MUNGKIN salah satu dari kita banyak yang mengikuti yoga hanya karena ingin memiliki badan yang ‘ideal’ sebagaimana yang dimiliki oleh guru yoga idola kita.
Mereka kurus, fleksibel tapi juga kuat.
Guru idola ini mungkin kita temui secara langsung atau juga melalui media sosial.
Bentuk badan atau keterampilan fisik atau akrobatik mereka mungkin membuat kita terpukau dan tiba-tiba kita merasa tergerak untuk mengikuti setiap gerakan mereka.
Apapun yang mereka lakukan rasanya kita juga ingin lakukan demi mendapatkan bentuk badan yang serupa.
Swimmer’s Body Illusion
Fenomena ini memiliki kemiripan dengan “swimmer’s body illusion”.
Istilah tersebut digagas pertama kali oleh akademisi Nassim Nicholas Taleb dari Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai penulis buku Black Swan.
Taleb yang ingin mengurangi berat badan tertarik untuk berenang karena ia ingin memiliki bentuk badan seperti perenang. Otot yang kencang, terbentuk baik namun tidak sebesar otot-otot para binaragawan.
Di sinilah ia menemukan adanya sebuah ilusi karena ternyata ia menemukan kenyataan bahwa para perenang yang berbadan ideal tersebut memiliki badan seperti itu BUKAN karena berenang setiap hari selama berjam-jam.
Ternyata para perenang itu diseleksi secara ketat menurut bentuk badan oleh para pelatih yang menangani tim/ klub renang tempat mereka bernaung.
Dengan kata lain, badan yang ideal tersebut bukanlah akibat dari aktivitas berenang tetapi menjadi sdalah satu faktor agar bisa terpilih menjadi perenang kompetitif (bukan rekreasional).
Swimmer’s body illusion menjadi ‘senjata’ banyak orang untuk menjual produk dan jasa mereka sudah sejak lama bahkan terus bertahan hingga detik ini. Dan orang-orang terus terjebak di dalamnya.
Yogi’s Body Illusion
Di dunia yoga, hal ini juga marak terjadi. Namun, apakah ini secara moral salah? Tidak juga karena ilusi ini sudah begitu mendarah daging dalam benak masyarakat luas sehingga bahkan jika kita ingin ‘menjual’ jasa sebagai guru yoga, akan sangat susah menarik perhatian tanpa menggunakan ilusi tubuh yogi (yogi’s body illusion).
Tunggu, memang ada ya “yogi’s body illusion”?
Meskipun ada sebagian guru dan praktisi yoga yang berpikir bahwa yoga adalah wadah yang inklusif dan anti diskriminasi bentuk badan (contohnya yang dijelaskan Dr. Laura McGuire di “All Yogi Bodies Are Good Bodies”), tidak bisa ditampik bahwa dalam benak dan alam bawah sadar kita masih ada pemikiran bahwa badan ideal seorang yogi atau yogini adalah tubuh yang langsing, kurus, berotot ‘kering’, fleksibel tapi juga cukup kuat untuk melakukan gerakan akrobatik seperti beragam asana jenis arm balance dan inversion.
Dan ini kita bisa saksikan di sejumlah demonstrasi publik yogasana dan media sosial dari YouTube hingga Instagram.
Badan Ideal Yogi
Saya melakukan observasi di sejumlah kanal YouTube dan menemukan bahwa stigma badan ideal yogi itu langsing dan berotot ‘lean’ (kering) terutama setelah menonton lomba asana yoga di USA Yoga Asana Championship di kanal USAYOGA.
Beberapa nama yang dikenal dengan kemampuan yoga asana yang fenomenal melalui ajang USA Yoga ini adalah Jared McCann, yang begitu fleksibel tapi juga kuat dan solid. Natarajasana-nya sangat memukau berkat hamstring yang panjang dan punggung yang kuat. Mayurasana yang mengasah core strength juga sanggup ia lakukan dengan baik.
Nama lain yang juga bisa dikatakan memenuhi kriteria badan ideal yogi ialah Kasper Van Den Wijngaard, juara di 2010 International Yoga Asana Championship di Los Angeles.
Satu nama lagi yang tak bisa dilupakan ialah Josep Encinia yang memulai yoga saat usia remaja dan menjadi juara National USA Yoga Asana Men’s Championship.
Dan satu nama yang sangat patut diperhitungkan ialah Gokulacandra atau yang bernama asli Jani Jaatinen. Badannya sungguh luar biasa lentur bahkan jika dibandingkan dengan sesama yogi. Di Instagramnya @gokulacandra, kerap ia membagikan foto asana yang terasa musykil bisa dilakukan manusia modern dan cuma bisa dilakukan yogi zaman kuno.
Semua persamaan bentuk badan mereka adalah bahwa mereka berbadan langsing, cenderung kurus, sangat minim lemak, bersendi longgar, dan tidak memiliki massa otot yang sangat banyak namun juga masih kuat mengangkat berat badan mereka sendiri.
Tidak bisa disangkal bahwa untuk melakukan berbagai gerakan asana yoga yang mengandalkan kekuatan dan kelenturan, badan yang ramping dan otot yang panjang namun kuat bisa memudahkan kita melakukan beragam asana yoga.
Saat kita tidak memiliki massa lemak yang berlebihan, peluang untuk menguasai asana yoga menjadi lebih terbuka lebar.
Lalu kenapa bisa badan ideal seorang yogi/ yogini menurut masyarakat adalah badan yang ramping dan kuat serta lentur?
Seleksi Alam ala Charles Darwin
Menurut hipotesis saya, ini adalah bentuk “survival of the fittest” gagasan ilmuwan pencetus evolusi Charles Darwin tetapi terjadi di dunia yoga. Memang semua orang boleh saja melakukan yoga. Tidak ada orang yang melarang orang-orang berbadan gemuk untuk latihan pose yoga, tetapi secara alamiah tantangan mereka untuk melakukan berbagai gerakan juga lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang lebih langsing.
Saat latihan menjadi semakin sulit, sebagian orang akan terus melaju berkat badan mereka yang sudah sedari awal sudah mendukung: langsing, ototnya lentur dan kuat.
Lalu ada juga sebagian praktisi yoga lagi yang mungkin kesulitan saat memulai latihan asana yoga karena badan mereka tidak seideal harapan. Tapi kemudian entah bagaimana dengan cara yang bervariasi, badan itu berubah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan latihan yoga.
Dan ada juga orang yang meski berlatih sekeras apapun sejak awal hingga detik ini belum mengalami perubahan badan yang drastis hingga mendekati badan ideal seorang yogi. Mereka masih tampak lebih berisi dan lebih padat daripada badan orang kebanyakan padahal mereka sebetulnya relatif aktif secara fisik.
Dan ada juga sebagian orang lain yang badannya kurang ideal dan BERHENTI di ‘tengah jalan’ dalam perjalanan yoga mereka karena putus asa tidak kunjung kurus/ lentur atau berbagai sebab lainnya yang biasanya dialami praktisi. Misalnya ditinggal guru yoga kesayangan, atau karena pindah tempat tinggal sehingga tidak lagi bisa latihan di studio langganan, atau sudah kehilangan semangat yoga karena teman-teman yoga sudah menghilang entah ke mana, atau bisa juga karena sudah menekuni olahraga lain sebagai pengganti yoga yang dianggap sudah membosankan, dan sebagainya.
Jadi, yogi’s body illusion ini sebetulnya juga sebuah bias kognitif (kesalahan cara berpikir) sebagaimana swimmer’s body illusion yang mengacaukan pikiran seseorang dengan mengecohnya seolah ciri atau karakter fisik yang melekat tersebut (tubuh langsing, kuat, dan lentur) ialah hasil atau konsekuensi dari latihan yoga padahal kemungkinan tidak demikian faktanya.
Dari sini tidak berlebihan jika dikatakan bukan cuma manusia yang bisa memilih jenis olahraga yang mereka ingin lakoni tetapi pada kenyataannya jenis olahraga itu juga bisa memilih dan menyeleksi manusia yang ingin melakukannya. Mereka yang tidak berbadan ideal sesuai kriteria akan tersingkir secara alami atau harus berlatih ekstra keras dan menyiasati kelemahan fisik mereka itu dengan berbagai cara. (*/)