Yoga tidak cuma bisa dilakukan di studio atau gym. Yoga bisa juga dilakukan di kantor. Yoga di Kantor atau yang disebut dengan “Office Yoga” sebenarnya juga bukan barang baru. Sudah cukup lama perusahan-perusahaan dan organisasi memberikan ruang dan waktu untuk instruktur yoga masuk dan mengajar yoga di lingkungan kerja.
Saya sendiri sudah menjajal mengajar di perkantoran sejak tahun 2015. Dan mengajar di kantor-kantor begitu memang ada kelebihan dan kekurangannya sendiri jika dibandingkan mengajar di rumah untuk kelas privat, atau mengajar di kelas publik di studio yoga.
Saya tergerak menuliskan pengalaman saya mengajar yoga di perkantoran setelah menyimak kanal siniar Yogaland berjudul Demystifying Office Yoga with Maryam Sharifzadeh yang dipandu oleh Andrea Feretti.
Sebagai sesama instruktur yoga yang mengajar di perkantoran, saya mendapati ada beberapa aspek yang sama dan juga berbeda dalam pengalaman kami mengajar Office Yoga. Akan saya jelaskan lebih lanjut di tulisan ini.
Sebagai pengantar, Sharifzadeh sendiri mendirikan bisnis kecil yang ia namai “Office Yoga” di AS yang membidik perusahaan dan organisasi yang ingin mengadakan kelas yoga di kantor mereka. Ia dulunya perenang yang kemudian tertarik dengan yoga setelah ia mencoba yoga saat kuliah. Kini ia tetap berenang dan menekuni yoga.
Kemunculan kelas yoga di perkantoran menurut Sharifzadeh bisa dikaitkan dengan adanya pemikiran bahwa perusahaan haruslah memikirkan SDM yang ia punya. Jangan terlalu fokus ke laba, perhatikan juga manusia-manusia di dalam perusahaan itu sebab merekalah yang menggerakkan roda bisnis. Jika mereka sehat, maka bisnis pun akan sehat. Intinya demikian.
Saat Sharifzadeh mendirikan Office Yoga di tahun 2014, cara berpikir berbisnis secara etis seperti ini sudah mulai meluas di berbagai perusahaan AS.
Nah di Indonesia sendiri fenomena yang sama juga terjadi saat itu. Perusahaan-perusahaan dengan afiliasi mancanegara atau multinational companies mulai menyediakan beragam perks atau fasilitas khusus untuk karyawan di kantor.
Di tahun 2015, kebetulan saya sempat mengajar beberapa kelas yoga di kantor sebuah bank internasional di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan, kemudian menyusul di perusahaan periklanan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Lalu di perusahaan lain di sekitar Jl. HR Rasuna Said, perusahaan trading di Mega Kuningan, kantor perusahaan lain di TB Simatupang, dan sebagainya.
Selama pandemi 2020-2021, kelas online yoga khusus korporat juga masih santer. Saya pernah beberapa kali didaulat sejumlah perusahaan untuk mengisi wellness and mindfulness session mereka yang kala itu dianggap penting agar mencegah Covid-19 dan memelihara kesehatan fisik dan mental para karyawan yang masih harus bekerja di tengah kondisi yang kurang kondusif.
Menurut Sharifzadeh, Yoga Kantor belum pernah dibahas atau masuk dalam kurikulum yoga teacher training di sekolah-sekolah yoga internasional yang terdaftar di Yoga Alliance.
Hal yang sama juga saya temukan di Indonesia. Belum ada sekolah yoga yang secara khusus membahas Yoga Kantor ini dalam modul mereka. Dulu saya ikut teacher training tahun 2013-2014 juga belum ada pembahasan soal ini sama sekali.
Tantangan Pertama: Lingkungan Kantor
Tantangan perdana yang Sharifzadeh sebutkan ialah lingkungan fisik kantor yang biasanya tidak dirancang untuk melakukan yoga.
Ia menemukan banyak hal yang bisa mengganggu jalannya kelas yoga misalnya kondisi lantai yang keras atau tak rata, pencahayaan di ruangan kantor yang terlalu terang, atau bisa juga hiruk pikuk kantor yang mengganggu konsentrasi peserta kelas yoga.
Saya sendiri sepakat dengan pendapat Sharifzadeh ini sebab saya mengalami sulitnya menyiapkan atmosfer kelas yang ideal sebagaimana di studio atau rumah yang relatif lebih tenang dan leluasa.
Di kantor, saya sering harus berkompromi dengan peserta yoga yang untuk bersiap dan ganti pakaian saja mesti ke lantai lain, menggunakan kartu akses yang berbeda, lalu masuk kelas untuk menyiapkan matras dan memasang sound system/ pengeras suara dan pemutar lagu sebagai backsound.
