Menyoal Kejujuran Manusia dalam Penggunaan AI

Di era AI, adalah sebuah kenaifan jika kita membaca apapun tanpa sebuah kecurigaan di dalam otak:” Apakah tulisan yang saya baca ini adalah hasil karya AI, atau sepenuhnya dibuat manusia? Atau 50-50, ada bagian yang digarap dengan AI dan ada bagian yang digarap manusia sendiri?”

Begitulah peliknya menjadi manusia penulis sekaligus pembaca pada hari ini. Kita tak cuma harus berpikir mencerna isi tulisan tetapi juga mesti memutuskan apakah tulisan itu murni buatan manusia atau AI atau hasil kolaborasi AI dan manusia yang begitu apik dan mulus.

Tetapi sebenarnya ini bukan tugas utama pembaca melainkan para penulis/ kreator untuk menjawab pertanyaan maha penting: “Apakah Anda berani sebagai penulis atau kreator konten menyatakan secara terbuka bahwa Anda memang pakai AI dalam berkarya atau Anda menjamin karya Anda 100% bersih dari intervensi AI?” Nah, itulah masalah moralitas dan etika yang sedang kita hadapi sekarang.

Saya sendiri sempat berdialog soal moralitas dan etika serta kejujuran manusia di era AI dengan Wicaksono atau yang dikenal sebagai Ndoro Kakung, seorang praktisi dan ahli di bidang komunikasi yang dulu dikenal sebagai narablog dalam kesempatan acara Obrolan Hatipena dengan judul “Menjadi Penulis di Era AI”.

Saya punya hipotesis begini: “Apakah ada kemungkinan seorang manusia penulis bisa menulis begitu ringkas, padat, apik dan sempurnanya hingga hasil karyanya dideteksi oleh software sebagai karya AI?”

Wicaksono mengatakan hal itu bisa saja terjadi sebab sekali lagi teknologi apapun pada dasarnya pasti ada celah kesalahan.

Checker-nya juga bisa tertipu. Namanya juga teknologi yang punya keterbatasan,” ujarnya.

Ia pun menekankan pentingnya kejujuran para penulis dan kreator saat menayangkan karyanya ke publik.

“Berani nggak penulis deklarasi ke pembaca? Misalnya ‘Ini lho karya asli saya tanpa AI’, atau kalau memang pakai bantuan AI, katakan, “Ini saya buat dengan AI’. Ini tidak mudah karena sudah masuk ranah moral, ” terang pria yang hadir sebagai pembicara utama di acara talkshow tersebut.

Apalagi ia mengatakan saat ini masyarakat Indonesia terutama para pelaku bidang akademiknya sedang bergelut dengan masalah moralitas. Buktinya beberapa waktu lalu santer beredar berita jual beli gelar profesor. Tentunya ini sangat memprihatinkan sebab universitas sebagai soko gurunya kaum intelektual dan cendekiawan negara ini sudah tersangkut masalah-masalah moral dan etika.

Kolom Tempo oleh Ubedillah Badrun membedah ‘borok’ kaum akademisi kampus kita, yang sebagian terseret kasus-kasus korupsi dan jual beli gelar doktor honoris causa/ doktor kehormatan yang terkesan begitu mudah diberikan pada tokoh-tokoh yang kurang layak menerimanya karena rekam jejak mereka yang minus di mata masyarakat. Misalnya kasus penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Unnes pada Nurdin Halid yang mantan terpidana kasus korupsi sehingga ia sudah cacat secara moral untuk menerima gelar tersebut.

Kata Wicaksono, cara lain agar kita bisa tahu apakah tulisan seseorang itu asli buatannya atau pakai bantuan AI adalah dengan dengan membaca banyak karya tulisannya dan jika kemudian ada hasil tulisannya yang memiliki perbedaan gaya yang tiba-tiba dan drastis, bisa dipastikan karyanya itu adalah hasil intervensi AI.

Namun, mungkin ini berlaku untuk sosok-sosok penulis yang sudah memiliki pakem dalam menulis. Gaya mereka sudah punya DNA tertentu. Tetapi akan lebih susah untuk mendeteksi tulisan-tulisan penulis pemula yang masih mencari gaya menulis dan jatidirinya. (*/)

This entry was posted in Blog and tagged , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *