Nepotisme bisa dikatakan adalah salah satu cara manusia bisa bertahan hidup. Tak heran umur nepotisme sudah setua umur umat manusia juga.
Nepotisme seperti juga produk sampingan peradaban manusia lainnya (sebut saja pelacuran, judi, dan sebagainya) juga kerap dicap buruk. Tapi anehnya, tetap saja ada banyak manusia yang melakukannya.
Bila Anda belum tahu, ada sebuah buku menarik yang mengupas sejarah dan evolusi nepotisme dari zaman dulu hingga sekarang yang ditulis oleh Adam Bellow. Judulnya ialah In Praise of Nepotism yang diterbitkan tahun 2003 oleh Knopf Doubleday Publishing Group.
Sebetulnya fokus pembahasan buku ini lebih pada fenomena nepotisme di Amerika Serikat masa modern sekarang namun ia juga menyinggung persepsi nepotisme secara global juga. Di sini Bellow juga menelaah kompleksitas nepotisme, baik dampak positif dan negatifnya.
Dianggap Biang Keladi Merebaknya Korupsi
Layaknya di Indonesia, nepotisme juga dulu marak di Amerika Serikat. Kalau di tanah air kita, nepotisme identik dengan keberadaan kerajaan yang penguasanya bersifat turun-temurun, di Amerika Serikat juga ada fenomena nepotisme yang lekat di bisnis keluarga. Sebagaimana kita ketahui masyarakat Amerika Serikat terbentuk dari kumpulan imigran yang kemudian melakukan beragam aktivitas ekonomi di tanah Amerika Utara.
Bellow menulis bahwa lama-lama nepotisme dianggap sebagai keburukan seiring dengan merebaknya paham globalisme ekonomi. Nepotisme dianggap sebagai biang keladi korupsi yang merajalela dan kapitalisme yang berakar pada kroni-kroni di negara-negara berkembang di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin (hal 14).
Nepotisme dianggap membebani ekonomi, membuat sebuah pemerintahan rawan korupsi, mencap wanita dan anak sebagai sebuah aset saja, membuat diskriminasi pada kelompok minoritas makin menjadi-jadi, terhambatnya meritokrasi, keegoisan amoral yang meningkat, dan semakin mengukuhkan sistem kelas di sebuah masyarakat, terutama AS, demikian tulis Bellow.
Cap negatif nepotisme juga makin diperkuat oleh pemimpin spiritual Tibet Dalai Lama dalam bukunya Ethics for the New Millennium yang mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk memilih keluarga, komunitas, dan kelompok etniknya sendiri adalah suatu sifat buruk manusia yang harus diperangi, ungkap Bellow.
Dua Gaya Nepotisme
Menariknya Bellow membagi nepotisme menjadi dua jenis: nepotisme gaya lama dan gaya baru. Pembagian ini berdasarkan pada arah kemunculan nepotisme itu. Apakah itu dari atas ke bawah (top to bottom) atau bawah ke atas (bottom up).
Maksudnya, nepotisme gaya lama biasanya dimulai dari pihak orang tua yang menekan atau memaksa anak-anak mereka untuk melestarikan kepentingan mereka di tengah masyarakat. Anak-anak menjadi objek paksaan ortu yang rakus kekuasaan, kekayaan dan ketenaran. Sering kita mendengar ada raja yang menikahkan anak mereka dengan kerajaan lain di masa lalu demi membina hubungan yang baik agar kedua kerajaan tidak berperang. Di keluarga pebisnis juga sudah biasa dilakukan pernikahan seorang anak pebisnis kaya raya dengan rekannya yang juga sama kayanya. Semua nantinya akan berkontribusi untuk semakin memperbesar kerajaan bisnisnya.
Sementara itu, nepotisme gaya baru muncul justru dari pihak penerus/ anak-anak. Saat si orang tua yang sudah memiliki reputasi dan kekayaan akan lengser atau memasuki usia pensiun, anak-anaknya justru malah terdorong dengan sendirinya tanpa dipaksa untuk mengamankan kekuasaan, kekayaan dan semua aset orang tuanya dengan menggunakan jalan nepotisme atau menggunakan reputasi orang tuanya tadi sebagai pijakan untuk mempermulus jalan karier mereka atau membuka lebar pintu-pintu peluang lain. Intinya, anak-anak ini memyadari ada orang tua yang bisa mereka manfaatkan sebagai jalan memudahkan kehidupan mereka. Karena kenapa tidak?
Nepotisme gaya baru ini memang sangat berbeda dari gaya lama tetapi tetap saja sama karena intinya keduanya sama-sama mengeksploitasi nama keluarga, koneksi dan kekayaan. Arahnya bisa berbeda tapi hasilnya sama.
Versi Baru Lebih Bisa Ditolerir?
Bellow menulis bahwa menurut pengamatannya masyarakat Amerika Serikat bisa memaklumi nepotisme gaya baru ini dengan syarat si anak atau penerus memang memiliki kualifikasi atau hal-hal yang disyaratkan sebelum memangku jabatan atau posisi tertentu entah itu di organisasi bisnis keluarga atau birokrasi pemerintahan.
Namun, masyarakat AS tetap tidak bisa menolerir nepotisme gaya lama, saat si penerus sama sekali tak becus dan tidak punya kemampuan yang memadai untuk memangku tanggung jawab sebagai pemimpin di posisi strategis.
Uniknya perbedaan dasar hukum penolakan nepotisme di AS dan Indonesia juga cukup lama. Di AS penolakan nepotisme didasari oleh kemenangan gagasan ideal egalitarianisme (kesetaraan tanpa kecuali) yang kemudian tertuang di Konstitusi mereka dan Bill of Rights. Sementara itu, di Indonesia, dasar hukum penolakan nepotisme baru muncul di tahun 1999 dengan munculnya UU RI No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Mana yang lebih baik: nepotisme gaya lama atau baru? Menurut saya, kita harus telaah kasus per kasus dari kacamata moral dan etika. Tidak bisa kita overgeneralisasi. Jika sebuah praktik nepotisme bisa membawa sebuah masyarakat menjadi lebih maju (lihat saja kasus Singapura, nepotisme yang dilakukan alm. Lee Kuan Yew dan anaknya Lee Hsien Loong), tidak ada pihak yang haknya dicederai atau dicurangi, dan dilakukan sesuai aturan dan norma yang berlaku, mengapa tidak? (*/)
Yoga tidak cuma bisa dilakukan di studio atau gym. Yoga bisa juga dilakukan di kantor. Yoga di Kantor atau yang disebut dengan “Office Yoga” sebenarnya juga bukan barang baru. Sudah cukup lama perusahan-perusahaan dan organisasi memberikan ruang dan waktu untuk instruktur yoga masuk dan mengajar yoga di lingkungan kerja.
Saya sendiri sudah menjajal mengajar di perkantoran sejak tahun 2015. Dan mengajar di kantor-kantor begitu memang ada kelebihan dan kekurangannya sendiri jika dibandingkan mengajar di rumah untuk kelas privat, atau mengajar di kelas publik di studio yoga.
Saya tergerak menuliskan pengalaman saya mengajar yoga di perkantoran setelah menyimak kanal siniar Yogaland berjudul Demystifying Office Yoga with Maryam Sharifzadeh yang dipandu oleh Andrea Feretti.
Sebagai sesama instruktur yoga yang mengajar di perkantoran, saya mendapati ada beberapa aspek yang sama dan juga berbeda dalam pengalaman kami mengajar Office Yoga. Akan saya jelaskan lebih lanjut di tulisan ini.
Sebagai pengantar, Sharifzadeh sendiri mendirikan bisnis kecil yang ia namai “Office Yoga” di AS yang membidik perusahaan dan organisasi yang ingin mengadakan kelas yoga di kantor mereka. Ia dulunya perenang yang kemudian tertarik dengan yoga setelah ia mencoba yoga saat kuliah. Kini ia tetap berenang dan menekuni yoga.
Kemunculan kelas yoga di perkantoran menurut Sharifzadeh bisa dikaitkan dengan adanya pemikiran bahwa perusahaan haruslah memikirkan SDM yang ia punya. Jangan terlalu fokus ke laba, perhatikan juga manusia-manusia di dalam perusahaan itu sebab merekalah yang menggerakkan roda bisnis. Jika mereka sehat, maka bisnis pun akan sehat. Intinya demikian.
Saat Sharifzadeh mendirikan Office Yoga di tahun 2014, cara berpikir berbisnis secara etis seperti ini sudah mulai meluas di berbagai perusahaan AS.
Nah di Indonesia sendiri fenomena yang sama juga terjadi saat itu. Perusahaan-perusahaan dengan afiliasi mancanegara atau multinational companies mulai menyediakan beragam perks atau fasilitas khusus untuk karyawan di kantor.
Di tahun 2015, kebetulan saya sempat mengajar beberapa kelas yoga di kantor sebuah bank internasional di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan, kemudian menyusul di perusahaan periklanan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Lalu di perusahaan lain di sekitar Jl. HR Rasuna Said, perusahaan trading di Mega Kuningan, kantor perusahaan lain di TB Simatupang, dan sebagainya.
Selama pandemi 2020-2021, kelas online yoga khusus korporat juga masih santer. Saya pernah beberapa kali didaulat sejumlah perusahaan untuk mengisi wellness and mindfulness session mereka yang kala itu dianggap penting agar mencegah Covid-19 dan memelihara kesehatan fisik dan mental para karyawan yang masih harus bekerja di tengah kondisi yang kurang kondusif.
Menurut Sharifzadeh, Yoga Kantor belum pernah dibahas atau masuk dalam kurikulum yoga teacher training di sekolah-sekolah yoga internasional yang terdaftar di Yoga Alliance.
