Tak Semua PHK (Layoff) Itu Sama

Baru-baru ini kita saksikan badai layoff menerjang Tokopedia. Menurut ByteDance melalui beberapa sumber, setelah merger yang hingar bingar beberapa waktu lalu itu memang dipastikan bakal ada sejumlah pegawai yang di-PHK.  Jumlahnya berpotensi mencapai 1000 orang. Tidak main-main.

LinkedIn pun menampilkan update beberapa orang yang terdampak dan rekan mereka yang bersimpati dan mempromosikan skills teman dan kenalan yang baru saja di-PHK itu secara cuma-cuma di LinkedIn feed mereka. Wow keren juga ya networking di LinkedIn ini, pikir saya.

Sedih memang tapi mood saya langsung berubah tatkala menemukan sebuah video TikTok yang dimiliki seorang korban layoff Tokopedia baru-baru ini. Isinya begini: “A day in my life. Episode layoff.” Penanda lokasinya adalah sebuah hotel mewah di ibu kota. Caption-nya bernada: Menangis di hotel mewah tersebut bersama teman-teman senasib lebih baik daripada menangis sendirian.

Si pemilik akun sendiri merekam dirinya sedang mengeringkan rambut setelah keramas dengan shampoo mahal yang disediakan pihak hotel tadi. Lalu merekam juga hidangan mahal yang terhampar di meja yang ia nikmati bersama kawan-kawannya yang sesama korban layoff. (*Untuk memahami konteks yang lebih lengkap di balik video itu, bisa baca di update yang saya tambahkan di bawah)

Agak ironis memang. Korban layoff tapi masih bisa hahahihi, masih terpikir untuk healing ‘tebal-tebal’ (nggak tipis-tipis lagi menurut saya itu).

Di situ saya sadar bahwa pengalaman layoff bisa sungguh berbeda bagi tiap orang. Ada yang di-PHK tetap bisa makan minum yang mereka inginkan dan membiayai kebutuhan ultra tersier seperti si pemilik akun TikTok tersebut.

Ada juga yang tak seberuntung itu. Begitu di-PHK, otomatis pikirannya terpaku pada upaya-upaya penghematan dan pencarian peluang kerja selanjutnya agar tetap bisa bertahan hidup. Saya pikir itu yang dialami sebagian dari 1170 karyawan pabrik ban yang ditutup di Cikarang. Mungkin mereka menjadi tulang punggung keluarga sehingga rasanya di-PHK sama dengan kiamat skala kecil bagi semesta mini kehidupan mereka. Terbayang susahnya cari kerja bagi orang dengan usia di atas 30 tahun di negara ini. Sungguh berat!

Pengalaman saya sendiri kena PHK dua kali sejauh ini berbeda dari kedua kutub ekstrim ini. Saya masih ada tabungan tapi tidak sampai seimpulsif mantan karyawan Tokopedia tadi, yang menghabiskan jutaan untuk menginap di hotel mahal hanya untuk ‘merayakan’ layoff.

Saya lebih terdorong untuk ‘belanja’ pengetahuan dan skills baru untuk upgrade diri agar siap untuk peluang selanjutnya atau jika saya memang harus self employed, membuat saya bisa mandiri menggarap peluang untuk mencari nafkah tanpa bergabung dengan organisasi/ korporasi apapun.

Untuk kebutuhan sehari-hari sendiri, saya masih beruntung memiliki pekerjaan sampingan: mengajar yoga. Jadi kalau bisa dikatakan, saya malah anggap masa pasca layoff sebagai suatu ‘sabbatical leave‘ yang agak melegakan dan menenangkan jiwa meski masih sedikit dihantui ketakutan akan masa depan. Tapi secara keseluruhan, saya masih bisa ‘mengapung’, tidak ‘tenggelam’ di gelombang tsunami layoff ini. So I consider myself lucky to some degree.

Di sini saya ingin menegaskan betapa luas spektrum pengalaman dan rasa menjadi korban layoff. Ada yang cukup diberikan simpati ala kadarnya karena mereka tanpa pekerjaan itu pun masih bisa membiayai gaya hidup yang wah entah karena gajinya dulu segunung dan investasinya segudang atau punya background keluarga yang mampu sekali dalam finansial.

Ada korban layoff kelas menengah yang seperti saya. Masih bisa makan, minum, tidur nyenyak di bawah atap dan menikmati hidup tapi kalau tabungan habis ya bakal masih bisa menangis darah juga.  

Lalu ada korban layoff yang lebih tragis dan perlu sekali tak cuma diberi simpati yang tulus tapi juga tindakan nyata dari kita semua agar mereka tidak makin terlilit utang pinjol, lintah darat, atau utang bank (KPR misalnya) sehingga mereka kehilangan rumah yang dijadikan tempat tinggal bersama keluarga.

Update 20 Juni 2024:

Ada beberapa orang yang menanggapi tulisan ini. Melisa Hartanto menanggapi dengan penjelasan konteks video tersebut:

“Kebetulan yang post itu temen saya dan memang kekurangan beberapa context sehingga misleading. Tapi, alangkah baiknya tidak spreading hateful speech ketika kita belum tau full informasinya yaa.

Apabila berkenan untuk anda baca dan FYI untuk meluruskan yes.

1. Saat itu kita sedang on campaign yang memang sudah terencana dari perusahaan, dan dicover perusahaan untuk penginapannya 🙂
2. Mana ada yang tau di tengah-tengah sibuknya ngerjain big event tiba-tiba kondisi perusahaan terpaksa ada restrukturisasi.
3. Makan-makan ini adalah salah satu bentuk traktiran dari lead kami (baik banget aslii) yang dimaksudkan untuk menghibur yang terdampak.
4. Inside joke “menangis di hotel better than nangis sendiri” – so sorry it’s our inside joke yang tanpa sadar tidak semua orang paham kondisi kita.”

Thank you!🍀”

Jadi saya minta maaf kepada pihak yang sudah kurang berkenan dengan tulisan karena sudah keliru memahami video tersebut.

Namun, saya tidak menghapus tulisan ini dengan tujuan untuk bisa dibaca sebagai pembelajaran bagi kita semua untuk:

  1. tidak memberi respon terburu-buru mengenai sebuah konten yang terlihat kontroversial, kontraintuitif, dan sebagainya. Bisa dicek dulu ke pihak pemilik konten mengenai konteks dan maksudnya.
  2. berhati-hati dalam mengunggah video pendek dengan konteks yang tidak lengkap yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang menonton. (*/)
This entry was posted in life and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *