
Memiliki ibu adalah sebuah pengalaman yang sangat universal. Kecuali Anda adalah Adam dan Hawa, Anda pasti memiliki ingatan tak peduli baik atau buruk soal sosok ibu yang melahirkan dan (mungkin) membesarkan Anda hingga bisa dewasa dan matang seperti sekarang. Saya sisipkan kata “mungkin” karena saya paham tak semua manusia mengenal ibu mereka sebagai sosok yang selalu berada di samping mereka saat melalui tahun-tahun pertama kehidupan. Kehidupan memang tak selalu ideal, dan ada sebagian orang yang mungkin tidak akan pernah mengenal sosok ibu mereka. Bahkan mereka tak mau mengenal sosok ibu kandung mereka karena beragam sebab.
Meski di dalam buku ini sang penulis Lucia Priandarini membagikan catatan-catatan singkat yang bersifat sangat personal dan privat mengenai sederet momen yang telah ia kurasi dari masa kecil dan masa mudanya saat tumbuh dan berkembang bersama ibu kandungnya yang seorang dosen di Malang, saya dan mungkin banyak dari Anda yang juga membaca juga masih tetap bisa menemukan relevansinya dengan ibu Anda sekalipun profesi dan kepribadian ibu Anda sama sekali berbeda dari almarhumah.
Bagi saya sendiri yang tumbuh bersama sesosok ibu kandung yang turut berkecimpung dalam dunia mengajar dan mendidik, catatan-catatan Lucia di Hal-hal yang Tinggal dan Tak Akan Tanggal ini sangat menyentuh hati dan membuat ulu hati ngilu. Bahkan saya tak seberani itu membaca buku ini di tempat umum sebab takut larut dan membuat mata sembap, yang bakal membuat saya jadi bahan kasak kusuk meski ya mungkin itu cuma pikiran saya saja yang sok terlalu peka dan self aware. Karena itulah saya membaca buku bersampul hitam dan berjudul keemasan ini di rumah saja.
Seperti di halaman 15, saat Lucia menuliskan soal punggung ibunya:
Dalam sebagian besar waktu di rumah, aku lebih sering melihat punggung, dan bukan wajah Mama. Beliau hampir selalu tampak sedang mengerjakan sesuatu: mengoreksi lembar ujian mahasiswa, menumis bumbu di penggorengan, atau sedang menyetrika seragam sekolahku.
Memori itu juga saya punyai dalam benak ini meski tak sama persis. Ibu saya memunggungi saya hanya saat memasak di rumah, yang kadang kala saja ia lakukan sebab sudah kecapekan setelah mengajar di sekolah dasar di dekat rumah. Saya pikir mengajar tak susah dan menguras energi tapi ternyata setelah menjajalnya sekali, saya kapok juga. Capek berteriak saat mengajar kalau murid tak paham-paham juga, capek mengulang-ulangi pesan yang sama ke murid-murid yang berbeda, dan rutinitas mengajar itu berjalan dari tahun ke tahun, sampai pensiun. Saya yang pembosan tentu tak mau mengikuti jejak karier itu. Adik saya ada yang sukarela menjadi penerusnya.
Saya sendiri memilih menjadi pengajar partikelir. Tak mau menginduk di bawah komando pemerintah, Kemendikbud, pempus dan pemda apapun yang sering membikin sakit hati karena mereka memperlakukan guru seperti pekerja sosial yang tak butuh duit. Lebih nyaman bekerja di bawah swasta. Bisa negosiasi. Tak cocok soal gaji, bisa tinggal pergi. Pilih yang lebih menyejahterakan dan tak menjadikan saya budak atas nama upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan generasi mudanya.
Tapi terlepas dari sisi universal pengalaman memiliki ibu tersebut, buku ini memang pantas dibuat khusus untuk mengenang seorang sosok yang unik: alm. Bernadetta Maria Suryati yang juga ibu kandung si penulis. Mendiang adalah seorang wanita yang baru menikah di usia 35 tahun di tahun 1978. Saya bisa bayangkan bagaimana reaksi masyarakat saat itu soal seorang gadis yang baru menikah di pertengahan umur 30-an. Di tahun 2025 saja gadis-gadis gen Z kerap mengeluh saat didesak menikah di umur 25-an karena dianggap sudah matang dan bakal jadi perawan tua segera. Apalagi menjadi lajang begitu lama bagi seorang gadis di tahun 1970-an. Karena itulah, saya pikir pengalaman inilah yang juga membentuk almarhumah ini menjadi sosok yang tak banyak omong, tapi kuat dalam berpendirian dan bijak dalam menyikapi berbagai situasi hidup yang tak terduga. Lain dari orang awam yang reaktif, sering menghakimi, kepo atau banyak cing cong soal kehidupan orang lain.
Buku terbitan Pelangi Sastra Maret 2023 ini cukup ringan, mungil, dan tipis tetapi sungguh berat, akbar, dan tebal dalam makna. Untuk harga belinya, saya sendiri tidak tahu karena Lucia, si penulis, yang memberi secara cuma-cuma karena status saya sebagai tetangga yang ia tahu juga suka membaca. Matur nuwun. (*/)
Leave a Reply