ADALAH Bayu, seorang penulis di era pasca kemerdekaan. Diperankan oleh Adipati Dolken, tokoh Bayu ini pada hakikatnya seorang pria yang baik budi dan sopan perilakunya. Pemikirannya juga lurus-lurus saja.
Tapi karena terlalu lurus itulah pernikahannya dengan seorang biduanita bernama Lastri menjadi goyah. Terutama saat rumah kos besar yang mereka huni kedatangan sepasang penghuni baru.
Mereka ini adalah Sena dan Danti. Si pria adala seorang anggota partai. Partai mana itu, tak disebutkan secara jelas di film. Hanya saja dijelaskan dalam bentuk siaran radio bahwa latar belakang film ini ialah tahun 1955 saat Indonesia menghelat Pemilu pertamanya.
Karier kepenulisan Bayu kurang bagus karena terhalang selera editor yang kurang suka gaya tulisannya di kolom opini surat kabar yang dikelola si editor.
Disindirlah oleh si editor bahwa Bayu seharusnya menulis fiksi saja. Daripada sok menulis opini yang berdasarkan fakta tapi toh kelihatan mengarang saja, katanya.
Kebetulan di saat yang sama, Bayu mendapatkan sumber inspirasi: Danti.
Diam-diam karena keduanya sering ditinggal kerja pasangan masing-masing di rumah kos besar tadi, mereka pun sering berbincang akrab.
Ditambah dengan rasa keingintahuan masing-masing soal kondisi rumah tangga tetangganya. Danti penasaran dengan rumah tangga Bayu. Bayu pun juga sering pasang telinga di dinding demi menemukan fakta soal hubungan Sena dan Danti terkini.
Kedekatan tadi makin menjadi-jadi karena Bayu dan Danti juga ternyata kerap bertemu di perpustakaan yang sama. Danti adalah penjaga perpustakaan dan Bayu pengunjung rutinnya. Klop!
Namun, jalan cerita tidak membuat mereka menjadi pasangan yang berselingkuh meskipun mereka sebenarnya bisa saja melakukannya. Danti dan Bayu menolak untuk berselingkuh (walaupun mereka juga menginap di kamar hotel yang sama).
Danti sendiri sudha tahu bahwa Bayu menaruh hati padanya karena sekarang Bayu menulis sebuah cerita di surat kabar mengenai kisah romantis dan narasi seorang perempuan yang sang penulis kagumi. Danti menduga dia-lah yang menjadi objek tulisan cerita Bayu itu, lalu ia marah pada Bayu karena dianggapnya bahwa perasaan semacam itu pada istri orang lain kuranglah pantas. Tapi Bayu tetap menulis cerita tadi karena ia justru mendapatkan peningkatan karier sebagai penulis setelah berhasil menyenangkan hati editornya berkat cerita asmara tadi.
Anehnya Lastri dari awal terlihat sangat membenci tetangga barunya. Saat Sena dan Danti berpesta mengundang teman-temannya, Lastri begitu geram. Bayu sendiri adem ayem saja melihat tetangganya berpesta.
Ternyata rasa benci itu cuma palsu belaka. Faktanya, Lastri dan Sena pergi ke Surabaya bersama-sama. Kedua tiket kereta ke kota buaya milik dua orang itu ditemukan oleh masing-masing pasangannya dan dicocokkan tanggal keberangkatannya. Dan memang benar mereka segerbong.
Menemukan kenyataan suaminya selingkuh dengan istri pria yang menaruh hati padanya membuat Danti goyah.
Di saat genting itu, Lastri menginginkan perceraian dan akhirnya Bayu pun bercerai secara resmi dari istrinya.
Tapi kemudian di saat yang bersamaan, Sena mengurungkan niatnya untuk menceraikan Danti. Perempuan yang sudah mengendus gelagat buruk itu pun menuntut kejujuran dari si suami yang makin sibuk dengan urusan partainya.
Yang aneh, saat dilabrak Danti, eh Sena malah kena serangan jantung.
Akhir kisah ini kurang menyenangkan penonton memang tetapi saya bisa katakan bahwa kualitas akting Adipati dan lawan mainnya masih biasa.
Dan penampilan dan fashion serta gaya rambut juga masih kurang jadul alias tempo dulu menurut saya. Entahlah, baju-bajunya kurang meyakinkan. Terutama fashion Danti.
Gaya rambut dan perawakan Adipati juga kurang 50s dan 60s. Coba dia punya cambang atau kumis dan rambutnya lebih gondrong dan pipinya lebih cekung. Matanya sudah berkantong jadi menurut saya sudah meyakinkan untuk memerankan seorang penulis yang kurang tidur dan suka begadang sambil merokok.
Yang paling kurang sreg menurut saya adalah panggilan “Tuan” dan “Nyonya” yang masih terus dipakai saat Danti dan Bayu sudah kenal sekian lama. Terasa kaku sekali. Agak berlebihan. Saya paham keduanya saling menghormati dan menjaga jarak tapi apa alami jika panggilan itu masih dipakai tatkala tidak ada orang lain di sekitar mereka? (*/)