MENULIS bisa menjadi salah satu bentuk terapi kejiwaan bagi manusia.
Jenis menulis terapeutik ini disebut sebagai “expressive writing”, sebuah metode menulis untuk melepaskan beban trauma psikologis yang pertama kali digagas oleh James Pennebaker, Ph.D., seorang ilmuwan dari Amerika Serikat yang pernah menulis buku Expressive Writing: Words That Heal bersama John F. Evans.
Bagaimana Expressive Writing Lahir
Pennebaker sendiri memiliki riwayat asma sejak kecil yang kambuh-kambuhan seiring pergantian musim. Dari ingatannya, ia mengalami level keparahan gejala asma yang berbeda-beda tatkala dikunjungi orang yang berbeda saat ia dirawat. Dari catatan masa lalunya tersebut, Pennebaker menyimpulkan pasti ada kaitan antara kondisi kesehatan dan kondisi emosional seseorang.
Sebagai ilmuwan pertama yang meneliti kaitan menulis dengan kesehatan, emosi dan fisik, Pennebaker melakukan studi ilmiah yang melibatkan sejumlah mahasiswa yang diberikan instruksi untuk menuliskan peristiwa yang paling traumatis dalam hidup mereka masing-masing.
Para mahasiswa ini diharuskan menulis tanpa henti, tanpa sensor, dan tanpa mengindahkan tata bahasa selama durasi 13-30 menit pengalaman paling traumatis mereka.
Mereka juga diberitahu bahwa apa yang mereka tulis tidak akan dibacakan atau diberitahukan ke orang lain. Untuk menjaga kerahasiaan isi tulisan itu, mereka diperbolehkan menyobek atau membakar kertas tempat mereka menulis begitu sesi menulis telah selesai.
Jadi tujuan menulis di sini bukan untuk dibaca orang lain tapi untuk menumpahkan perasaan dan kegelisahan yang ada dalam benak seseorang akibat akumulasi emosi negatif dan trauma masa lalu.
Menulis trauma ini bisa dilakukan dengan kertas dan pulpen atau bisa juga menulis dengan word processor seperti Microsoft Word atau menggunakan aplikasi Notes di gawai.
Metode Expressive Writing
Sebelum menulis, patut diperhatikan agar kita menuliskan fakta yang kita alami dengan sebenarnya, emosi yang dirasakan saat mengalami pengalaman traumatis itu dan emosi yang dirasakan sekarang setelah pengalaman tersebut berlalu jauh serta yang tak kalah penting ialah menyertakan semua informasi baik di masa kini atau lampau yang masih relevan dengan pengalaman traumatis tersebut misalnya orang-orangnya, dan sebagainya.
Agar lebih jelas sebelum memilih pengalaman traumatis, perlu dipahami bahwa trauma ialah pengalaman atau kumpulan pengalaman yang mengubah otak kita dan sirkuit otak/ badan yang membuat kita tidak bisa berfungsi secara normal dalam hal fisik, kognitif, perilaku, dan sebagainya dan kita merasa sangat sulit untuk melupakannya, demikian ungkap pakar kejiwaan Paul Conti.
Instruksinya ialah “tulislah semua hal yang paling meresahkan atau paling sering Anda pikirkan selama hidup akhir-akhir ini, atau sesuatu yang membuat Anda bermimpi buruk atau sesuatu yang Anda anggap masalah yang paling besar dalam hidup Anda”.
Instruksi selanjutnya ialah “tulislah emosi terdalam atau pikiran terjujur mengenai peristiwa yang paling buruk dalam hidup Anda dan kemudian eksplorasi semua emosi tanpa kecuali dan sambil menuliskannya kamu bisa gambarkan masa kecil, hubungan dengan ortu dan saudara kandung, orang yang Anda cintai, karier atau pendidikan, perspektif Anda soal diri dahulu kala, saat ini dan pribadi yang Anda inginkan ke depan.”
Waktu yang disediakan untuk menulis semua ini bervariasi, antara 13-30 menit.
Saat menuliskan pengalaman traumatis, perlu diingat 3 komponennya: fakta (siapa yang ada di sana, apa yang terjadi pada kita), bagaimana perasaan kita saat itu dan sekarang, dan kaitan/ asosiasi antara apa yang terjadi dengan hal lain (misal orang tertentu).
Selama menulis, bisa terjadi jeda karena emosi yang kembali bergolak hingga menangis. Dan sediakan waktu untuk menetralkan emosi setelah sesi expressive writing.
