ADAKAH di kantor Anda, anak muda yang masih lajang dan rajin berolahraga apapun itu jenisnya (dari ngegym, marathon, yoga, atau pilates) dan memiliki setidaknya satu hewan peliharaan di rumah atau kosnya, terutama kucing? Atau jangan-jangan itu Anda sendiri?
Generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z dan Millennials, sedang mengalami pergeseran gaya hidup yang signifikan. Pergeseran ini mencakup penurunan minat untuk menikah di usia muda di area perkotaan, meningkatnya antusiasme terhadap olahraga, dan kecenderungan untuk memelihara hewan peliharaan yang berupa kucing, anjing atau ikan.
Fenomena ini sudah mulai terlihat sebelum pandemi COVID-19, namun semakin menguat selama masa isolasi dan terus berlanjut hingga saat ini. Mari kita telaah lebih dalam mengapa hal ini terjadi dan bagaimana ketiga aspek ini – melajang, berolahraga, dan memelihara hewan – semakin menjadi pilihan populer di kalangan anak muda.
Tumbuh Tapi Timpang
Sejak tahun 2007, Indonesia mengalami peningkatan jumlah pernikahan yang stabil. Namun, tren ini mulai berubah pada tahun 2012, yang menandai awal penurunan angka pernikahan secara berturut-turut. Meskipun ada sedikit kenaikan pada tahun 2017 dan 2018, jumlah pernikahan kembali menurun dari 2019 hingga 2023.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikompilasi oleh Kompas.com menunjukkan fluktuasi ini dengan jelas. Pada periode 2007-2011, terjadi peningkatan konsisten dari 1.944.569 menjadi 2.319.821 pernikahan. Kemudian terjadi penurunan di periode 2012-2016, dari 2.289.648 menjadi 1.837.185. Meskipun ada sedikit kenaikan pada 2017-2018 (dari 1.936.934 ke 2.016.171), tren penurunan kembali terjadi pada 2019-2023, dengan angka terendah 1.577.255 pada tahun 2023 – yang merupakan rekor terendah dalam 17 tahun terakhir.
Banyak yang beranggapan bahwa keengganan para pemuda untuk menikah disebabkan oleh kondisi ekonomi yang semakin sulit. Mencari pekerjaan dengan gaji yang layak dirasa semakin menantang, dan biaya hidup yang tinggi sering dikutip sebagai faktor utama yang menghambat pernikahan.
Namun, benarkah kondisi ekonomi Indonesia memang mengalami penurunan? Data menunjukkan sebaliknya. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas rata-rata global. Data PDB per kapita Indonesia sejak 2010 menunjukkan tren peningkatan, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2015. Menurut ceicdata.com, PDB per kapita Indonesia mencapai 4.783,269 USD pada tahun 2022, lebih tinggi dari 4.350,683 USD pada tahun 2021.
Jika ekonomi terus tumbuh, mengapa anak-anak muda merasa semakin sulit untuk memenuhi biaya hidup dan menikah? Jawabannya terletak pada kesenjangan ekonomi yang masih tinggi. Data dari World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% dari total kekayaan rumah tangga nasional, sementara 10% penduduk lainnya menguasai sekitar 60% kekayaan. Kondisi ini telah berlangsung selama dua dekade terakhir, sejak tahun 2001.
Dengan kata lain, meskipun ekonomi Indonesia tumbuh, pertumbuhan ini belum merata dan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Kesenjangan ekonomi yang tinggi ini juga mendorong keluarga-keluarga baru untuk membatasi jumlah anak. Banyak pasangan muda kini memilih untuk memiliki dua anak saja, bahkan ada yang merasa cukup dengan satu anak. Yang lebih ekstrem, beberapa pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak sama sekali (child-free), sebuah pilihan yang masih kontroversial dalam masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif.
Obsesi Awet Muda
Tanpa membentuk keluarga baru, banyak anak muda lajang kini memilih untuk mengisi waktu luang mereka dengan berolahraga. Mereka menginvestasikan energi, uang, dan waktu mereka untuk meningkatkan performa fisik. Meskipun ada sebagian Gen Z dan Millennials yang kurang memperhatikan kesehatan mereka dan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes dini, stroke, dan GERD, banyak juga yang semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental.
Terutama di kalangan Gen Z dan Millennials yang memiliki kemampuan finansial yang cukup dan tinggal di daerah perkotaan, tren berolahraga ini semakin populer. Mereka memanfaatkan berbagai fasilitas olahraga seperti pusat kebugaran, studio yoga dan pilates, serta mengonsumsi makanan tinggi protein dan suplemen kebugaran.
Selain kesadaran akan kesehatan, keinginan untuk tampil awet muda juga menjadi motivasi kuat. Banyak anak muda terinspirasi oleh selebritas lokal dan internasional yang masih terlihat bugar dan awet muda meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Setiap kali selebritas senior tampil, media sosial dipenuhi diskusi tentang rahasia perawatan kulit dan gaya hidup mereka, menunjukkan obsesi anak muda terhadap penampilan prima bahkan hingga usia lanjut.
Ada juga anak-anak muda yang tertarik pada olahraga ekstrem seperti maraton, diving, Ironman, atau CrossFit. Mereka mengejar kepuasan pencapaian pribadi dan menikmati citra ‘keras’ dan ‘macho’ yang melekat pada olahraga-olahraga ini, meskipun biaya untuk peralatan dan perlengkapannya cukup mahal.
Kucing, Substitusi Bayi
Selain berolahraga, tren lain yang semakin populer di kalangan anak muda lajang adalah memelihara hewan, terutama kucing. Fenomena ini bisa dilihat sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah kesepian yang sering dihadapi oleh mereka yang hidup sendiri.
Tidak hanya anak muda lajang, orang tua atau lansia yang anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal terpisah juga mengalami kesepian serupa. Mereka sering kali memilih untuk melimpahkan kasih sayang mereka pada hewan peliharaan sebagai pengganti sementara ketika jauh dari anak-anak mereka.
‘Epidemi’ kesepian ini semakin parah selama puncak pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2021, yang mendorong lebih banyak orang untuk memelihara hewan sebagai cara mengatasi isolasi dari keluarga dan teman-teman.
Data dari Kompas.com menunjukkan bahwa kepemilikan kucing sebagai hewan peliharaan di Indonesia memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut survei yang dilakukan oleh Rakuten Insight pada Januari 2022 terhadap 10.442 responden, kucing menjadi hewan peliharaan paling populer di Indonesia (47%), diikuti oleh ikan (22%), burung (18%), dan anjing (10%).
Kecenderungan untuk memilih memelihara hewan daripada memiliki anak bisa dipahami mengingat perbedaan biaya yang signifikan. Biaya melahirkan dan membesarkan anak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya memelihara hewan.
Sebagai ilustrasi, biaya persalinan normal pada tahun 2024 berkisar antara Rp4 juta hingga Rp20 juta, sementara untuk prosedur caesar bisa mencapai Rp30-70 juta. Biaya pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, bahkan untuk sekolah dengan biaya paling murah, bisa mencapai Rp200 juta. Untuk sekolah dengan kualitas lebih baik seperti sekolah internasional, biayanya bisa mencapai miliaran rupiah.
Perlu diingat bahwa angka-angka tersebut belum termasuk pengeluaran untuk makanan, pakaian, perlengkapan sekolah, transportasi, hiburan, dan perawatan kesehatan. Dibandingkan dengan biaya memelihara hewan peliharaan, biaya memiliki anak jauh lebih tinggi.
Fenomena-fenomena ini mencerminkan perubahan prioritas dan gaya hidup di kalangan generasi muda Indonesia. Mereka cenderung menunda atau menghindari pernikahan dan memiliki anak, sambil mencari alternatif untuk mengisi waktu dan memenuhi kebutuhan emosional mereka melalui olahraga dan memelihara hewan.
Meskipun tren ini semakin umum, penting untuk diingat bahwa pengalaman ini mungkin lebih relevan bagi anak muda perkotaan yang memiliki akses ke fasilitas olahraga dan kemampuan finansial yang cukup. Kesenjangan ekonomi yang masih tinggi di Indonesia membuat pengalaman dan pilihan hidup berbeda-beda di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Perubahan sosial dan ekonomi ini tentu berdampak signifikan pada dinamika masyarakat Indonesia. Penurunan angka pernikahan dan kelahiran dalam jangka panjang dapat mempengaruhi struktur demografi dan ekonomi negara. Di sisi lain, meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan kebugaran dapat berdampak positif pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah harus merespons perubahan ini. Apakah diperlukan kebijakan khusus untuk mendorong pernikahan dan kelahiran? Atau haruskah fokus diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan generasi muda? (*/)