Tantangan Kedua: Sekuen Kelas
Mayoritas para peserta yoga di kantor bukanlah asana junkies yang sudah pandai melakukan beragam asana dari yang sederhana sampai akrobatik.
Mereka biasanya pemula dalam hal yoga sehingga mengajar di kantor seharusnya juga disesuaikan. Penyederhanaan format dan konten sangatlah diperlukan.
Sekuen kelas juga tidak semestinya panjang dan kompleks. Malah seharusnya pilih saja sekuen simpel dan pendek tetapi efektif dalam mengatasi masalah nyata pada tubuh pekerja kantoran.
Dari pengalaman saya sendiri, kebanyakan peserta bukan pembelajar yoga yang serius. Tujuan mereka ikut biasanya karena ada insentif dari kantornya atau karena iseng ingin mencoba atau karena untuk mengatasi keluhan-keluhan badan atau otot yang pegal setelah bekerja seharian di depan laptop.
Dengan demikian, saya lebih memilih pose-pose yoga yang mudah tetapi efektif melepaskan ketegangan otot dan sendi serta teknik napas yang membantu mereka untuk melepas stres.
Sekuen kelas juga bukan yang bersifat Yang atau enerjik sebab biasanya waktu latihan adalah setelah jam kerja yang berarti waktu sudah beranjak petang ke malam hari. Saya pun memilih pose-pose yoga dan pranayama yang lembut dan tak menyedot banyak tenaga.
Tantangan Ketiga: Waktu Terbatas
Menurut Sharifzadeh, kelas Yoga Kantor di AS biasanya cuma 15-30 menit dalam sekali pertemuan. Bahkan 45 menit saja sudah terbilang lama. Sangat jarang yang durasinya sampai 60 menit sekali sesi.
Ini cukup berbeda dari Yoga Kantor di Indonesia yang menurut saya masih relatif panjang. Saya sendiri mengajar yoga di kantor minimal 60 menit jadi masih sama dengan durasi waktu mengajar di studio maupun gym. Dan ini masih di luar waktu untuk ganti pakaian, mengambil matras dan air minum, perkenalan, basa-basi karena menunggu jumlah peserta sampai agak lebih banyak, dan sebagainya.
Tantangan Keempat: Aspek Legal
Sebelum mengajar yoga di perkantoran menurut Sharifzadeh seorang instruktur yoga bakal diminta menyediakan sejumlah informasi dan bukti pendukung yang sah secara hukum mengenai kartu identitas, asuransi, sertifikasi sebagai pengajar yoga, dan detail lain.
Dari pengalaman saya sendiri, aspek satu ini tidak seketat itu di Indonesia. Setahu saya, saya hanya berurusan dengan PIC atau individu yang mengatur kelas yoga tersebut. Bisa jadi si PIC ini adalah staf Personalia/ HRD atau bisa juga tidak tapi sudah diberi kuasa oleh pihak HRD untuk menyelenggarakan kelas tersebut. Intinya, cuma word of mouth. Biasanya si PIC sudah pernah atau kenal dengan satu guru yoga yang kemudian diajak mengajar di kantor si PIC atau si guru yoga ini karena tidak bisa mengajar lalu merekomendasikan guru yoga lain yang masih ia kenal baik.
Tantangan Kelima: Pakaian
Tak bisa disangkal alasan paling banyak yang sering saya dengar saat seeorang menampik ajakan yoga di kantor adalah saat ia berkata tidak membawa pakaian ganti.
Saya sendiri saat mengajar tidak mengharuskan peserta masuk dengan pakaian yang sporty atau pakai legging atau celana pendek. Sebenarnya kalau pakaian kerjanya nyaman pun tak begitu masalah. Masih bisa ikut.
Karena itulah Sharifzadeh mengatakan ia menyarankan agar guru yoga di kantor mengajar dengan menggunakan busana jenis business casual alias santai tapi masih pantas untuk suasana formal dan tidak membuat orang merasa harus membawa pakaian tertentu hanya untuk ikut kelas yoga kantor. Artinya Anda tidak memakai hotpants atau legging ketat atau tanktop yang terlalu identik dengan studio yoga outdoor atau gym. Guru juga memakai pakaian yang masih pantas untuk suasana perkantoran apalagi jika ia lalu lalang.
Kalau saya, saat di lobi atau lift saya masih memakai pakaian formal tapi begitu saya mulai mengajar saya akan berganti dengan pakaian yang lebih nyaman untuk bergerak yakni kaos oblong dan celana jenis olahraga yang lebih longgar dan stretchy. Saya tak bisa mendemonstrasikan sejumlah pose dengan kemeja atau celana kain yang membatasi ruang gerak badan.
