Kemarin siang saya bertemu dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pemandu tur. Ia baru saja kembali dari Georgia, Azerbaijan, dan Armenia. Ia mengeluhkan soal suhu panas di sana. Sampai 40 derajat celcius! Melepuh nggak tuh?
Kini ia kembali ke Indonesia dan melolong: “Aku kangen makanan Indonesia. Di sana makanannya hambar. Yuk nge-bakso!”
Sampailah kami di sebuah warung bakso yang baru buka hari itu. Literally, warung itu baru buka dan beroperasi hari itu.
Si pemilik mengundang saya sebagai reviewer atau endorser supaya bisnis kulinernya bisa dikenal orang. Untuk menghargai undangannya, saya datang sembari mengajak si teman pemandu tur ini juga sebab saya tahu ia lebih memenuhi kriteria foodie dibandingkan saya.
Ia punya kriteria makanan lezat dan sederet rekomendasi makanan enak tapi saya rasa saya tidak seperti dia. Kriteria makanan saya cuma sehat dan tak terlalu bikin lidah getir.
Kemudian kami pun duduk dan mengobrol. Kami membicarakan banyak hal. Dari ulah sejumlah tetangga yang aneh bin ajaib atau pengalaman jalan-jalan.
Di tengah-tengah percakapan kami, ia berhenti untuk melihat layar ponsel. Sebuah pesan WhatsApp menyita perhatiannya sejenak dan mukanya kembali menatap saya: “Ih ni mau ke New Zealand. Liat deh kelas tiketnya!”
Ia menunjukkan pada saya sederet e-ticket yang menunjukkan destinasi dan kelas bisnis yang mahal.
Karena ia juga mengantongi paspor orang-orang itu, ia tahu usia mereka semua.
“Gila, ini rombongan gue anak-anak muda tapi udah kaya raya tajir melintirrr,” tuturnya menjelaskan.
Saya skeptis. Apa iya yang kaya anak mudanya? Bukan orang tuanya?
Teman saya bertanya seolah menjadi Koes Hendratmo yang sedang melontarkan sebuah pertanyaan kuis: “Tebak mereka kaya dari apa?”
Saya bilang dengan gamang: “Tambang…? Aset ortu?”
“Judi online,” kata teman saya berbinar.
Saya pikir saya salah dengar tapi itu benar. Anak-anak muda umur 20-an yang sudah bisa menimbun aset sebanyak itu mana mungkin kaya dari menjadi pekerjaan sebagai intern atau pegawai perusahaan, budak korporat.
Masuk akal jika mereka bisa kaya cepat dengan berbisnis di sektor yang ‘panas’ dan bisa dikatakan haram. Tentu mereka bukan bagian dari kelompok relijius yang meyakini keharaman judi dan segala jenisnya itu. Judi itu sah-sah saja bagi mereka.
Saya sendiri merasa tak begitu kagum dengan kekayaan yang seabrek sebetulnya. Sebagian karena paham bahwa kekayaan BUKAN kunci kebahagiaan meski memang betul bahwa kekayaan membebaskan kita dari sebagian besar derita fisik. Kita bebas dari kelaparan, keterbatasan material, memiliki lebih banyak pilihan hidup. Tapi selain itu, hidup kita sama bermasalahnya dengan orang yang pas-pasan dan miskin.
Sebagian alasan lain ialah karena saya juga tahu bahwa dalam perspektif yang lebih luas, menumpuk kekayaan yang begitu ekstrim berarti ada kemungkinan kita menindas dan mengeksploitasi lebih banyak manusia dan alam. Karena agar kita bisa menjulang lebih tinggi, kita harus menginjak lebih banyak orang, bukan? Meski tentu ada pengecualian untuk itu. Tak semua orang kaya eksploitatif dan manipulatif – dan saya respek pada orang kaya yang tak eksploitatif dan manipulatif – tetapi faktanya banyak yang demikian.
Selain itu, saya juga merasa kurang nyaman dan resah dengan segala ketimpangan di dunia ini. Di satu sisi ada yang hidup begitu berkelimpahan misalnya keluarga Mukesh Ambani dan anak-anak muda ini. Ada juga yang hidup terlunta-lunta dan sangat menyedihkan misalnya orang-orang Palestina yang saat ini menjadi pengungsi. Kebutuhan paling dasar mereka saja (kebutuhan untuk dimanusiakan) tak terpenuhi. Sementara itu, secara tak adil Yahudi Israel membabi-buta melampiaskan luka batin mereka seabad lalu akibat Hitler kepada Palestina.
Tapi mungkin inilah cara Tuhan untuk membuka mata hati kita. Tuhan ingin kita tahu bahwa Tuhan bisa dengan sangat mudah membuat nasib manusia berbeda-beda dan kita tak bisa protes. Kita cuma bisa menjalaninya. Yang sedang punya nasib buruk, cuma bisa menanggung dengan sabar karena kalau mau menolak juga percuma. jiwa bakal lebih capek lagi. Untuk yang bernasib bagus, ingatlah bahwa ini cuma sementara. Bukan selama-lamanya. (*/)