Sebuah kebanggaan yang tidak terukur bagi Michaela Anselmini untuk mengembalikan karya seni menjadi seperti sediakala. Ia masih ingat dengan pengalamannya merestorasi sebuah patung Bunda Maria di suatu kapel gereja di perdesaan Italia, negeri asalnya. Dengan susah payah, ia mengerjakan pemulihan kondisi patung yang berlapis emas 23 karat. Di tangan restorer sebelumnya, patung itu tampak makin suram. Begitu Michaela merampungkan restorasinya dan memberikan patung itu kembali ke tempatnya di gereja, ibu-ibu itu mendatangi Anselmini dan berterima kasih sembari menitikkan air mata. Itulah salah satu pengalaman paling memuaskan sebagai seorang restorer, kenangnya di sela seminar bertema restorasi karya seni “Remembering the Future: Urgent Issues on Art Conservation in Indonesia” di Istituto Italiano di Cultura.
Ia memulai pekerjaan ini sebagai profesional sejak 1993-1994 setelah ia menyelesaikan studi formalnya. Anselmini telah menangani banyak proyek restorasi karya seni dari berbagai belahan dunia. Salah satu yang ia tidak bisa lupakan ialah sebuah lukisan dengan foam sebagai medianya buatan tahun 1970-an yang ingin dijual pemiliknya. “[Medianya] sebuah lapisan tipis foam yang dilapisi cat akrilik dan ditempeli dengan lem di atasnya,” terang wanita yang sejak kecil sudah menyadari kesukaannya memperbaiki benda-benda apapun di sekelilingnya. Ia mengaku sangat tertantang karena belum ada restorer di dunia ini yang mencobanya. Ia harus berhubungan dengan banyak pihak di AS, mulai dari riset, bertanya dengan produsen bahan kimia hingga sesama praktisi restorasi seni. Proyek itu memakan waktu setahun penuh.
Untuk proyek restorasinya di Indonesia, Anselmini menganggap restorasi karya pelukis legendaris Affandi sebagai yang paling menantang. “Terutama karena ia (Affandi) ialah pelukis pertama yang menggunakan teknik goresan warna yang tebal, memakai tangannya untuk memoles cat ke kanvas tanpa bantuan kuas,” ungkapnya. Kompleksitas teknik Affandi membuat Anselmini mesti bekerja ekstra keras dalam membersihkan permukaan lukisan dari kotoran. Terlebih lagi untuk warna yang berbeda, ia harus memakai bahan kimia yang berbeda pula.
Kebanyakan karya seni yang direstorasi Anselmini sudah terlampau parah kerusakannya. “Saat pemilik ingin menjual atau memamerkannya untuk acara penting, baru karya itu diserahkan untuk restorasi,” Anselmini menjelaskan. Padahal jika diserahkan jauh-jauh hari sebelumnya, karya itu bisa diselamatkan lebih baik lagi.
Tantangan yang tidak kalah besar ialah sempitnya waktu yang ia miliki dalam restorasi. Anselmini kerap diburu oleh para pemilik benda seni untuk merampungkan restorasi selekas mungkin. Padahal proses restorasi sangat memakan waktu dan membutuhkan kesabaran serta ketelitian tinggi.
Menurut Anselmini, waktu rata-rata pengerjaan restorasi satu karya seni lukis biasanya 3-4 pekan. Dan ia bisa mengerjakan beberapa karya secara paralel, tidak hanya mengerjakan satu karya dalam satu rentang waktu tertentu.
Dalam proses restorasi di negeri pizza, Anselmini biasa dibantu asisten yang ia percaya dan sudah terlatih. Namun, di Indonesia ia bekerja sendiri sebab masih sangat sedikit orang Indonesia yang menekuni bidang itu. Bagi publik Indonesia, istilah restorasi seni masih dianggap baru dan belum banyak yang tahu bahwa restorer ialah suatu profesi yang serius dan setara dengan profesi lainnya.
