Nepotisme bisa dikatakan adalah salah satu cara manusia bisa bertahan hidup. Tak heran umur nepotisme sudah setua umur umat manusia juga.
Nepotisme seperti juga produk sampingan peradaban manusia lainnya (sebut saja pelacuran, judi, dan sebagainya) juga kerap dicap buruk. Tapi anehnya, tetap saja ada banyak manusia yang melakukannya.
Bila Anda belum tahu, ada sebuah buku menarik yang mengupas sejarah dan evolusi nepotisme dari zaman dulu hingga sekarang yang ditulis oleh Adam Bellow. Judulnya ialah In Praise of Nepotism yang diterbitkan tahun 2003 oleh Knopf Doubleday Publishing Group.
Sebetulnya fokus pembahasan buku ini lebih pada fenomena nepotisme di Amerika Serikat masa modern sekarang namun ia juga menyinggung persepsi nepotisme secara global juga. Di sini Bellow juga menelaah kompleksitas nepotisme, baik dampak positif dan negatifnya.
Dianggap Biang Keladi Merebaknya Korupsi
Layaknya di Indonesia, nepotisme juga dulu marak di Amerika Serikat. Kalau di tanah air kita, nepotisme identik dengan keberadaan kerajaan yang penguasanya bersifat turun-temurun, di Amerika Serikat juga ada fenomena nepotisme yang lekat di bisnis keluarga. Sebagaimana kita ketahui masyarakat Amerika Serikat terbentuk dari kumpulan imigran yang kemudian melakukan beragam aktivitas ekonomi di tanah Amerika Utara.
Bellow menulis bahwa lama-lama nepotisme dianggap sebagai keburukan seiring dengan merebaknya paham globalisme ekonomi. Nepotisme dianggap sebagai biang keladi korupsi yang merajalela dan kapitalisme yang berakar pada kroni-kroni di negara-negara berkembang di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin (hal 14).
Nepotisme dianggap membebani ekonomi, membuat sebuah pemerintahan rawan korupsi, mencap wanita dan anak sebagai sebuah aset saja, membuat diskriminasi pada kelompok minoritas makin menjadi-jadi, terhambatnya meritokrasi, keegoisan amoral yang meningkat, dan semakin mengukuhkan sistem kelas di sebuah masyarakat, terutama AS, demikian tulis Bellow.
Cap negatif nepotisme juga makin diperkuat oleh pemimpin spiritual Tibet Dalai Lama dalam bukunya Ethics for the New Millennium yang mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk memilih keluarga, komunitas, dan kelompok etniknya sendiri adalah suatu sifat buruk manusia yang harus diperangi, ungkap Bellow.
Dua Gaya Nepotisme
Menariknya Bellow membagi nepotisme menjadi dua jenis: nepotisme gaya lama dan gaya baru. Pembagian ini berdasarkan pada arah kemunculan nepotisme itu. Apakah itu dari atas ke bawah (top to bottom) atau bawah ke atas (bottom up).
Maksudnya, nepotisme gaya lama biasanya dimulai dari pihak orang tua yang menekan atau memaksa anak-anak mereka untuk melestarikan kepentingan mereka di tengah masyarakat. Anak-anak menjadi objek paksaan ortu yang rakus kekuasaan, kekayaan dan ketenaran. Sering kita mendengar ada raja yang menikahkan anak mereka dengan kerajaan lain di masa lalu demi membina hubungan yang baik agar kedua kerajaan tidak berperang. Di keluarga pebisnis juga sudah biasa dilakukan pernikahan seorang anak pebisnis kaya raya dengan rekannya yang juga sama kayanya. Semua nantinya akan berkontribusi untuk semakin memperbesar kerajaan bisnisnya.
Sementara itu, nepotisme gaya baru muncul justru dari pihak penerus/ anak-anak. Saat si orang tua yang sudah memiliki reputasi dan kekayaan akan lengser atau memasuki usia pensiun, anak-anaknya justru malah terdorong dengan sendirinya tanpa dipaksa untuk mengamankan kekuasaan, kekayaan dan semua aset orang tuanya dengan menggunakan jalan nepotisme atau menggunakan reputasi orang tuanya tadi sebagai pijakan untuk mempermulus jalan karier mereka atau membuka lebar pintu-pintu peluang lain. Intinya, anak-anak ini memyadari ada orang tua yang bisa mereka manfaatkan sebagai jalan memudahkan kehidupan mereka. Karena kenapa tidak?
Nepotisme gaya baru ini memang sangat berbeda dari gaya lama tetapi tetap saja sama karena intinya keduanya sama-sama mengeksploitasi nama keluarga, koneksi dan kekayaan. Arahnya bisa berbeda tapi hasilnya sama.
Versi Baru Lebih Bisa Ditolerir?
Bellow menulis bahwa menurut pengamatannya masyarakat Amerika Serikat bisa memaklumi nepotisme gaya baru ini dengan syarat si anak atau penerus memang memiliki kualifikasi atau hal-hal yang disyaratkan sebelum memangku jabatan atau posisi tertentu entah itu di organisasi bisnis keluarga atau birokrasi pemerintahan.
Namun, masyarakat AS tetap tidak bisa menolerir nepotisme gaya lama, saat si penerus sama sekali tak becus dan tidak punya kemampuan yang memadai untuk memangku tanggung jawab sebagai pemimpin di posisi strategis.
Uniknya perbedaan dasar hukum penolakan nepotisme di AS dan Indonesia juga cukup lama. Di AS penolakan nepotisme didasari oleh kemenangan gagasan ideal egalitarianisme (kesetaraan tanpa kecuali) yang kemudian tertuang di Konstitusi mereka dan Bill of Rights. Sementara itu, di Indonesia, dasar hukum penolakan nepotisme baru muncul di tahun 1999 dengan munculnya UU RI No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Mana yang lebih baik: nepotisme gaya lama atau baru? Menurut saya, kita harus telaah kasus per kasus dari kacamata moral dan etika. Tidak bisa kita overgeneralisasi. Jika sebuah praktik nepotisme bisa membawa sebuah masyarakat menjadi lebih maju (lihat saja kasus Singapura, nepotisme yang dilakukan alm. Lee Kuan Yew dan anaknya Lee Hsien Loong), tidak ada pihak yang haknya dicederai atau dicurangi, dan dilakukan sesuai aturan dan norma yang berlaku, mengapa tidak? (*/)