MUNGKIN tidak banyak yang mengetahui bahwa di Palestina, yoga juga bisa berkembang berkat media sosial dan peran beberapa gerakan, inisiatif, dan komunitas yoga.
Yoga digunakan oleh sejumlah rakyat Palestina yang tinggal di kamp pengungsian, desa, dan kota untuk melepaskan tekanan hidup dalam penindasan Israel.
Rakyat Palestina yang hidup di bawah penjajahan Israel harus menanggung tingkat stres yang begitu tinggi secara psikologis dan fisik.
Stigma Haram
Namun, penerimaan yoga tentu tidak semulus itu karena yoga begitu identik dengan agama-agama ardhi asal Hindustan (Buddha dan Hindu), stigma tersebut juga sempat singgah di benak orang-orang Palestina.
Ada yang mengira yoga adalah ritual Buddhis yang cuma duduk-duduk manis dan mengharuskan orang melafalkan mantra “om”. Dan pemikiran kontra ini memang sempat muncul di benak kelompok yang lebih konservatif di Palestina.
Padahal yoga yang diniatkan sebagai olahraga dan hanya melibatkan latihan fisik dan pernapasan dan tidak menggunakan mantra atau ritual agama lain tentunya hukumnya mubah atau boleh secara syariat, sebagaimana yang juga pernah difatwakan MUI pada tahun 2009.
Dukungan Komunitas
Perubahan terjadi pada tahun 2010 saat sebuah komunitas yoga nirlaba bernama Farashe diluncurkan di kota Ramallah.
Di tahun 2012 dan 2013, organisasi nirlaba Anahata International yang bermarkas di Washington DC, AS, memberikan dukungan kepada komunitas Farashe dalam bentuk penyelenggaraan yoga teacher training di para perempuan Palestina yang bermukim di Tepi Barat.
Tujuan training ini ialah untuk memberikan bekal bagi masyarakat Palestina teknik-teknik untuk merawat kesehatan fisik dan mental diri mereka.
Dalam periode 3 tahun, sekitar 80 orang pria dan wanita Palestina sudah lulus dari yoga teacher training yang diadakan oleh Farashe dan Anahata International.
Para guru yoga Palestina ini menyatakan bahwa mereka menemukan beberapa persamaan dari gerakan yoga dan salat. Konsentrasi penuh saat yoga juga mirip dengan kekhusyukan yang dirasakan saat salat atau ibadah lain.
Dengan kata lain, baik yoga dan ibadah sama-sama membantu bertahan melalui saat-saat sulit di tengah penindasan Israel dengan menjauhkan diri dari kebencian, mendengarkan hati nurani, pikiran dan jiwa agar mereka bisa istirahat sejenak. Tidak terus menerus terpaku pada rentetan tragedi dan konflik berdarah.
Dari Matras ke Dunia
Bex Tyrer, seorang guru yoga yang sekarang mengajar di Yoga Barn Ubud sekaligus aktivis sosial Inggris, mendirikan Palestine Yoga Movement dengan tujuan membagikan manfaat yoga pada orang-orang yang mengalami beragam masalah akibat konflik politik, keuangan dan sosial di Palestina.
Saat masih bekerja sebagai jurnalis, Tyrer pertama kali ke Palestina tahun 2004 bersama The Peace Cycle, sebuah kelompok pesepeda internasional yang mengayuh sepeda dari London hingga Jerusalem demi menggalang semangat perdamaian di Palestina.
Juni 2021, Tyrer bekerjasama dengan para kenalannya di Palestina dan berhasil mengadakan kelas-kelas yoga bagi mereka yang sedang hidup dalam suasana keprihatinan di kota Ramallah, Jenin, dan Bathlehem. PYM digerakkan 7 guru yoga dan seniman yang membantu menyebarkan pesan perdamaian.
Abu Sway, salah seorang pionir yoga di Palestina, mengatakan bahwa yoga memang tidak bisa menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan tetapi setidaknya yoga bisa membantu orang-orang Palestina tetap optimis saat harus menghadapi ancaman eksistensi bangsa mereka yang entah akan terjadi sampai kapan.
[Sumber: The Guardian & Yoga Journal]