Dalam bekerja, Anselmini menuliskan prosedur dan seluk beluk pengerjaan dalam catatan khusus. Di Italia, terdapat badan khusus yang bertugas mengumpulkan catatan restorasi untuk disimpan dan dibagikan pada pihak yang berkepentingan untuk riset dan restorasi sekarang dan masa depan. Ia menyerahkan catatan pengerjaan restorasinya kepada badan tersebut. Di samping itu, ia juga menuliskan pengalamannya dalam catatan terpisah untuk pengembangan pengetahuannya.
Minat Anselmini pada restorasi telah muncul sejak usia belia. Keluarganya yang bergelut dalam bidang pertukangan kayu seolah menjadi pondasi yang ideal baginya. “Saat kecil saya sering melihat ayah membuat benda-benda dengan tangan,” terangnya. Michaela pun mengikuti jejak sang ayah dengan tidak segan berkarya.
Bedanya, ia tidak ingin membuat benda baru seperti ayahnya. Ia ingin memperbaiki benda yang sudah ada tetapi rusak. Di usia 5-6 tahun, ia tertarik mengutak-atik benda-benda rusak di sekelilingnya hingga kembali ke kondisi semula. “Awalnya orang tua saya mengira ketertarikan ini tidak lazim,” ujar Anselmini yang sempat mendesak orang tuanya membeli sebuah bangunan yang hampir rubuh hanya karena ia ingin sekali memperbaikinya.
Sejak itu, bakatnya dalam restorasi seni makin diakui orang-orang di sekitarnya. Buktinya, sejumlah orang mendatanginya untuk meminta bantuan memperbaiki benda seni yang rusak. “Saat masih 7-8 tahun, ada yang mendatangi saya untuk minta bantuan memperbaiki sebuah lukisan yang terjatuh dan rusak. Itulah restorasi yang pertama kali saya lakukan.” Ia merasakan kegembiraan membuncah begitu suatu karya seni yang rusak ia bisa perbaiki layaknya baru. “Restorasi sudah menjadi bagian dari diri saya,” tandas Michaela.
Di Indonesia, tahun 2011 Michaela datang ke Bali atas undangan seorang teman dekat yang memiliki galeri. Ia membantu temannya untuk merawat lukisan koleksi galeri tersebut. Empat tahun kemudian, setelah kesibukan bolak balik Indonesia dan Eropa, ia bekerjasama dalam bidang restorasi dengan sejumlah pihak termasuk dosen dan kurator seni Rizki A. Zaelani dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Untuk tujuan menggalakkan restorasi karya seni di tanah air, Anselmini datang ke Bandung, Yogyakarta dan Jakarta membagikan pengalamannya sebagai restorer.
Untuk menumbuhkan kesadaran dan minat restorasi seni, ia menggelar seminar dan lokakarya (workshop). Menyaksikan masih sedikitnya restorer di Indonesia, Anselmini mengungkapkan adanya keinginan mendirikan sekolah restorasi di Indonesia tetapi tentu akan banyak tantangan yang harus dihadapi terutama karena ia warga negara asing.
Restorasi tidak selalu mahal karena bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor nonteknis seperti biaya transportasi, biaya cukai untuk mengirim benda-benda seni dan tetek bengeknya, cukup menguras tenaga dan pikiran. Jika bahan-bahan untuk restorasi bisa didapat di sekitar tentu akan lebih hemat biaya. Bahan-bahan restorasi juga tidak melulu mesti diimpor. Menurut Michaela, Indonesia sudah memiliki sebagian bahan yang diperlukan untuk merestorasi karya seni.
Tantangan merestorasi di tanah air yang utama di antaranya yaitu penggunaan material yang kurang berkualitas dan tidak memenuhi syarat. Yang tidak kalah penting ialah faktor cuaca dan iklim yang berbeda dari negara-negara empat musim. “Di Italia, saya masih bisa melakukan retouching tanpa buru-buru. Di Indonesia, bahan-bahan menjadi lebih cepat kering sehingga kadang harus mengulang lagi.” (*/)