Dan jika memang banyak peserta memakai busana yang formal sehingga membuat ruang gerak badan terbatas, lakukan penyesuaian dengan memilih pose yoga yang tak mengharuskan peserta bergerak secara ekstrim.
Tantangan Keenam: Tujuan Kelas
Guru yoga sebelum masuk ke kelas yoga kantor juga harus paham bagaimana caranya mengaitkan tujuan dan isi kelasnya agar bisa relevan dengan kebutuhan dan kondisi para peserta yoga di kantor tersebut.
Dari pengalaman saya, kadang ada kelompok yang ingin memisahkan tujuan dan isi kelas yoga dari urusan kerja tapi jika Anda misalnya didault mengajar untuk event korporasi yang kebetulan dihadiri para petinggi perusahaan yang bersangkutan, mau tidak mau Anda harus berpikir agak keras untuk menemukan ‘benang merah’ agar yoga yang akan dilakukan bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh mereka.
Tantangan Ketujuh: Distraksi
Tak jarang peserta yoga di kantor masih harus berjibaku dengan berbagai urusan pekerjaan saat beryoga. Mereka membawa gawai masuk ke dalam kelas, bahkan memeriksa WhatsApp di tengah kelas. Pemandangan ini masih saya temui di kelas yoga kantor saya.
Apakah saya seharusnya memberlakukan larangan membawa gawai masuk ke kelas? Saya rasa saya tak bisa memaksa mereka sebab peserta ini adalah orang dewasa yang seharusnya sudah bisa membuat pilihan sendiri dan tahu konsekuensi pilihan yang mereka buat.
Tapi soal distraksi ini, Sharifzadeh menekankan bahwa dirinya mengimbau peserta untuk mengumpulkan gawai dan menjauhkannya dari peserta selama kelas berlangsung. Bisa dimaklumi sebab gawai bisa mengganggu konsentrasi dan membuat manfaat kelas menurun pula.
Tantangan Kedelapan: Tanpa Matras
Dari pengalaman Sharifzadeh, kelas yoga bisa dilakukan di kantor tanpa harus menggunakan matras. Ia bisa dilakukan dengan cukup menggunakan meja kerja dan kursi yang ada di kantor. jadi sekuen pose yoga yang ia lakukan juga disesuaikan.
Saya sendiri belum pernah menggunakan meja dan kursi kerja sebagai alat bantu atau props dalam melakukan yoga kantor. Itu karena kebanyakan PIC menghendaki kelas yoga yang diberikan sebisa mungkin memberikan feel seperti kelas yoga ‘seharusnya’, yakni kelas yoga di studio atau gym. Bukan kelas yoga yang masih ada ‘bau’ kantornya.
Namun, ini bisa dimaklumi sebab durasi kelas yoga Sharifzadeh memang lebih pendek. Pun budaya kerja mereka sangat kaku soal waktu.
Di Indonesia kelas mulainya molor, bisa dimaklumi karena sudah membudaya. Tapi di AS, molor sedikit saja, peserta akan langsung malas dan keluar kelas. Karena mereka masih harus melakukan pekerjaannya. Lain dengan kelas yoga kantor di Indonesia yang mayoritas dilakukan sehabis jam kerja sehingga lebih santai. Kalaupun ada yang lembur, biasanya malah langsung absen saja. Tak masuk ke kelas yoga.
Tantangan Kesembilan: Bahasa
Durasi yang pendek membuat bahasa yang digunakan selama kelas yoga kantor juga semestinya tidak terlalu bertele-tele bak di kelas yoga di studio/ gym. Demikian kata Sharifzadeh.
Kalau menurut saya, yoga kantor di Indonesia tidak begitu mempermasalahkan bahasa asal masih bisa dipahami dan jika memang ada kata dan istilah asing, harus disertai penjelasan singkat setelahnya. Jangan dibiarkan menggantung tak jelas. Atau sekalian saja guru yoga tak menggunakan istilah sansekerta dan menggunakan istilah bahasa Inggrisnya yang lebih mudah dipahami orang korporat.
Di Indonesia, pasar kelas yoga kantor ini masih relatif menggiurkan dan potensi ekonominya tidak bisa diremehkan oleh para guru yoga.
Namun, tentu saja Anda harus bertanya kepada diri sendiri: Siapkah Anda sebelum dan sesudah mengajar bergelut dengan kemacetan kota? Karena kantor-kantor ini biasanya ada di jantung kota besar yang sibuk dan hingar bingar. Sebuah suasana yang saya sebagai guru yoga tak betah untuk berlama-lama di dalamnya. (*/)