jurnalis ini dibedakan dari pebisnis tapi di banyak kasus tugas jurnalis juga disamakan dengan pebisnis. Harus bisa mencari klien yang mau pasang iklan atau mau kerjasama membuat artikel advertorial atau menjadi sponsor. 

Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen berita juga kini makin tak mampu lagi menyokong keberlangsungan industri media dan jurnalistik sebab mereka terlilit kebutuhan yang makin mencekik di tengah resesi ekonomi global. Jika mereka bisa mendukung pun, dana yang bisa dikeluarkan hanya dengan ala kadarnya. Harga berlangganan media online juga menjadi sangat amat murah. Hal ini membuat bisnis media online tak bisa cepat mapan dan balik modal padahal semua teknologi ini juga butuh biaya pemeliharaan tinggi. 

Itulah peliknya kondisi industri sekarang ini. Jadi harap maklum jika kinerja media kita kerap jadi sorotan. Karena orang-orangnya sedang kebingungan mencari arah dan ‘pegangan’. (*/)

This entry was posted in Latest news and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *