Ghostwriting: Diam-diam ‘Menghasilkan’ Di Balik Layar

Kemarin sebuah buku berjudul Ghostwriting and the Ethics of Authenticity dari John C. Knapp dan Azalea M. Hulbert terbitan Palgrave Macmillan tahun 2017 menarik perhatian saya. Buku itu memang bukan genre fiksi tetapi toh benak saya diseret oleh buku ini ke masa lalu.

Di dalam bagian pembukanya, penulis memberikan batasan soal apa yang bisa disebut sebagai ghostwriting dan tidak. Menurut Knapp dan Hulbert, ghostwriting ialah proses penyusunan sebuah tulisan yang dilakukan oleh seseorang (si penulis) yang kemudian digunakan untuk orang lain (si klien) yang akan mendapatkan sebutan/ pengakuan sebagai penulis, dan di sini kedua belah pihak tersebut sepakat bahwa peran si penulis dirahasiakan dari pihak-pihak lain. Dari sanalah bisa dipahami mengapa istilah “ghost” (di sini diterjemahkan sebagai “bayangan”, bukan “hantu”) dipakai. Jika bisa dilihat, lalu mengapa harus disebut “ghost”?

Lalu bagaimana membedakan tulisan hasil ghostwriting dari yang tidak?

Pertama, tulisan ghostwriting bukan plagiarisme (pencurian gagasan dan mengakui gagasan orang lain sebagai hasil kerja seseorang). Ghostwriting mengharuskan adanya kesepakatan di awal sebelum bekerja antara pihak penulis dan klien.

Kedua, tulisan hasil ghostwriting juga bukan hasil proses penyuntingan dan revisi biasa sebagaimana yang dikerjakan editor pada naskah seorang penulis di bisnis penerbitan.

Ketiga, sebuah tulisan ghostwriting tidak mencantumkan secara terang-terangan nama ghostwriter-nya di sampul atau bagian manapun di buku.

Terakhir, tulisan hasil ghostwriting juga tak boleh mengandung penyebutan nama sang ghostwriter sesamar apapun.

Di situlah saya berpikir: “Wow, saya ternyata ghostwriter!”

Aneh memang pola induktif yang saya jalani ini. Saya menjalani detail-detailnya dulu baru bisa menemukan teori-teori di balik praktik yang saya lakukan. Seolah saya ingin berteriak setelah membaca buku ini: “Oh kemarin itu yang saya kerjakan itu job description-nya ghostwriter toh!”

Setelah saya ingat lagi, ternyata saya punya 3 episode pengalaman bekerja sebagai ghostwriter selama karier 14 tahun saya di industri media baru ini. Memang belum sehebat Tom Lembong yang jadi ghostwriter bayangan presiden tapi setidaknya ada juga banyak pengalaman yang bisa saya kemukakan di sini.

Ghostwriter Twitter

Kalau saya ingat lagi, awal karier korporat saya adalah content writer untuk sebuah website di tahun 2010. Sudah lama memang. Maklum saya pekerja angkatan Geriatric Millennial (Millennial ‘Tua’, haha).

Saat itu ramai berseliweran artikel-artikel yang membahas soal karakter pekerja Millennial yang mendewakan pekerjaan yang sesuai dengan passion mereka.

Saya sendiri merasa stigma itu cocok untuk kasus karier saya. Saya termasuk orang yang kuliah dan bekerja di jalur yang relatif selaras. Tidak melenceng jauh. Jadi bisa dikatakan saya cukup beruntung karena ilmu selama kuliah banyak yang terpakai bahkan menjadi core skills yang berguna saat saya bekerja sebagai kaum profesional.

Namun, seiring perkembangan dan dinamika di tempat kerja, tim saya dituntut untuk bisa mendatangkan pembaca ke website kami dan cara yang kami bisa lakukan secara murah hampir tanpa biaya adalah rajin update di akun Twitter yang saat itu masih sesuatu yang keren dan canggih. Semua orang keranjingan Twitter. Apalagi kalau tweet mereka punya label “Twitter for Blackberry” atau “Twitter for iPhone”, duh rasanya si pemilik akun seolah-olah sudah bertengger di strata atas masyarakat ibukota. Saya tidak berlebihan sebab era itu memang era keemasannya perangkat Blackberry. Pokoknya para pemilik perangkat Android cuma bisa gigit jari dan dianggap warganet jelata saja.

Akun Twitter kami memang sudah menghasilkan banyak pengikut dan traffic ke website saat itu. Tapi namanya manajer, kurang afdol jika tidak memberikan target yang menantang bawahan tentu saja agar tidak dicap atasan gampangan.

Tim saya pun didesak untuk terus menarik traffic yang lebih tinggi lagi, lagi, dan lagi. Di titik tersebut, saya punya ide gila: “Bagaimana jika kita pakai foto founder dan owner perusahaan ini sebagai persona untuk akun Twitter kita ini?”

Kebetulan pendiri dan pemilik perusahaan tempat saya bekerja adalah sosok yang dikenal masyarakat luas. Ia juga tak segan membagikan pandangan dan pemikirannya soal isu-isu yang menurutnya penting bagi kebaikan masyarakat Indonesia secara umum.

Kami bereksperimen lalu meminta restu sang owner dan jadilah kami (tim tempat saya bekerja di dalamnya) menggunakan foto wajahnya sebagai avatar Twitter akun yang tim kami kelola.

Benar saja, ide saya sangat jitu menarik traffic. Secara naluriah, manusia memang lebih tertarik dan percaya tweet seorang pengusaha sukses daripada akun Twitter dengan logo website yang tak jelas (obscure).

Saat itu belum ada ide verified account berbayar jadi tim kami harus bekerja keras tiap hari membangun kredibilitas agar orang tahu ini benar-benar si pengusaha tenar yang menge-tweet setiap hari.

Karena ide untuk menggunakan persona owner perusahaan itu datang dari saya, saya pun ‘tertimpa’ tanggung jawab sebagai pengelola akun alias administrator akun Twitter tersebut. Saya cuma bisa menjalankan amanat dengan sebaik mungkin meski jujur saya juga saat itu buta sama sekali dan tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan yang relevan sebelum memikul tanggung jawab. Pokoknya ‘learning by doing‘, meraba-raba, bereksperimen.

Dan dari situlah saya berinisiatif untuk membekali diri dengan soft skills bermedia sosial yang saya kebetulan bisa dapatkan di training yang diadakan oleh Virtual Academy tahun 2013 kalau tak salah. Saat itu juga saya bisa belajar pertama kalinya dengan alm. Nukman Luthfie dan Iim Fahima Jahja yang saat itu dikenal vokal soal hal-hal berbau digital.

Mulailah saya mencicipi rasanya menjadi penulis bayangan alias ghostwriter untuk akun Twitter ini dengan sebaik mungkin meski profesi ini tak terpikirkan untuk saya lakoni sebelum saya masuk tempat kerja ini.

Apa yang saya kerjakan sebagai ghostwriter di balik akun Twitter persona founder ini?

Tujuan besarnya adalah untuk memudahkan upaya kehumasan perusahaan tempat saya bekerja sebenarnya karena saat itu media sosial baru muncul sebagai kanal komunikasi baru yang menjadi bahan eksperimen masyarakat kita dalam banyak hal, termasuk para pelaku industri media dan kehumasan (public relations) serta bisnis media baru (online).

Saya beserta tim menjabarkannya dalam sejumlah strategi dan key performance index (KPI) yang terukur dan konkret. Tentu saja jumlah followers adalah salah satu indikator KPI yang utama (bahkan hingga kini).

Selain membuat tweet harian mengenai artikel berita terbaru yang menarik soal banyak isu, saya sendiri mengusulkan penggunaan kuis dan kultwit (‘kuliah’ dalam bentuk serangkaian tweet dengan tema edukatif dan insightful, yang sekarang populer disebut thread/ utas).

Saya mengatur penyelenggaraan kuis-kuis dengan materi soal detail perjalanan karier sang founder yang memang saat itu sudah menerbitkan buku. Jadi selain saya bisa meningkatkan engagement di akun Twitter tersebut, saya juga bisa memberikan nilai tambah bagi pengikut akun dan meraih pengikut baru sekaligus membangun impresi dan reputasi positif perusahaan dan sang founder di dunia maya, plus membangkitkan keingintahuan pengikut agar mau membeli buku si founder. Begitu argumentasi yang saya bangun untuk bisa menjustifikasi ide saya ini di depan manajer, dan ia merestui. Sounds good, katanya singkat.

Dan untuk menjadi ghostwriter si founder ini, saya punya keleluasaan untuk bertemu dan berkomunikasi dengannya untuk brainstorming ide-ide konten atau tweet. Pun jika ia memiliki pesan penting untuk disampaikan kepada para pengikut, saya mengemasnya sedemikian rupa agar bisa sesuai dengan platform Twitter yang kala itu cuma bisa menampung 144 karakter. Tak bisa panjang lebar padahal si founder ini Silent Generation yang terbiasa dengan komunikasi tatap muka.

Jika sang founder ada acara atau event offline yang bisa dijadikan materi konten atau publikasi yang memberikan sentimen positif bagi perusahaan, saya pun menghadiri sekaligus merangkai kata-kata sebagai tweet, sekaligus merekam atau mengabadikan momen tadi lalu mengunggahnya ke Twitter segera.

Bentuk singkatnya saya unggah di Twitter lalu detailnya saya suguhkan dalam bentuk artikel panjang dengan sudut pandang orang pertama sang founder di website sehingga dua-duanya makin menarik pembaca dari waktu ke waktu.

Saat ini akun tersebut masih ada namun terbengkalai begitu saja sebab sang founder yang saya maksud sudah meninggal dunia karena usia senja. RIP…

Ghostwriter Buku

Setelah pekerjaan sebagai ghostwriter di perusahaan tersebut berakhir, saya pun meniti episode perjalanan karier selanjutnya yang ternyata tak kalah mengasyikkan: menjadi ghostwriter untuk sebuah buku.

Seorang kenalan saya yang memiliki jejaring luas di industri perbukuan kebetulan mengajak untuk menjadi penyunting sekaligus ghostwriter untuk seorang ibu yang memiliki minta besar pada spesies hewan lokal yang ingin mendapatkan pengakuan secara internasional. Untuk itu, sebuah buku dalam bahasa Inggris mesti dibuat dan disebarluaskan sebagai bukti eksistensi spesies hewan lokal ini di area yang dimaksud bagi instansi Eropa yang berwenang memberikan pengakuan tadi.

Saya bekerja merampungkan proyek buku ini bersama dengan sang pemilik ide dan 2 orang lain yang menjadi anggota tim penerbitan buku ini.

Dalam kurun waktu 3-4 bulan, kami mengerjakan semuanya dari pengerjaan draft pertama, penyuntingan draft, wawancara narasumber-narasumber penting, transkripsi, fact checking, proofreading, hingga tahap finalisasi naskah.

Di sini, saya banyak bekerja menyusun draft pertama dengan menggunakan kerangka ide buku yang telah diberikan sebagai pedoman. Dengan kata lain, tugas saya mengembangkan ide-ide utama dalam buku menjadi serangkaian paragraf dan ternyata proses ini sangat menguras energi intektual sebab saya sangat asing dari topik yang dibahas dalam buku.

Saya masih ingat berhari-hari mencoba menuliskan sesuatu dengan dikelilingi buku di perpustakaan umum, sembari merasa putus asa karena draft mentah dari saya sudah ditunggu oleh tim tapi saya tak kunjung mengirim karena merasa stuck. Istilah kerennya sedang kena writer’s block. Saya merasa: “Apa lagi yang bisa diceritakan soal ini? Nggak ada. Gimana donggg??”

Tapi tentu saya tak bisa menyerah begitu saja, saya mencoba memeras kreativitas dengan melihat bagaimana buku-buku sejenis membahas topik mereka dengan apik dan menarik. Saya juga lupa bahwa saat itu saya sedang bekerja sendiri dengan otak saya yang terbatas, begitu draft ini diserahkan, pasti bakal ada tambahan, masukan, revisi, dan pengayaan dari pihak lain di tim. Tak harus langsung sempurna, gumam saya ke otak ini. Jadi seharusnya saya tidak berpikiran bahwa beban itu semua ada di pundak saya saat itu juga. Saya bekerja dalam tim, bukan secara solo. Begitu saya mengubah sudut pandang itu, saya merasa bisa lebih leluasa menulis. Fiuh!

Dari draft pertama yang payah, kami terus memoles, menambal ‘lubang-lubang’ ide dengan informasi dan ide lain agar terlihat mulus dan enak dibaca, memeriksa dan menyulam untaian gagasan menjadi satu ‘kalung’ yang utuh.

Singkat cerita, buku itu pun berhasil dicetak dan dipamerkan di sebuah event pameran buku dan diajukan ke badan yang dimaksud. Lega rasanya!

Speechwriter Bayangan

Di kemudian hari, saya dihubungi oleh seorang mantan teman kerja. Tanyanya pada saya: “Kamu bisa kan membuat naskah pidato dalam bahasa Inggris?”

Sebelumnya memang kami bekerja dalam satu tim pemasaran yang sama dan saya bekerja sebagai senior copywriter di dalamnya.

Saya jawab ya. Saya sebelumnya pernah mengarang sejumlah artikel dengan menggunakan sudut pandang orang pertama untuk mewakili founder perusahaan, lalu ada juga kata beberapa sambutan pimpinan dalam newsletter semesteran yang saya juga buat untuk organisasi tempat saya bekerja lainnya, sehingga saya cukup percaya diri dengan pengalaman dan keterampilan menulis di genre seperti itu.

Langkah pertama begitu mendapatkan lead seperti ini ialah memberikan rate card yang bisa menggambarkan dengan jelas tarif dan jenis jasa apa saja yang saya tawarkan sebagai ghostwriter. Jadi ‘no tipu-tipu’ di sini. Jangan ada ketentuan atau informasi yang disembunyikan atau baru disampaikan di tengah atau akhir proses pengerjaan naskah.

Usut punya usut, saya duga keras klien saya yang kenalan mantan teman kerja ini adalah anggota tim PR dari seorang pucuk pimpinan (CEO) perusahaan dan ia diberi tugas menyusun draft pidato untuk sebuah event gathering perusahaan yang mengundang agen-agen dengan tujuan mengapresiasi kerja keras mereka.

Dari tujuan event tersebut, saya pun mencoba untuk menyusun draft pidato yang bisa menyampaikan pesan penting sang CEO. Tak lupa agar isi pidator makin meyakinkan, saya juga memberikan pertanyaan-pertanyaan penting dan fundamental sebagaimana dalam jurnalistik: 5W dan 1H. Siapa yang hadir agar saya bisa menerka ragam bahasa yang tepat, alasan mengapa event itu diadakan, kapan dan di mana event itu diadakan, apa yang akan dilakukan di event tersebut, dan bagaimana si CEO/ perusahaan akan merealisasikan janjinya terhadap agen-agennya?

Juga saya tak lupa menanyakan data dan angka penting pada klien, misalnya data terbaru capaian penjualan agen-agen terbaik yang hendak diberi penghargaan. Jika memang patut disebut, menurut saya harus disebut karena orang selalu terkesima dengan angka.

Dengan dipersenjatai semua informasi itu, barulah saya bisa menyusun draft pidato yang sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi ini memang sangat subjektif sehingga saya pun memberi batasan bahwa revisi maksimal 3 kali, dan selebihnya akan saya kenakan biaya tambahan. Karena kalau revisinya terlalu banyak dan berubah terlalu cepat dan drastis lalu hanya untuk kembali menggunakan draft awal, rasanya terlalu membuang tenaga dan waktu saya sehingga biaya tambahan perlu dikenakan pada klien.

Ini harus tegas disampaikan di depan agar si klien tidak merasa diperdaya di tengah pengerjaan naskah. Saya selalu menghindari kesan memperdaya klien dengan mengeluarkan ketentuan di awal/ sebelum proses penulisan dan revisi tulisan dilakukan. Kalau bisa bayar down payment 50%, tentu lebih baik. Sisa 50%-nya menyusul begitu naskah kelar.

Proses bisnis tanpa perantara begini memang enak dan mulus sebab dilandasi kepercayaan berkat adanya rekomendasi dari kolega atau teman kerja atau kenalan kita di circle kerja sebelumnya. Maka dari itu, saya sangat percaya dengan pentingnya memupuk hubungan yang baik dengan semua orang di tempat kerja. Karena bisa jadi dari mereka inilah kesempatan-kesempatan yang tak terduga berdatangan menghampiri saya di masa datang. (*/)

This entry was posted in Blog and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *