SUDAH berita lama dan rahasia umum bahwa media sosial memiliki risiko membahayakan kesehatan mental anak-anak dan remaja kita.
Dari perisakan siber (cyber bullying) hingga penipuan dan penculikan, media sosial yang bisa diakses dengan mudah saat ini dengan menggunakan ponsel cerdas memberikan dampak yang luar biasa besar bagi masyarakat dunia terutama generasi mudanya.
Dikutip dari The New York Times, para senator di Amerika Serikat tanggal 31 Januari 2024 lalu memanggil secara resmi sejumlah pemimpin perusahaan media sosial yakni Meta (dahulu Facebook), TikTok, Snap, Discord, dan X (dahulu Twitter).
Secara singkat, orang-orang penting di industri teknologi ini didamprat habis-habisan oleh para senator alias wakil rakyat AS karena dianggap tidak melakukan upaya pencegahan pelecehan seksual terhadap pengguna anak yang memadai. AS saat ini memang mengalami kecemasan akibat beragam dampak negatif penggunaan media sosial di kalangan anak dan remaja.
Menurut pendapat entrepreneur AS di bidang kreasi konten Eric Wei, terdapat 3 hal yang patut kita ketahui dari dipanggilnya para pucuk pimpinan media sosial ini ke hadapan Kongres AS dan para senator.
Dua Tunjukkan Itikad Baik
Cuma Meta dan TikTok yang menunjukkan itikad baik dengan hadir di undangan tersebut tanpa paksaan.
Mark Zuckerberg yang mewakili Meta dan Shou Zi Chew sebagai CEO TikTok hadir dengan sukarela.
Sementara itu, para pemimpin Snap, Discord, dan X (Twitter) harus dipaksa oleh pihak Kongres untuk datang langsung ke pertemuan tersebut. Perwakilan YouTube juga menghindar dari undangan tersebut. Secara tidak langsung, ini tidak menunjukkan itikad baik dari perusahaan yang bersangkutan.
Di pertemuan tersebut, baik Zuckerberg (Meta) dan Evan Spiegel (Snap) dicecar dan didesak untuk meminta maaf kepada masyarakat AS yang terkena dampak negatif penggunaan platform mereka.
Zuckerberg kemudian meminta maaf secara publik di hadapan Kongres kepada keluarga para anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual lewat Facebook dan Instagram yang menjadi platform milik Meta.
Sedangkan Evan Spiegel juga dipaksa meminta maaf kepada para keluarga anak korban overdosis zat fentanyl yang mereka peroleh dari platform Snap. Spiegel sebagai pimpinan dianggap lalai dalam mengupayakan pencegahan agar jual beli narkoba seperti itu tidak terjadi di platform Snap miliknya.
Bagaimana Tanggung Jawab Ortu?
Terlepas dari kenyataan bahwa Komite Judisial Senat AS sukses menghukum para pucuk pimpinan perusahaan besar teknologi media sosial ini, muncul pertanyaan yang tak kalah pentingnya: “Apakah seharusnya anak dan remaja kita memang tak boleh menggunakan media sosial sama sekali agar mereka tidak terjerumus ke hal-hal negatif?”
CEO Meta Mark Zuckerberg dengan lihai kemudian mengatasnamakan hak para remaja untuk bisa memiliki akun media sosial dalam bentuk akun yang bisa diakses siapa saja (termasuk para kriminal dan pedofil?). Memiliki akun media sosial bisa membuka pintu peluang bagi para remaja dalam “menciptakan hal-hal cemerlang”, ucap Zuckerberg.
Sang CEO juga sudah menyatakan pihaknya tidak memperbolehkan anak-anak di bawah usia 13 tahun untuk memiliki akun di platformnya tapi hal itu langsung disanggah Kongres sebab pada kenyataannya jutaan anak ternyata masih bisa membuat akun sendiri. Jadi larangan itu tidak efektif.
Secara tersirat, Zuckerberg ingin melimpahkan tanggung jawab itu ke pundak para orang tua agar mau lebih tegas melarang anak-anak mereka yang di bawah umur untuk tidak memiliki akun media sosial.
Tapi sayangnya, kesadaran ortu soal bahaya media sosial juga bervariasi. Jadi pihak ortu dan pemerintah juga seolah ingin melimpahkan kesalahan pada pihak pemilik platform yang bersangkutan.
Namun, menurut hemat saya, tidak bakal ada solusi dalam lingkaran setan ini karena semua pihak (ortu, anak, pemerintah dan bisnis) juga harus sama-sama melakukan tugasnya masing-masing. Tidak bisa menyalahkan pihak lain dan bebas begitu saja dari tanggung jawab.
Upaya Pembungkaman Kebebasan Berpendapat?
Kongres AS memang sedang mewujudkan perlindungan lebih baik pada anak-anak dari bahaya media sosial melalui UU Keamanan Daring Anak-anak (Kids Online Safety Act).
UU ini mewajibkan penyelenggara platform media sosial untuk bekerja lebih keras dalam merealisasikan perlindungan anak dari bahaya perisakan, pelecehan, upaya marketing/ iklan yang bisa membahayakan anak/ remaja.
Tapi kemudian ada yang mencemaskan bahwa aturan yang makin ketat ini malah bisa mengekang kebebasan berpendapat dan mempertinggi kemungkinan sensor terhadap konten yang nanti akan beredar di platform-platform media sosial.
Bentuk-bentuk sensor ini misalnya adalah tidak bisanya mengunggah konten yang mengandung frasa atau kata kunci terlarang yang sudah disepakati bersama oleh pihak penyelenggara platform dan pemerintah.
Menurut saya, upaya perbaikan ekosistem media sosial agar lebih kondusif untuk para pengguna anak dan remaja memang sudah sangat mendesak sebab akibat buruknya bisa terus meluas serta bisa memengaruhi masa depan bangsa ke depan.
Soal sensor dan kebebasan berpendapat, dalam pandangan saya terlalu mengada-ada dan berlebihan karena inilah upaya pencegahan yang harus ditempuh agar kebebasan itu juga diberi batas agar tidak membahayakan orang lain. (*/)