Hal yang sama juga saya temukan di Indonesia. Belum ada sekolah yoga yang secara khusus membahas Yoga Kantor ini dalam modul mereka. Dulu saya ikut teacher training tahun 2013-2014 juga belum ada pembahasan soal ini sama sekali.
Tantangan Pertama: Lingkungan Kantor
Tantangan perdana yang Sharifzadeh sebutkan ialah lingkungan fisik kantor yang biasanya tidak dirancang untuk melakukan yoga.
Ia menemukan banyak hal yang bisa mengganggu jalannya kelas yoga misalnya kondisi lantai yang keras atau tak rata, pencahayaan di ruangan kantor yang terlalu terang, atau bisa juga hiruk pikuk kantor yang mengganggu konsentrasi peserta kelas yoga.
Saya sendiri sepakat dengan pendapat Sharifzadeh ini sebab saya mengalami sulitnya menyiapkan atmosfer kelas yang ideal sebagaimana di studio atau rumah yang relatif lebih tenang dan leluasa.
Di kantor, saya sering harus berkompromi dengan peserta yoga yang untuk bersiap dan ganti pakaian saja mesti ke lantai lain, menggunakan kartu akses yang berbeda, lalu masuk kelas untuk menyiapkan matras dan memasang sound system/ pengeras suara dan pemutar lagu sebagai backsound.
Tantangan Kedua: Sekuen Kelas
Mayoritas para peserta yoga di kantor bukanlah asana junkies yang sudah pandai melakukan beragam asana dari yang sederhana sampai akrobatik.
Mereka biasanya pemula dalam hal yoga sehingga mengajar di kantor seharusnya juga disesuaikan. Penyederhanaan format dan konten sangatlah diperlukan.
Sekuen kelas juga tidak semestinya panjang dan kompleks. Malah seharusnya pilih saja sekuen simpel dan pendek tetapi efektif dalam mengatasi masalah nyata pada tubuh pekerja kantoran.
Dari pengalaman saya sendiri, kebanyakan peserta bukan pembelajar yoga yang serius. Tujuan mereka ikut biasanya karena ada insentif dari kantornya atau karena iseng ingin mencoba atau karena untuk mengatasi keluhan-keluhan badan atau otot yang pegal setelah bekerja seharian di depan laptop.
Dengan demikian, saya lebih memilih pose-pose yoga yang mudah tetapi efektif melepaskan ketegangan otot dan sendi serta teknik napas yang membantu mereka untuk melepas stres.
Sekuen kelas juga bukan yang bersifat Yang atau enerjik sebab biasanya waktu latihan adalah setelah jam kerja yang berarti waktu sudah beranjak petang ke malam hari. Saya pun memilih pose-pose yoga dan pranayama yang lembut dan tak menyedot banyak tenaga.
Tantangan Ketiga: Waktu Terbatas
Menurut Sharifzadeh, kelas Yoga Kantor di AS biasanya cuma 15-30 menit dalam sekali pertemuan. Bahkan 45 menit saja sudah terbilang lama. Sangat jarang yang durasinya sampai 60 menit sekali sesi.
Ini cukup berbeda dari Yoga Kantor di Indonesia yang menurut saya masih relatif panjang. Saya sendiri mengajar yoga di kantor minimal 60 menit jadi masih sama dengan durasi waktu mengajar di studio maupun gym. Dan ini masih di luar waktu untuk ganti pakaian, mengambil matras dan air minum, perkenalan, basa-basi karena menunggu jumlah peserta sampai agak lebih banyak, dan sebagainya.
Tantangan Keempat: Aspek Legal
Sebelum mengajar yoga di perkantoran menurut Sharifzadeh seorang instruktur yoga bakal diminta menyediakan sejumlah informasi dan bukti pendukung yang sah secara hukum mengenai kartu identitas, asuransi, sertifikasi sebagai pengajar yoga, dan detail lain.
Dari pengalaman saya sendiri, aspek satu ini tidak seketat itu di Indonesia. Setahu saya, saya hanya berurusan dengan PIC atau individu yang mengatur kelas yoga tersebut. Bisa jadi si PIC ini adalah staf Personalia/ HRD atau bisa juga tidak tapi sudah diberi kuasa oleh pihak HRD untuk menyelenggarakan kelas tersebut. Intinya, cuma word of mouth. Biasanya si PIC sudah pernah atau kenal dengan satu guru yoga yang kemudian diajak mengajar di kantor si PIC atau si guru yoga ini karena tidak bisa mengajar lalu merekomendasikan guru yoga lain yang masih ia kenal baik.
Tantangan Kelima: Pakaian
Tak bisa disangkal alasan paling banyak yang sering saya dengar saat seeorang menampik ajakan yoga di kantor adalah saat ia berkata tidak membawa pakaian ganti.
Saya sendiri saat mengajar tidak mengharuskan peserta masuk dengan pakaian yang sporty atau pakai legging atau celana pendek. Sebenarnya kalau pakaian kerjanya nyaman pun tak begitu masalah. Masih bisa ikut.
Karena itulah Sharifzadeh mengatakan ia menyarankan agar guru yoga di kantor mengajar dengan menggunakan busana jenis business casual alias santai tapi masih pantas untuk suasana formal dan tidak membuat orang merasa harus membawa pakaian tertentu hanya untuk ikut kelas yoga kantor. Artinya Anda tidak memakai hotpants atau legging ketat atau tanktop yang terlalu identik dengan studio yoga outdoor atau gym. Guru juga memakai pakaian yang masih pantas untuk suasana perkantoran apalagi jika ia lalu lalang.
Kalau saya, saat di lobi atau lift saya masih memakai pakaian formal tapi begitu saya mulai mengajar saya akan berganti dengan pakaian yang lebih nyaman untuk bergerak yakni kaos oblong dan celana jenis olahraga yang lebih longgar dan stretchy. Saya tak bisa mendemonstrasikan sejumlah pose dengan kemeja atau celana kain yang membatasi ruang gerak badan.
Dan jika memang banyak peserta memakai busana yang formal sehingga membuat ruang gerak badan terbatas, lakukan penyesuaian dengan memilih pose yoga yang tak mengharuskan peserta bergerak secara ekstrim.
Tantangan Keenam: Tujuan Kelas
Guru yoga sebelum masuk ke kelas yoga kantor juga harus paham bagaimana caranya mengaitkan tujuan dan isi kelasnya agar bisa relevan dengan kebutuhan dan kondisi para peserta yoga di kantor tersebut.
Dari pengalaman saya, kadang ada kelompok yang ingin memisahkan tujuan dan isi kelas yoga dari urusan kerja tapi jika Anda misalnya didault mengajar untuk event korporasi yang kebetulan dihadiri para petinggi perusahaan yang bersangkutan, mau tidak mau Anda harus berpikir agak keras untuk menemukan ‘benang merah’ agar yoga yang akan dilakukan bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh mereka.
Tantangan Ketujuh: Distraksi
Tak jarang peserta yoga di kantor masih harus berjibaku dengan berbagai urusan pekerjaan saat beryoga. Mereka membawa gawai masuk ke dalam kelas, bahkan memeriksa WhatsApp di tengah kelas. Pemandangan ini masih saya temui di kelas yoga kantor saya.
Apakah saya seharusnya memberlakukan larangan membawa gawai masuk ke kelas? Saya rasa saya tak bisa memaksa mereka sebab peserta ini adalah orang dewasa yang seharusnya sudah bisa membuat pilihan sendiri dan tahu konsekuensi pilihan yang mereka buat.
Tapi soal distraksi ini, Sharifzadeh menekankan bahwa dirinya mengimbau peserta untuk mengumpulkan gawai dan menjauhkannya dari peserta selama kelas berlangsung. Bisa dimaklumi sebab gawai bisa mengganggu konsentrasi dan membuat manfaat kelas menurun pula.
Tantangan Kedelapan: Tanpa Matras
Dari pengalaman Sharifzadeh, kelas yoga bisa dilakukan di kantor tanpa harus menggunakan matras. Ia bisa dilakukan dengan cukup menggunakan meja kerja dan kursi yang ada di kantor. jadi sekuen pose yoga yang ia lakukan juga disesuaikan.
Saya sendiri belum pernah menggunakan meja dan kursi kerja sebagai alat bantu atau props dalam melakukan yoga kantor. Itu karena kebanyakan PIC menghendaki kelas yoga yang diberikan sebisa mungkin memberikan feel seperti kelas yoga ‘seharusnya’, yakni kelas yoga di studio atau gym. Bukan kelas yoga yang masih ada ‘bau’ kantornya.
Namun, ini bisa dimaklumi sebab durasi kelas yoga Sharifzadeh memang lebih pendek. Pun budaya kerja mereka sangat kaku soal waktu.
Di Indonesia kelas mulainya molor, bisa dimaklumi karena sudah membudaya. Tapi di AS, molor sedikit saja, peserta akan langsung malas dan keluar kelas. Karena mereka masih harus melakukan pekerjaannya. Lain dengan kelas yoga kantor di Indonesia yang mayoritas dilakukan sehabis jam kerja sehingga lebih santai. Kalaupun ada yang lembur, biasanya malah langsung absen saja. Tak masuk ke kelas yoga.
Tantangan Kesembilan: Bahasa
Durasi yang pendek membuat bahasa yang digunakan selama kelas yoga kantor juga semestinya tidak terlalu bertele-tele bak di kelas yoga di studio/ gym. Demikian kata Sharifzadeh.
Kalau menurut saya, yoga kantor di Indonesia tidak begitu mempermasalahkan bahasa asal masih bisa dipahami dan jika memang ada kata dan istilah asing, harus disertai penjelasan singkat setelahnya. Jangan dibiarkan menggantung tak jelas. Atau sekalian saja guru yoga tak menggunakan istilah sansekerta dan menggunakan istilah bahasa Inggrisnya yang lebih mudah dipahami orang korporat.
Di Indonesia, pasar kelas yoga kantor ini masih relatif menggiurkan dan potensi ekonominya tidak bisa diremehkan oleh para guru yoga.
Namun, tentu saja Anda harus bertanya kepada diri sendiri: Siapkah Anda sebelum dan sesudah mengajar bergelut dengan kemacetan kota? Karena kantor-kantor ini biasanya ada di jantung kota besar yang sibuk dan hingar bingar. Sebuah suasana yang saya sebagai guru yoga tak betah untuk berlama-lama di dalamnya. (*/)
Kemarin siang saya bertemu dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pemandu tur. Ia baru saja kembali dari Georgia, Azerbaijan, dan Armenia. Ia mengeluhkan soal suhu panas di sana. Sampai 40 derajat celcius! Melepuh nggak tuh?
Kini ia kembali ke Indonesia dan melolong: “Aku kangen makanan Indonesia. Di sana makanannya hambar. Yuk nge-bakso!”
Sampailah kami di sebuah warung bakso yang baru buka hari itu. Literally, warung itu baru buka dan beroperasi hari itu.
Si pemilik mengundang saya sebagai reviewer atau endorser supaya bisnis kulinernya bisa dikenal orang. Untuk menghargai undangannya, saya datang sembari mengajak si teman pemandu tur ini juga sebab saya tahu ia lebih memenuhi kriteria foodie dibandingkan saya.
Ia punya kriteria makanan lezat dan sederet rekomendasi makanan enak tapi saya rasa saya tidak seperti dia. Kriteria makanan saya cuma sehat dan tak terlalu bikin lidah getir.
Kemudian kami pun duduk dan mengobrol. Kami membicarakan banyak hal. Dari ulah sejumlah tetangga yang aneh bin ajaib atau pengalaman jalan-jalan.
Di tengah-tengah percakapan kami, ia berhenti untuk melihat layar ponsel. Sebuah pesan WhatsApp menyita perhatiannya sejenak dan mukanya kembali menatap saya: “Ih ni mau ke New Zealand. Liat deh kelas tiketnya!”
Ia menunjukkan pada saya sederet e-ticket yang menunjukkan destinasi dan kelas bisnis yang mahal.
Karena ia juga mengantongi paspor orang-orang itu, ia tahu usia mereka semua.
“Gila, ini rombongan gue anak-anak muda tapi udah kaya raya tajir melintirrr,” tuturnya menjelaskan.
Saya skeptis. Apa iya yang kaya anak mudanya? Bukan orang tuanya?
Teman saya bertanya seolah menjadi Koes Hendratmo yang sedang melontarkan sebuah pertanyaan kuis: “Tebak mereka kaya dari apa?”
Saya bilang dengan gamang: “Tambang…? Aset ortu?”
“Judi online,” kata teman saya berbinar.
Saya pikir saya salah dengar tapi itu benar. Anak-anak muda umur 20-an yang sudah bisa menimbun aset sebanyak itu mana mungkin kaya dari menjadi pekerjaan sebagai intern atau pegawai perusahaan, budak korporat.
Masuk akal jika mereka bisa kaya cepat dengan berbisnis di sektor yang ‘panas’ dan bisa dikatakan haram. Tentu mereka bukan bagian dari kelompok relijius yang meyakini keharaman judi dan segala jenisnya itu. Judi itu sah-sah saja bagi mereka.
Saya sendiri merasa tak begitu kagum dengan kekayaan yang seabrek sebetulnya. Sebagian karena paham bahwa kekayaan BUKAN kunci kebahagiaan meski memang betul bahwa kekayaan membebaskan kita dari sebagian besar derita fisik. Kita bebas dari kelaparan, keterbatasan material, memiliki lebih banyak pilihan hidup. Tapi selain itu, hidup kita sama bermasalahnya dengan orang yang pas-pasan dan miskin.
Sebagian alasan lain ialah karena saya juga tahu bahwa dalam perspektif yang lebih luas, menumpuk kekayaan yang begitu ekstrim berarti ada kemungkinan kita menindas dan mengeksploitasi lebih banyak manusia dan alam. Karena agar kita bisa menjulang lebih tinggi, kita harus menginjak lebih banyak orang, bukan? Meski tentu ada pengecualian untuk itu. Tak semua orang kaya eksploitatif dan manipulatif – dan saya respek pada orang kaya yang tak eksploitatif dan manipulatif – tetapi faktanya banyak yang demikian.
Selain itu, saya juga merasa kurang nyaman dan resah dengan segala ketimpangan di dunia ini. Di satu sisi ada yang hidup begitu berkelimpahan misalnya keluarga Mukesh Ambani dan anak-anak muda ini. Ada juga yang hidup terlunta-lunta dan sangat menyedihkan misalnya orang-orang Palestina yang saat ini menjadi pengungsi. Kebutuhan paling dasar mereka saja (kebutuhan untuk dimanusiakan) tak terpenuhi. Sementara itu, secara tak adil Yahudi Israel membabi-buta melampiaskan luka batin mereka seabad lalu akibat Hitler kepada Palestina.
Tapi mungkin inilah cara Tuhan untuk membuka mata hati kita. Tuhan ingin kita tahu bahwa Tuhan bisa dengan sangat mudah membuat nasib manusia berbeda-beda dan kita tak bisa protes. Kita cuma bisa menjalaninya. Yang sedang punya nasib buruk, cuma bisa menanggung dengan sabar karena kalau mau menolak juga percuma. jiwa bakal lebih capek lagi. Untuk yang bernasib bagus, ingatlah bahwa ini cuma sementara. Bukan selama-lamanya. (*/)
Sekarang ini terkesan lebih mudah orang mendapatkan gelar akademik untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menggenjot karier, keuangan, peruntungan di dunia bisnis, politik, dan sebagainya.
Di kultur Asia sendiri, pendewaan gelar akademik masih sangat kental. Lain dari masyarakat Amerika Serikat yang menganggap orang putus kuliah dan bisa mendirikan startup sebagai indikator kesuksesan, masyarakat Asia pada umumnya mensyaratkan titel akademik sebagai syarat untuk bisa dianggap sukses.
Karena itulah, di Indonesia terjadi skandal guru besar yang berhasil dikuak Tempo baru-baru ini. Diketahui ada sejumlah oknum dosen di Universitas Lambung Mangkurat yang diduga merekayasa syarat permohonan guru besar dengan cara bekerja sama dengan tim penilai dan jurnal predator (jurnal yang memanfaatkan penulis dengan mengenakan tarif penayangan tanpa memberikan layanan tinjauan rekan sejawat atau editorial yang seharusnya). Dan Mendiknas Nadiem Makarim tak bisa berbuat apa-apa.
Namun, Anda tak perlu rendah diri karena fenomena rendahnya moralitas dan etika ini juga ditemukan di negeri jiran Singapura. Bedanya, kebobrokan moral itu tidak melanda kaum akademisinya tetapi kaum pebisnisnya.
Di Singapura, baru-baru ini tercatat sudah ada 4 kasus terkuaknya pemalsuan gelar akademik pendiri bisnis dan investor. Setidaknya ini yang terpantau oleh media Tech In Asia.
Yang terkini adalah kasus Anne Cheng yang dikenal sebagai pendiri Start Up Nation sejak awal 2010-an. Setelah sekian lama mengklaim mengantongi gelar Ph.D. dari Stanford University Amerika Serikat dan mati-matian membela diri bahwa dirinya lulusan sah dari universitas bergengsi itu, ia baru-baru ini mengaku pada jurnalis Tech In Asia bahwa titel Ph.D. itu tidak pernah ia miliki dan ia mengatakan dirinya melakukan kesalahan dalam menjelaskan credential pendidikannnya pada publik. Demikian ungkap editor-in-chief laman Tech In Asia dalam akun LinkedIn-nya. Cheng memang pernah mengikuti program di Stanford University tetapi ia lulus bukan dengan credential Ph.D.
Kontroversi semacam ini mengingatkan saya dengan kasus Wirda Mansur (anak ustadz Yusuf Mansur) yang menghebohkan publik karena mengklaim pernah kuliah di Oxford University. Sampai sekarang tak jelas jenis sertifikasi atau ijazah apa yang ia miliki dari Oxford University sehingga ia bisa mengklaim demikian.
Karena itulah, kita harus paham betul perbedaan jenis-jenis program pendidikan yang tersedia dalam dunia akademik masa kini agar tidak mudah tertipu oleh pihak-pihak yang mengklaim ia lulusan universitas tertentu dan memanfaatkan klaim itu untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Perbedaan Microcredentials, Diploma, dan Short Course
Microcredentials
Jenis pertama program pendidikan yang biasanya ditawarkan universitas ialah microcredentials. Seperti makna kata “micro“, program pembelajaran ini berlangsung relatif lebih singkat dibandingkan durasi kuliah reguler (4 tahun). Peserta bisa mendapatkan keterampilan dan kompetensi tertentu dalam waktu singkat. Jika ia ingin melamar pekerjaan tertentu, microcredentials bisa membantunya untuk menaikkan daya tawar di depan recruiters karena bisa mengukuhkan citra sebagai seorang spesialis.
Program microcredentials bersifat workshop/ pelatihan dan fokusnya cuma pada topik tertentu, berbeda dari program kuliah reguler yang mata kuliahnya memiliki variasi topik yang banyak. Tak heran lamanya tak sampai hitungan tahun. Contoh microcredentials ini ialah sertifikat digital marketing, data analytics, dan manajemen proyek.
Microcredentials ini makin populer dan digemari orang karena menawarkan fleksibilitas dalam mempelajari keterampilan baru yang pasti diserap pasar tenaga kerja. Microcredentials ini juga relevan dengan kebutuhan industri tertentu dan tren industri yang sedang berkembang. Misalnya AI.
Diploma
Diploma adalah program pendidikan yang lazimnya berlangsung lebih lama (biasanya 1 hingga 3 tahun) dan bobotnya lebih kompleks dari microcredentials karena kurikulumnya jauh lebih luas dan mendalam.
Jika microcredentials bisa diperoleh dengan paruh waktu, kuliah untuk mendapatkan diploma biasanya harus penuh waktu karena beban akademiknya lumayan berat.
Diploma banyak dipakai sebagai syarat pekerjaan di dunia kerja dan menjadi langkah awal untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) yang berlangsung 4 tahun.
Short Course
Lain dari dua jenis di atas, short course adalah program pelatihan singkat dengan fokus pada topik spesifik. Durasinya hanya beberapa minggu hingga bulan.
Tujuan short course ialah untuk membantu pesertanya dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan tambahan (komplementer) dalam waktu yang relatif singkat.
Contoh short course yang biasa kita temui ialah kursus bahasa asing, kursus pengembangan keterampilan profesional, dan pelatihan keterampilan menjahit.
Dengan mengetahui perbedaan fundamental ini, harapannya kita terutama jurnalis bisa melakukan background check yang lebih komprehensif terhadap sumber-sumber yang kita wawancarai agar tidak terjebak dalam klaim-klaim palsu sepihak.
Cara Cek Gelar Akademik Dalam Negeri
Untuk memastikan gelar akademik seseorang, kita dapat menempuh langkah-langkah berikut.
Cara pertama ialah dengan mengunjungi laman Forlap dan klik tombol “Pencarian Data” dan pilih “Profil Mahasiswa”. Jika sudah memasukkan nama perguruan tinggi dan program studi, jangan lupa pastikan PT dan prodi tersebut sudah terdaftar di Dikti. Jika ia mahasiswa dan alumni PT tersebut, namanya ada di sana.
Cara kedua ialah dengan mengunjungi laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) di sini. Masukkan nama lengkap dan NIDN/NIDK dosen atau mahasiswa dan seharusnya muncul nama orang yang bersangkutan di database. Cek juga gelar-gelar akademik yang tertera di database tadi. Pastikan sesuai tidaknya dengan klaim yang diajukan pada Anda/ publik.
Cara Cek Gelar Akademik Luar Negeri
Untuk memeriksa gelar akademik di kampus luar negeri, berikut beberapa langkah yang dapat kita lakukan.
Yang pertama ialah dengan menggunakan Layanan Evaluasi Kredensial seperti World Education Services (WES) dan International Qualifications Assessment Service (IQAS) di Amerika Utara serta Higher Education Degree Datacheck di Inggris memiliki basis data yang luas untuk memeriksa validitas gelar dan tingkat pendidikan yang diwakilinya.
ADAKAH di kantor Anda, anak muda yang masih lajang dan rajin berolahraga apapun itu jenisnya (dari ngegym, marathon, yoga, atau pilates) dan memiliki setidaknya satu hewan peliharaan di rumah atau kosnya, terutama kucing? Atau jangan-jangan itu Anda sendiri?
Generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z dan Millennials, sedang mengalami pergeseran gaya hidup yang signifikan. Pergeseran ini mencakup penurunan minat untuk menikah di usia muda di area perkotaan, meningkatnya antusiasme terhadap olahraga, dan kecenderungan untuk memelihara hewan peliharaan yang berupa kucing, anjing atau ikan.
Fenomena ini sudah mulai terlihat sebelum pandemi COVID-19, namun semakin menguat selama masa isolasi dan terus berlanjut hingga saat ini. Mari kita telaah lebih dalam mengapa hal ini terjadi dan bagaimana ketiga aspek ini – melajang, berolahraga, dan memelihara hewan – semakin menjadi pilihan populer di kalangan anak muda.
Tumbuh Tapi Timpang
Sejak tahun 2007, Indonesia mengalami peningkatan jumlah pernikahan yang stabil. Namun, tren ini mulai berubah pada tahun 2012, yang menandai awal penurunan angka pernikahan secara berturut-turut. Meskipun ada sedikit kenaikan pada tahun 2017 dan 2018, jumlah pernikahan kembali menurun dari 2019 hingga 2023.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikompilasi oleh Kompas.com menunjukkan fluktuasi ini dengan jelas. Pada periode 2007-2011, terjadi peningkatan konsisten dari 1.944.569 menjadi 2.319.821 pernikahan. Kemudian terjadi penurunan di periode 2012-2016, dari 2.289.648 menjadi 1.837.185. Meskipun ada sedikit kenaikan pada 2017-2018 (dari 1.936.934 ke 2.016.171), tren penurunan kembali terjadi pada 2019-2023, dengan angka terendah 1.577.255 pada tahun 2023 – yang merupakan rekor terendah dalam 17 tahun terakhir.
Banyak yang beranggapan bahwa keengganan para pemuda untuk menikah disebabkan oleh kondisi ekonomi yang semakin sulit. Mencari pekerjaan dengan gaji yang layak dirasa semakin menantang, dan biaya hidup yang tinggi sering dikutip sebagai faktor utama yang menghambat pernikahan.
Namun, benarkah kondisi ekonomi Indonesia memang mengalami penurunan? Data menunjukkan sebaliknya. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas rata-rata global. Data PDB per kapita Indonesia sejak 2010 menunjukkan tren peningkatan, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2015. Menurut ceicdata.com, PDB per kapita Indonesia mencapai 4.783,269 USD pada tahun 2022, lebih tinggi dari 4.350,683 USD pada tahun 2021.
Jika ekonomi terus tumbuh, mengapa anak-anak muda merasa semakin sulit untuk memenuhi biaya hidup dan menikah? Jawabannya terletak pada kesenjangan ekonomi yang masih tinggi. Data dari World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% dari total kekayaan rumah tangga nasional, sementara 10% penduduk lainnya menguasai sekitar 60% kekayaan. Kondisi ini telah berlangsung selama dua dekade terakhir, sejak tahun 2001.
Dengan kata lain, meskipun ekonomi Indonesia tumbuh, pertumbuhan ini belum merata dan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Kesenjangan ekonomi yang tinggi ini juga mendorong keluarga-keluarga baru untuk membatasi jumlah anak. Banyak pasangan muda kini memilih untuk memiliki dua anak saja, bahkan ada yang merasa cukup dengan satu anak. Yang lebih ekstrem, beberapa pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak sama sekali (child-free), sebuah pilihan yang masih kontroversial dalam masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif.
Obsesi Awet Muda
Tanpa membentuk keluarga baru, banyak anak muda lajang kini memilih untuk mengisi waktu luang mereka dengan berolahraga. Mereka menginvestasikan energi, uang, dan waktu mereka untuk meningkatkan performa fisik. Meskipun ada sebagian Gen Z dan Millennials yang kurang memperhatikan kesehatan mereka dan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes dini, stroke, dan GERD, banyak juga yang semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental.
Terutama di kalangan Gen Z dan Millennials yang memiliki kemampuan finansial yang cukup dan tinggal di daerah perkotaan, tren berolahraga ini semakin populer. Mereka memanfaatkan berbagai fasilitas olahraga seperti pusat kebugaran, studio yoga dan pilates, serta mengonsumsi makanan tinggi protein dan suplemen kebugaran.
Selain kesadaran akan kesehatan, keinginan untuk tampil awet muda juga menjadi motivasi kuat. Banyak anak muda terinspirasi oleh selebritas lokal dan internasional yang masih terlihat bugar dan awet muda meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Setiap kali selebritas senior tampil, media sosial dipenuhi diskusi tentang rahasia perawatan kulit dan gaya hidup mereka, menunjukkan obsesi anak muda terhadap penampilan prima bahkan hingga usia lanjut.
Ada juga anak-anak muda yang tertarik pada olahraga ekstrem seperti maraton, diving, Ironman, atau CrossFit. Mereka mengejar kepuasan pencapaian pribadi dan menikmati citra ‘keras’ dan ‘macho’ yang melekat pada olahraga-olahraga ini, meskipun biaya untuk peralatan dan perlengkapannya cukup mahal.
Kucing, Substitusi Bayi
Selain berolahraga, tren lain yang semakin populer di kalangan anak muda lajang adalah memelihara hewan, terutama kucing. Fenomena ini bisa dilihat sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah kesepian yang sering dihadapi oleh mereka yang hidup sendiri.
Tidak hanya anak muda lajang, orang tua atau lansia yang anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal terpisah juga mengalami kesepian serupa. Mereka sering kali memilih untuk melimpahkan kasih sayang mereka pada hewan peliharaan sebagai pengganti sementara ketika jauh dari anak-anak mereka.
‘Epidemi’ kesepian ini semakin parah selama puncak pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2021, yang mendorong lebih banyak orang untuk memelihara hewan sebagai cara mengatasi isolasi dari keluarga dan teman-teman.
Data dari Kompas.com menunjukkan bahwa kepemilikan kucing sebagai hewan peliharaan di Indonesia memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut survei yang dilakukan oleh Rakuten Insight pada Januari 2022 terhadap 10.442 responden, kucing menjadi hewan peliharaan paling populer di Indonesia (47%), diikuti oleh ikan (22%), burung (18%), dan anjing (10%).
Kecenderungan untuk memilih memelihara hewan daripada memiliki anak bisa dipahami mengingat perbedaan biaya yang signifikan. Biaya melahirkan dan membesarkan anak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya memelihara hewan.
Sebagai ilustrasi, biaya persalinan normal pada tahun 2024 berkisar antara Rp4 juta hingga Rp20 juta, sementara untuk prosedur caesar bisa mencapai Rp30-70 juta. Biaya pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, bahkan untuk sekolah dengan biaya paling murah, bisa mencapai Rp200 juta. Untuk sekolah dengan kualitas lebih baik seperti sekolah internasional, biayanya bisa mencapai miliaran rupiah.
Perlu diingat bahwa angka-angka tersebut belum termasuk pengeluaran untuk makanan, pakaian, perlengkapan sekolah, transportasi, hiburan, dan perawatan kesehatan. Dibandingkan dengan biaya memelihara hewan peliharaan, biaya memiliki anak jauh lebih tinggi.
Fenomena-fenomena ini mencerminkan perubahan prioritas dan gaya hidup di kalangan generasi muda Indonesia. Mereka cenderung menunda atau menghindari pernikahan dan memiliki anak, sambil mencari alternatif untuk mengisi waktu dan memenuhi kebutuhan emosional mereka melalui olahraga dan memelihara hewan.
Meskipun tren ini semakin umum, penting untuk diingat bahwa pengalaman ini mungkin lebih relevan bagi anak muda perkotaan yang memiliki akses ke fasilitas olahraga dan kemampuan finansial yang cukup. Kesenjangan ekonomi yang masih tinggi di Indonesia membuat pengalaman dan pilihan hidup berbeda-beda di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Perubahan sosial dan ekonomi ini tentu berdampak signifikan pada dinamika masyarakat Indonesia. Penurunan angka pernikahan dan kelahiran dalam jangka panjang dapat mempengaruhi struktur demografi dan ekonomi negara. Di sisi lain, meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan kebugaran dapat berdampak positif pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah harus merespons perubahan ini. Apakah diperlukan kebijakan khusus untuk mendorong pernikahan dan kelahiran? Atau haruskah fokus diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan generasi muda? (*/)
Saya memiliki sebuah kelas yoga yang secara rutin saya ajar secara daring/ remote tiap akhir pekan. Kelas ini sudah terbentuk sejak pandemi 2020 lalu secara organik. Mulanya saya mengajar satu orang lalu ia mengajak teman-temannya yang juga mencandu yoga.
Grup yoga satu ini terbilang konstan dan konsisten dalam berlatih. Itu karena si pentolan grupnya memang punya sifat konsisten. Jadi yang lain juga turut terpacu. Biasanya kalau si pentolan mengalami perlemahan semangat, grupnya akan bubar sendiri. Untungnya di sini tidak. Sebagai guru, saya sesungguhnya terbantu dengan adanya si pentolan ini sebab sebagai guru saya tak bisa memaksa murid untuk berlatih. Ia harus mau dari dalam. Tidak ada perasaan terpaksa.
Uniknya, lokasi kami tersebar di sejumlah negara. Si pentolan, sebut saja A, ini sebetulnya berdomisili di tanah air tapi kebetulan sedang berlibur di salah satu negara Eropa sana untuk mengunjungi mertuanya. Lalu seorang lainnya, B, baru saja pindah negara setelah sebelumnya bekerja di Jakarta. Dan satu orang lainnya, C, berdomisili di Amerika Serikat sana.
Untuk bisa menentukan jam latihan yoga, kami cukup pusing dalam berkompromi. Harus ada yang berkorban. Entah itu jamnya di zona waktu mereka terlalu pagi atau terlalu malam sedikit.
Benar saja. Kami akhirnya menetapkan waktu latihan yang agak kurang ideal sebetulnya. Di Eropa masih pukul 6 pagi. Lalu di Jakarta sudah pukul 10 pagi. Di Sydney sudah pukul 1 siang. Di San Fransisco sudah pukul 8 malam.
Singkat cerita kami kemarin pagi entah kenapa sehabis yoga, tidak langsung menutup laptop. Itu karena kami juga ingin mengucapkan belasungkawa untuk A yang kehilangan papa mertuanya.
Ia membeberkan betapa repotnya mengurus kematian di Bulgaria, yang notabene termasuk negara dunia pertama sebab secara de facto dan de jure Bulgaria masuk Uni Eropa.
Saya menyimak penjelasan dan keluhannya. A mengatakan administrasi dan birokrasi Bulgaria juga sama ribetnya dengan Indonesia. Petugas-petugasnya tak teliti dan seenaknya mencatat papa mertuanya sudah bercerai dari mamanya. Kekeliruan pencatatan sipil ini baru diketahui saat pihak keluarga ke kantor pemerintah setempat. Tentu saja dikatakan sudah bercerai padahal tak ada bukti dokumen resminya, mama mertua A mencak-mencak protes ke petugas catatan sipil yang dianggap tidak teliti.
Upaya pembetulan tak berjalan mulus sebab ternyata Bulgarian masuk puncak liburan musim panas. Dan di sana warga beramai-ramai ke pantai termasuk para PNS-nya. Termasuk para pegawai di kantor catatan sipil tersebut.
Kontan A makin jengkel karena kelancaran pengurusan kematian papa mertuanya menjadi tertunda padahal idealnya begitu seorang warga meninggal, harus segera diurus surat kematiannya untuk menutup rekening bank dan mengurusan nomor telepon landline yang dibuat atas nama si orang yang bersangkutan agar tidak ditutup negara. Mirip rasanya dengan kejengkelan saat petugas dukcapil sedang cuti haji di sini dan tidak ada petugas lain yang menggantikan/ menjadi cadangan. Sangat mengesalkan.
Kemudian saya juga menyimak keluhan B yang sedang kedinginan karena di Australia sedang mencapai puncak musim dingin. Ini berkebalikan dari Bulgaria yang sedang panas-panasnya. Saking dinginnya, B terus mengenakan hoodie meski beryoga di dalam ruangan. Dan tetap tak berkeringat. Ia mengenang hangatnya Jakarta dan enaknya berpakaian tipis meski Jakarta sedang ‘dingin-dinginnya’…..
Seorang anak muda di TikTok mengeluhkan sulitnya mencari kerja. Di usianya yang ‘sudah’ di pertengahan 20-an, ia mengatakan sekarang makin lama waktu yang dihabiskan untuk mencari kerja. Ia menunjukkan ratusan atau mungkin puluhan email lamaran kerja yang ia kirimkan.
Saya pikir ia menganggur 1-2 tahun. Eh di akhir video dia berkata: “Akhirnya punya kerjaan lagi setelah 3,5 bulan nganggur…”
Tampaknya ia membuat video TikTok tadi untuk memberi semangat pada anak muda lainnya yang masih menunggu kesempatan kerja bahwa kesempatan dan harapan itu masih ada, asal kita masih berusaha. Di kolom komentar, ia merespon para komentator dengan kata-kata yang membesarkan hati.
Saya pun mengapresiasi konten itu. Setidaknya ia tak menyebut besaran kompensasi gaji yang ia dapatkan di pekerjaan barunya, yang bisa berpotensi memicu kecemburuan dan mendorong orang tak puas dengan pekerjaan yang mereka miliki sekarang. Karena sering orang lupa dengan niat awal yang cuma memotivasi, eh lama-lama kok jadi ajang pamer pencapaian diri. Akhirnya malah ‘dirujak’ warganet.
Tanpa bermaksud mengecilkan besarnya penderitaan anak-anak muda Gen Z akibat kesulitan mencari kerja di tengah resesi ekonomi seperti saat ini, saya juga menemukan kelompok lain yang tak kalah menderitanya: pencari kerja kelompok menengah usia 40-an.
Kebetulan pagi ini saya menonton sebuah konten YouTube yang membahas soal fenomena “Chillean Paradox” yang merujuk pada fenomena di salah satu negara Amerika Selatan, Chile.
Di sana, pertumbuhan ekonominya relatif tinggi dan stabilitas makroekonomi membaik. Sayangnya semua pencapaian positif di atas kertas itu juga dibarengi dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang makin nyata di pelupuk mata. Ternyata di lapangan, meskipun Chile mengalami kemajuan ekonomi pesat sejak era 1970-an, perbedaan antara kaya dan miskin tetap mencolok.
Faktor-faktor penyebab paradoks ini tak cuma satu. Setidaknya ada 4 faktor yang berperan dalam terjadinya Chillean Paradox ini, yakni kebijakan ekonomi neoliberalisme yang menciptakan kesenjangan akses terhadap sumber daya, pasar tenaga kerja yang kurang memberikan perlindungan memadai bagi pekerja, sistem pendidikan yang bergantung pada kemampuan finansial dan membatasi mobilitas sosial, dan struktur pajak yang cenderung regresif.
Dampak paradoks ini adalah terjadinya ketidakstabilan sosial, kesenjangan kesehatan dan kesejahteraan, terhambatnya peluang ekonomi, serta menurunnya kepercayaan terhadap institusi.
Indonesia menurut laman moneynesia.com juga berpotensi mengalami paradoks serupa jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan distribusi kesejahteraan.
Chilean Paradox menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Diperlukan kebijakan yang berfokus pada redistribusi kekayaan dan peningkatan akses terhadap layanan dasar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Sebuah komentar di bawah video YouTube yang saya saksikan itu menarik perhatian saya karena sungguh mencerminkan nestapa kelompok ekonomi dan usia menengah (middle class, middle age) di negara kita.
Di Indonesia saat ini, tak cuma orang-orang yang berada di kelompok ekonomi menengah alias middle class yang menderita sebab diperlakukan sebagai ‘sapi perah’ dan ‘lokomotif’ penggerak ekonomi bangsa di tengah kelesuan ekonomi dan kondisi geopolitik dunia yang jauh dari kata stabil.
Mereka yang berada di rentang middle age alias paruh baya atau umur 40-an juga kena dampak parah karena sebagian dari mereka kena layoff tapi mereka juga menghadapi tantangan lebih besar untuk masuk kembali ke dunia kerja karena adanya diskriminasi usia dan kecenderungan para pemberi kerja untuk merekrut anak-anak muda lajang usia 20-an saja yang gajinya lebih rendah. Mungkin sebagai junior officer/ staff berstatus pegawai kontrak atau bahkan intern bergaji mepet UMR.
Yang mau lebih efisien lagi bahkan tak mau lagi merekrut manusia dari berbagai rentang usia. Cukup sisihkan anggaran untuk pakai layanan AI berbayar atau menyewa freelancers/ pekerja lepas berpengalaman untuk menghemat pengeluaran bisnis.
Bisa dikatakan susah untuk bersikap optimistis saat ini dengan melihat semua kondisi ini. Dan untuk membangkitkan optimisme itu, cobalah membaca kutipan berikut ini:
“Tanpa kerja, semua hidup membusuk. Tapi ketika kerja tanpa jiwa, hidup tercekik dan mati.” – Albert Camus
Kemarin sebuah buku berjudul Ghostwriting and the Ethics of Authenticity dari John C. Knapp dan Azalea M. Hulbert terbitan Palgrave Macmillan tahun 2017 menarik perhatian saya. Buku itu memang bukan genre fiksi tetapi toh benak saya diseret oleh buku ini ke masa lalu.
Di dalam bagian pembukanya, penulis memberikan batasan soal apa yang bisa disebut sebagai ghostwriting dan tidak. Menurut Knapp dan Hulbert, ghostwriting ialah proses penyusunan sebuah tulisan yang dilakukan oleh seseorang (si penulis) yang kemudian digunakan untuk orang lain (si klien) yang akan mendapatkan sebutan/ pengakuan sebagai penulis, dan di sini kedua belah pihak tersebut sepakat bahwa peran si penulis dirahasiakan dari pihak-pihak lain. Dari sanalah bisa dipahami mengapa istilah “ghost” (di sini diterjemahkan sebagai “bayangan”, bukan “hantu”) dipakai. Jika bisa dilihat, lalu mengapa harus disebut “ghost”?
Lalu bagaimana membedakan tulisan hasil ghostwriting dari yang tidak?
Pertama, tulisan ghostwriting bukan plagiarisme (pencurian gagasan dan mengakui gagasan orang lain sebagai hasil kerja seseorang). Ghostwriting mengharuskan adanya kesepakatan di awal sebelum bekerja antara pihak penulis dan klien.
Kedua, tulisan hasil ghostwriting juga bukan hasil proses penyuntingan dan revisi biasa sebagaimana yang dikerjakan editor pada naskah seorang penulis di bisnis penerbitan.
Ketiga, sebuah tulisan ghostwriting tidak mencantumkan secara terang-terangan nama ghostwriter-nya di sampul atau bagian manapun di buku.
Terakhir, tulisan hasil ghostwriting juga tak boleh mengandung penyebutan nama sang ghostwriter sesamar apapun.
Di situlah saya berpikir: “Wow, saya ternyata ghostwriter!”
Aneh memang pola induktif yang saya jalani ini. Saya menjalani detail-detailnya dulu baru bisa menemukan teori-teori di balik praktik yang saya lakukan. Seolah saya ingin berteriak setelah membaca buku ini: “Oh kemarin itu yang saya kerjakan itu job description-nya ghostwriter toh!”
Setelah saya ingat lagi, ternyata saya punya 3 episode pengalaman bekerja sebagai ghostwriter selama karier 14 tahun saya di industri media baru ini. Memang belum sehebat Tom Lembong yang jadi ghostwriter bayangan presiden tapi setidaknya ada juga banyak pengalaman yang bisa saya kemukakan di sini.
Ghostwriter Twitter
Kalau saya ingat lagi, awal karier korporat saya adalah content writer untuk sebuah website di tahun 2010. Sudah lama memang. Maklum saya pekerja angkatan Geriatric Millennial (Millennial ‘Tua’, haha).
Saat itu ramai berseliweran artikel-artikel yang membahas soal karakter pekerja Millennial yang mendewakan pekerjaan yang sesuai dengan passion mereka.
Saya sendiri merasa stigma itu cocok untuk kasus karier saya. Saya termasuk orang yang kuliah dan bekerja di jalur yang relatif selaras. Tidak melenceng jauh. Jadi bisa dikatakan saya cukup beruntung karena ilmu selama kuliah banyak yang terpakai bahkan menjadi core skills yang berguna saat saya bekerja sebagai kaum profesional.
Namun, seiring perkembangan dan dinamika di tempat kerja, tim saya dituntut untuk bisa mendatangkan pembaca ke website kami dan cara yang kami bisa lakukan secara murah hampir tanpa biaya adalah rajin update di akun Twitter yang saat itu masih sesuatu yang keren dan canggih. Semua orang keranjingan Twitter. Apalagi kalau tweet mereka punya label “Twitter for Blackberry” atau “Twitter for iPhone”, duh rasanya si pemilik akun seolah-olah sudah bertengger di strata atas masyarakat ibukota. Saya tidak berlebihan sebab era itu memang era keemasannya perangkat Blackberry. Pokoknya para pemilik perangkat Android cuma bisa gigit jari dan dianggap warganet jelata saja.
Akun Twitter kami memang sudah menghasilkan banyak pengikut dan traffic ke website saat itu. Tapi namanya manajer, kurang afdol jika tidak memberikan target yang menantang bawahan tentu saja agar tidak dicap atasan gampangan.
Tim saya pun didesak untuk terus menarik traffic yang lebih tinggi lagi, lagi, dan lagi. Di titik tersebut, saya punya ide gila: “Bagaimana jika kita pakai foto founder dan owner perusahaan ini sebagai persona untuk akun Twitter kita ini?”
Kebetulan pendiri dan pemilik perusahaan tempat saya bekerja adalah sosok yang dikenal masyarakat luas. Ia juga tak segan membagikan pandangan dan pemikirannya soal isu-isu yang menurutnya penting bagi kebaikan masyarakat Indonesia secara umum.
Kami bereksperimen lalu meminta restu sang owner dan jadilah kami (tim tempat saya bekerja di dalamnya) menggunakan foto wajahnya sebagai avatar Twitter akun yang tim kami kelola.
Benar saja, ide saya sangat jitu menarik traffic. Secara naluriah, manusia memang lebih tertarik dan percaya tweet seorang pengusaha sukses daripada akun Twitter dengan logo website yang tak jelas (obscure).
Saat itu belum ada ide verified account berbayar jadi tim kami harus bekerja keras tiap hari membangun kredibilitas agar orang tahu ini benar-benar si pengusaha tenar yang menge-tweet setiap hari.
Karena ide untuk menggunakan persona owner perusahaan itu datang dari saya, saya pun ‘tertimpa’ tanggung jawab sebagai pengelola akun alias administrator akun Twitter tersebut. Saya cuma bisa menjalankan amanat dengan sebaik mungkin meski jujur saya juga saat itu buta sama sekali dan tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan yang relevan sebelum memikul tanggung jawab. Pokoknya ‘learning by doing‘, meraba-raba, bereksperimen.
Dan dari situlah saya berinisiatif untuk membekali diri dengan soft skills bermedia sosial yang saya kebetulan bisa dapatkan di training yang diadakan oleh Virtual Academy tahun 2013 kalau tak salah. Saat itu juga saya bisa belajar pertama kalinya dengan alm. Nukman Luthfie dan Iim Fahima Jahja yang saat itu dikenal vokal soal hal-hal berbau digital.
Mulailah saya mencicipi rasanya menjadi penulis bayangan alias ghostwriter untuk akun Twitter ini dengan sebaik mungkin meski profesi ini tak terpikirkan untuk saya lakoni sebelum saya masuk tempat kerja ini.
Apa yang saya kerjakan sebagai ghostwriter di balik akun Twitter persona founder ini?
Tujuan besarnya adalah untuk memudahkan upaya kehumasan perusahaan tempat saya bekerja sebenarnya karena saat itu media sosial baru muncul sebagai kanal komunikasi baru yang menjadi bahan eksperimen masyarakat kita dalam banyak hal, termasuk para pelaku industri media dan kehumasan (public relations) serta bisnis media baru (online).
Saya beserta tim menjabarkannya dalam sejumlah strategi dan key performance index (KPI) yang terukur dan konkret. Tentu saja jumlah followers adalah salah satu indikator KPI yang utama (bahkan hingga kini).
Selain membuat tweet harian mengenai artikel berita terbaru yang menarik soal banyak isu, saya sendiri mengusulkan penggunaan kuis dan kultwit (‘kuliah’ dalam bentuk serangkaian tweet dengan tema edukatif dan insightful, yang sekarang populer disebut thread/ utas).
Saya mengatur penyelenggaraan kuis-kuis dengan materi soal detail perjalanan karier sang founder yang memang saat itu sudah menerbitkan buku. Jadi selain saya bisa meningkatkan engagement di akun Twitter tersebut, saya juga bisa memberikan nilai tambah bagi pengikut akun dan meraih pengikut baru sekaligus membangun impresi dan reputasi positif perusahaan dan sang founder di dunia maya, plus membangkitkan keingintahuan pengikut agar mau membeli buku si founder. Begitu argumentasi yang saya bangun untuk bisa menjustifikasi ide saya ini di depan manajer, dan ia merestui. Sounds good, katanya singkat.
Dan untuk menjadi ghostwriter si founder ini, saya punya keleluasaan untuk bertemu dan berkomunikasi dengannya untuk brainstorming ide-ide konten atau tweet. Pun jika ia memiliki pesan penting untuk disampaikan kepada para pengikut, saya mengemasnya sedemikian rupa agar bisa sesuai dengan platform Twitter yang kala itu cuma bisa menampung 144 karakter. Tak bisa panjang lebar padahal si founder ini Silent Generation yang terbiasa dengan komunikasi tatap muka.
Jika sang founder ada acara atau event offline yang bisa dijadikan materi konten atau publikasi yang memberikan sentimen positif bagi perusahaan, saya pun menghadiri sekaligus merangkai kata-kata sebagai tweet, sekaligus merekam atau mengabadikan momen tadi lalu mengunggahnya ke Twitter segera.
Bentuk singkatnya saya unggah di Twitter lalu detailnya saya suguhkan dalam bentuk artikel panjang dengan sudut pandang orang pertama sang founder di website sehingga dua-duanya makin menarik pembaca dari waktu ke waktu.
Saat ini akun tersebut masih ada namun terbengkalai begitu saja sebab sang founder yang saya maksud sudah meninggal dunia karena usia senja. RIP…
Ghostwriter Buku
Setelah pekerjaan sebagai ghostwriter di perusahaan tersebut berakhir, saya pun meniti episode perjalanan karier selanjutnya yang ternyata tak kalah mengasyikkan: menjadi ghostwriter untuk sebuah buku.
Seorang kenalan saya yang memiliki jejaring luas di industri perbukuan kebetulan mengajak untuk menjadi penyunting sekaligus ghostwriter untuk seorang ibu yang memiliki minta besar pada spesies hewan lokal yang ingin mendapatkan pengakuan secara internasional. Untuk itu, sebuah buku dalam bahasa Inggris mesti dibuat dan disebarluaskan sebagai bukti eksistensi spesies hewan lokal ini di area yang dimaksud bagi instansi Eropa yang berwenang memberikan pengakuan tadi.
Saya bekerja merampungkan proyek buku ini bersama dengan sang pemilik ide dan 2 orang lain yang menjadi anggota tim penerbitan buku ini.
Dalam kurun waktu 3-4 bulan, kami mengerjakan semuanya dari pengerjaan draft pertama, penyuntingan draft, wawancara narasumber-narasumber penting, transkripsi, fact checking, proofreading, hingga tahap finalisasi naskah.
Di sini, saya banyak bekerja menyusun draft pertama dengan menggunakan kerangka ide buku yang telah diberikan sebagai pedoman. Dengan kata lain, tugas saya mengembangkan ide-ide utama dalam buku menjadi serangkaian paragraf dan ternyata proses ini sangat menguras energi intektual sebab saya sangat asing dari topik yang dibahas dalam buku.
Saya masih ingat berhari-hari mencoba menuliskan sesuatu dengan dikelilingi buku di perpustakaan umum, sembari merasa putus asa karena draft mentah dari saya sudah ditunggu oleh tim tapi saya tak kunjung mengirim karena merasa stuck. Istilah kerennya sedang kena writer’s block. Saya merasa: “Apa lagi yang bisa diceritakan soal ini? Nggak ada. Gimana donggg??”
Tapi tentu saya tak bisa menyerah begitu saja, saya mencoba memeras kreativitas dengan melihat bagaimana buku-buku sejenis membahas topik mereka dengan apik dan menarik. Saya juga lupa bahwa saat itu saya sedang bekerja sendiri dengan otak saya yang terbatas, begitu draft ini diserahkan, pasti bakal ada tambahan, masukan, revisi, dan pengayaan dari pihak lain di tim. Tak harus langsung sempurna, gumam saya ke otak ini. Jadi seharusnya saya tidak berpikiran bahwa beban itu semua ada di pundak saya saat itu juga. Saya bekerja dalam tim, bukan secara solo. Begitu saya mengubah sudut pandang itu, saya merasa bisa lebih leluasa menulis. Fiuh!
Dari draft pertama yang payah, kami terus memoles, menambal ‘lubang-lubang’ ide dengan informasi dan ide lain agar terlihat mulus dan enak dibaca, memeriksa dan menyulam untaian gagasan menjadi satu ‘kalung’ yang utuh.
Singkat cerita, buku itu pun berhasil dicetak dan dipamerkan di sebuah event pameran buku dan diajukan ke badan yang dimaksud. Lega rasanya!
Speechwriter Bayangan
Di kemudian hari, saya dihubungi oleh seorang mantan teman kerja. Tanyanya pada saya: “Kamu bisa kan membuat naskah pidato dalam bahasa Inggris?”
Sebelumnya memang kami bekerja dalam satu tim pemasaran yang sama dan saya bekerja sebagai senior copywriter di dalamnya.
Saya jawab ya. Saya sebelumnya pernah mengarang sejumlah artikel dengan menggunakan sudut pandang orang pertama untuk mewakili founder perusahaan, lalu ada juga kata beberapa sambutan pimpinan dalam newsletter semesteran yang saya juga buat untuk organisasi tempat saya bekerja lainnya, sehingga saya cukup percaya diri dengan pengalaman dan keterampilan menulis di genre seperti itu.
Langkah pertama begitu mendapatkan lead seperti ini ialah memberikan rate card yang bisa menggambarkan dengan jelas tarif dan jenis jasa apa saja yang saya tawarkan sebagai ghostwriter. Jadi ‘no tipu-tipu’ di sini. Jangan ada ketentuan atau informasi yang disembunyikan atau baru disampaikan di tengah atau akhir proses pengerjaan naskah.
Usut punya usut, saya duga keras klien saya yang kenalan mantan teman kerja ini adalah anggota tim PR dari seorang pucuk pimpinan (CEO) perusahaan dan ia diberi tugas menyusun draft pidato untuk sebuah event gathering perusahaan yang mengundang agen-agen dengan tujuan mengapresiasi kerja keras mereka.
Dari tujuan event tersebut, saya pun mencoba untuk menyusun draft pidato yang bisa menyampaikan pesan penting sang CEO. Tak lupa agar isi pidator makin meyakinkan, saya juga memberikan pertanyaan-pertanyaan penting dan fundamental sebagaimana dalam jurnalistik: 5W dan 1H. Siapa yang hadir agar saya bisa menerka ragam bahasa yang tepat, alasan mengapa event itu diadakan, kapan dan di mana event itu diadakan, apa yang akan dilakukan di event tersebut, dan bagaimana si CEO/ perusahaan akan merealisasikan janjinya terhadap agen-agennya?
Juga saya tak lupa menanyakan data dan angka penting pada klien, misalnya data terbaru capaian penjualan agen-agen terbaik yang hendak diberi penghargaan. Jika memang patut disebut, menurut saya harus disebut karena orang selalu terkesima dengan angka.
Dengan dipersenjatai semua informasi itu, barulah saya bisa menyusun draft pidato yang sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi ini memang sangat subjektif sehingga saya pun memberi batasan bahwa revisi maksimal 3 kali, dan selebihnya akan saya kenakan biaya tambahan. Karena kalau revisinya terlalu banyak dan berubah terlalu cepat dan drastis lalu hanya untuk kembali menggunakan draft awal, rasanya terlalu membuang tenaga dan waktu saya sehingga biaya tambahan perlu dikenakan pada klien.
Ini harus tegas disampaikan di depan agar si klien tidak merasa diperdaya di tengah pengerjaan naskah. Saya selalu menghindari kesan memperdaya klien dengan mengeluarkan ketentuan di awal/ sebelum proses penulisan dan revisi tulisan dilakukan. Kalau bisa bayar down payment 50%, tentu lebih baik. Sisa 50%-nya menyusul begitu naskah kelar.
Proses bisnis tanpa perantara begini memang enak dan mulus sebab dilandasi kepercayaan berkat adanya rekomendasi dari kolega atau teman kerja atau kenalan kita di circle kerja sebelumnya. Maka dari itu, saya sangat percaya dengan pentingnya memupuk hubungan yang baik dengan semua orang di tempat kerja. Karena bisa jadi dari mereka inilah kesempatan-kesempatan yang tak terduga berdatangan menghampiri saya di masa datang. (*/)
Recently, a case of mob justice/vigilantism that resulted in a fatality went viral in Sukolilo, Pati Regency, Central Java Province. The incident of mob violence that killed a rental car business owner from Jakarta occurred in Sumbersoko Village, Sukolilo District, Pati Regency on Thursday, June 6, 2024.
This incident began with a misunderstanding where residents mistook the victim’s group for thieves. Three people have been named as suspects in this case.
Chronology of the Viral Car Rental Boss Case
According to detik.com, the chronology of events is as follows: The rental boss with the initials BH and three friends came to Pati to retrieve a lost car. They tracked the car’s location using GPS. On Thursday (6/6) around 1:00 PM, the group arrived in the Sukolilo area using a Sigra car.
The victim BH found the sought-after car parked in the yard of suspect AG. BH immediately opened the car using a spare key and drove it. His three companions followed in the Sigra car. This action aroused suspicion among local residents. One resident shouted “thief!”, which prompted other residents to chase the group. The victim’s group separated while fleeing, but residents continued to pursue them.
The four victims were eventually caught and assaulted by the mob. Police received a report of the incident and immediately went to the location to evacuate the victims. Unfortunately, victim BH died as a result of the assault.
Pati Police Chief, Senior Commissioner Andhika Bayu Adhittama, also explained that this incident stemmed from a misunderstanding. The victim’s group actually came to retrieve their lost car, but their hasty actions and failure to communicate with the homeowner aroused residents’ suspicions.
This case demonstrates the importance of communication and caution in situations that could potentially lead to misunderstandings. The act of mob justice by the masses is also a serious concern, given the fatal consequences it can cause.
The police have followed up on this case by naming three suspects. Further investigation is still being conducted to uncover the details of the incident and ensure the legal process proceeds according to procedure.
Digitally ‘Assaulted’ in Return
In response to the assault case resulting in the death of the car rental boss, public reactions continue to pour in. Most defend the late BH, who indeed had the right to reclaim his car.
It didn’t stop there; netizens again became busy retaliating against the cruelty in Sukolilo with the emergence of a viral announcement from a car rental owner with the Instagram account @erwin_commercial_driver from Yogyakarta, who explicitly forbids renting his cars to anyone with a Pati ID card and doesn’t serve the Pati area at all, even canceling orders serving Pati residents.
Netizens immediately responded positively, although there were indeed a handful of Pati residents who felt this was excessive and shouldn’t punish all Pati people in such a way.
Interestingly, the context expanded. In the comments section of Erwin’s post, netizens shared unpleasant stories about the behavior of Pati residents who had been friends, neighbors, business partners, or customers. On average, they all complained about negative behavior, seemingly validating Erwin’s decision to boycott Pati and all its people.
Not only that, according to branding expert Yuswohady, it was stated that netizens also took revenge on Pati residents through various means on the Internet. What’s easily visible is marking several locations in Sukolilo Pati as “killer village” and “Sukolilo city of receivers”, “life-taking village”, “Sukokroyok”, “thieves’ village”, “Sukomaling haircut”, “Sukolilo land of fire hell on earth”, “Sukolilo Pertamina gas station receivers”, “red zone for car and motorcycle rentals” on Google Maps so that anyone using this application can see it.
Digital Vigilantism When Law Enforcement is Dysfunctional
What happened in Pati is closely related to digital vigilantism that has emerged as a unique local phenomenon.
Summarized from tandofline.com, this digital vigilantism involves the mobilization of netizens to monitor and harass individuals suspected of committing crimes through digital media. Although the late BH had reported the theft of his rental car to East Jakarta police, the National Police stated that “the speed of handling each case varies” and due to the lengthy handling, BH acted on his own.
What BH and netizens did could reflect the occurrence of “autonomization,” where citizen involvement is voluntary and spontaneous when law enforcement is slow to work. Digital vigilantism is defined as a process where citizens are collectively offended by the activities of other citizens and respond through coordinated retaliation on digital media platforms. In the Sukolilo case, netizens were generally moved to help provide social sanctions against all Sukolilo and Pati residents because they were considered to have allowed fencing to occur for many years.
Due to the accumulated frustration of netizens who felt they had been victims of crime in Sukolilo and Pati, they collectively shared bitter stories of dealing with Sukolilo and Pati residents in general.
This practice can often be categorized as “naming and shaming” or “weaponizing visibility” by publishing location data of the target’s place of origin.
Digital media like Google Maps and social media platforms have removed geographical barriers and blurred the line between online activities and offline consequences.
In the case of the beating of rental boss BH in Sukolilo Pati, we can witness the role of social media platforms like Instagram and TikTok in shaping netizens’ anger once this case went viral.
Digital vigilantism can also be used to create social justice and progressive goals such as fighting sexual violence, or for right-wing populist purposes such as attacking minorities and migrants. Public perception of legitimacy is often based on ideological context rather than legal principles. (*/)
Baru-baru ini kita saksikan badai layoff menerjang Tokopedia. Menurut ByteDance melalui beberapa sumber, setelah merger yang hingar bingar beberapa waktu lalu itu memang dipastikan bakal ada sejumlah pegawai yang di-PHK. Jumlahnya berpotensi mencapai 1000 orang. Tidak main-main.
LinkedIn pun menampilkan update beberapa orang yang terdampak dan rekan mereka yang bersimpati dan mempromosikan skills teman dan kenalan yang baru saja di-PHK itu secara cuma-cuma di LinkedIn feed mereka. Wow keren juga ya networking di LinkedIn ini, pikir saya.
Sedih memang tapi mood saya langsung berubah tatkala menemukan sebuah video TikTok yang dimiliki seorang korban layoff Tokopedia baru-baru ini. Isinya begini: “A day in my life. Episode layoff.” Penanda lokasinya adalah sebuah hotel mewah di ibu kota. Caption-nya bernada: Menangis di hotel mewah tersebut bersama teman-teman senasib lebih baik daripada menangis sendirian.
Si pemilik akun sendiri merekam dirinya sedang mengeringkan rambut setelah keramas dengan shampoo mahal yang disediakan pihak hotel tadi. Lalu merekam juga hidangan mahal yang terhampar di meja yang ia nikmati bersama kawan-kawannya yang sesama korban layoff. (*Untuk memahami konteks yang lebih lengkap di balik video itu, bisa baca di update yang saya tambahkan di bawah)
Agak ironis memang. Korban layoff tapi masih bisa hahahihi, masih terpikir untuk healing ‘tebal-tebal’ (nggak tipis-tipis lagi menurut saya itu).
Di situ saya sadar bahwa pengalaman layoff bisa sungguh berbeda bagi tiap orang. Ada yang di-PHK tetap bisa makan minum yang mereka inginkan dan membiayai kebutuhan ultra tersier seperti si pemilik akun TikTok tersebut.
Ada juga yang tak seberuntung itu. Begitu di-PHK, otomatis pikirannya terpaku pada upaya-upaya penghematan dan pencarian peluang kerja selanjutnya agar tetap bisa bertahan hidup. Saya pikir itu yang dialami sebagian dari 1170 karyawan pabrik ban yang ditutup di Cikarang. Mungkin mereka menjadi tulang punggung keluarga sehingga rasanya di-PHK sama dengan kiamat skala kecil bagi semesta mini kehidupan mereka. Terbayang susahnya cari kerja bagi orang dengan usia di atas 30 tahun di negara ini. Sungguh berat!
Pengalaman saya sendiri kena PHK dua kali sejauh ini berbeda dari kedua kutub ekstrim ini. Saya masih ada tabungan tapi tidak sampai seimpulsif mantan karyawan Tokopedia tadi, yang menghabiskan jutaan untuk menginap di hotel mahal hanya untuk ‘merayakan’ layoff.
Saya lebih terdorong untuk ‘belanja’ pengetahuan dan skills baru untuk upgrade diri agar siap untuk peluang selanjutnya atau jika saya memang harus self employed, membuat saya bisa mandiri menggarap peluang untuk mencari nafkah tanpa bergabung dengan organisasi/ korporasi apapun.
Untuk kebutuhan sehari-hari sendiri, saya masih beruntung memiliki pekerjaan sampingan: mengajar yoga. Jadi kalau bisa dikatakan, saya malah anggap masa pasca layoff sebagai suatu ‘sabbatical leave‘ yang agak melegakan dan menenangkan jiwa meski masih sedikit dihantui ketakutan akan masa depan. Tapi secara keseluruhan, saya masih bisa ‘mengapung’, tidak ‘tenggelam’ di gelombang tsunami layoff ini. So I consider myself lucky to some degree.
Di sini saya ingin menegaskan betapa luas spektrum pengalaman dan rasa menjadi korban layoff. Ada yang cukup diberikan simpati ala kadarnya karena mereka tanpa pekerjaan itu pun masih bisa membiayai gaya hidup yang wah entah karena gajinya dulu segunung dan investasinya segudang atau punya background keluarga yang mampu sekali dalam finansial.
Ada korban layoff kelas menengah yang seperti saya. Masih bisa makan, minum, tidur nyenyak di bawah atap dan menikmati hidup tapi kalau tabungan habis ya bakal masih bisa menangis darah juga.
Lalu ada korban layoff yang lebih tragis dan perlu sekali tak cuma diberi simpati yang tulus tapi juga tindakan nyata dari kita semua agar mereka tidak makin terlilit utang pinjol, lintah darat, atau utang bank (KPR misalnya) sehingga mereka kehilangan rumah yang dijadikan tempat tinggal bersama keluarga.
Update 20 Juni 2024:
Ada beberapa orang yang menanggapi tulisan ini. Melisa Hartanto menanggapi dengan penjelasan konteks video tersebut:
“Kebetulan yang post itu temen saya dan memang kekurangan beberapa context sehingga misleading. Tapi, alangkah baiknya tidak spreading hateful speech ketika kita belum tau full informasinya yaa.
Apabila berkenan untuk anda baca dan FYI untuk meluruskan yes.
1. Saat itu kita sedang on campaign yang memang sudah terencana dari perusahaan, dan dicover perusahaan untuk penginapannya 🙂 2. Mana ada yang tau di tengah-tengah sibuknya ngerjain big event tiba-tiba kondisi perusahaan terpaksa ada restrukturisasi. 3. Makan-makan ini adalah salah satu bentuk traktiran dari lead kami (baik banget aslii) yang dimaksudkan untuk menghibur yang terdampak. 4. Inside joke “menangis di hotel better than nangis sendiri” – so sorry it’s our inside joke yang tanpa sadar tidak semua orang paham kondisi kita.”
Thank you!🍀”
Jadi saya minta maaf kepada pihak yang sudah kurang berkenan dengan tulisan karena sudah keliru memahami video tersebut.
Namun, saya tidak menghapus tulisan ini dengan tujuan untuk bisa dibaca sebagai pembelajaran bagi kita semua untuk:
tidak memberi respon terburu-buru mengenai sebuah konten yang terlihat kontroversial, kontraintuitif, dan sebagainya. Bisa dicek dulu ke pihak pemilik konten mengenai konteks dan maksudnya.
berhati-hati dalam mengunggah video pendek dengan konteks yang tidak lengkap yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang menonton. (*/)