Bukan Diary
Menulis dalam metode expressive writing berbeda dari gratitude journaling (jurnal pribadi yang isinya hal-hal yang patut disyukuri setiap hari dalam kehidupan) dan menulis diary atau jurnal harian biasa yang isinya rentetan aktivitas sehari-hari yang bersifat superficial.
Anda harus melakukan ini selama 4 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari expressive writing. Jadi 30 menit untuk setiap hari.
Jenis protokol lainnya ialah menulis dengan pendekatan expressive writing di satu hari tertentu per minggu, tidak perlu 4 hari berturut-turut.
Low Expressor VS High Expressors
Menurut Pennebaker, ada dua jenis tipe utama expressive writers: low and high expressors.
Low expressors ialah orang-orang yang cenderung untuk menggunakan bahasa yang kurang deskriptif dan kurang emosional. Badan mereka selama sesi menulis terpantau mengalami stres yang lebih ringan.
High expressors ialah orang-orang yang cenderung lebih banyak menggunakan kata-kata negatif untuk mendeskripsikan pengalaman negatif mereka dan lebih sering dan tubuh mereka lebih stres juga karena itu.
Menariknya, di hari pertama, high expressors memang lebih stres tapi di hari-hari berikutnya low expressors malah makin stres dan di saat yang sama high expressors makin menurun stresnya.
Terlepas dari temuan ini, kedua tipe ini tidak ada yang lebih buruk atau lebih baik. Perbedaan keduanya bukan masalah besar tapi yang penting ialah melepaskan trauma yang menumpuk dalam sel-sel otak.
Peran Kosakata
Kadang orang yang lebih banyak mengetahui kosakata sedih lebih sedih dan sebaliknya tapi tidak selalu.
Pennebaker menemukan bahwa orang yang lebih banyak menggunakan kata kata negatif cenderung kondisi emosinya juga lebih negatif.
Apakah ini menjadi masalah? Tidak juga. Malah jangan berusaha menghindari kata-kata negatif karena sekali lagi, inilah kesempatan untuk melampiaskan semua emosi negatif yang tidak bisa diungkapkan selama ini.
Setelah sesi expressive writing berlalu seminggu barulah Anda boleh membaca kembali dan mengamati volume kata-kata positif dan negatif dalam tulisan kita sendiri.
Bandingkan tulisan/ entri dari hari pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam temuan Pennebaker, terjadi penurunan volume kata yang negatif dan terjadi kenaikan volume kata yang positif dari tulisan/ entri hari pertama hingga keempat.
Manfaat Expressive Writing
Sederet faedah jika pengalaman traumatis dituangkan ke luar secara tertulis melalui metode expressive writing ini ialah meringankan keluhan kecemasan berlebihan, insomnia, depresi, arthritis, kanker, lupus, autoimun, fybromelgia, irritable bowel syndrome, dan sebagainya.
Jika dibandingkan menulis diary biasa, expressive writing ini memiliki efek terapeutik yang lebih besar, ungkap Pennebaker.
Hal ini diketahui dari tes darah para subjek penelitian Pennebaker. Dalam tubuh orang yang menulis dengan metode expressive writing, aktivasi sel darah putih (T limfosit) jauh lebih kuat. Aktivasi imun lebih baik dengan expressive writing.
Dari sini diyakini bahwa memang ada kaitan erat antara kondisi pikiran dan kesehatan fisik seorang manusia.
Menata Ulang Sel-sel Otak
Sejak kecil, sistem syaraf manusia bertugas menyerap beragam pengalaman baru dan makin pintar dalam membuat tebakan-tebakan berdasarkan akumulasi pengalaman yang diperolehnya.
Makin lama kita bisa menebak apa yang akan terjadi pada kondisi emosional kita saat berada di tempat tertentu, bersama orang tertentu, apa yang biasanya terjadi, dan apa dampaknya pada diri kita setelah itu. Dengan kata lain, otak menjadi semacam mesin penerka yang cerdas tapi juga bisa salah.
Perilaku dan penyakit kronis yang kambuhan misal insomnia, GERD, kecemasan berlebihan, dan sebagainya adalah respon tubuh terhadap stres yang berlebihan.
Namun, begitu seseorang menjadi matang dan dewasa (usia 20-an), perubahan pada sel-sel otak masih bisa juga terjadi saat kita menghadapi momen atau kondisi yang luar biasa.
Sesi expressive writing ini menjadi alat untuk mengubah kembali pola di sel-sel otak ini. Jika sel-sel otak diibaratkan seperti kabel-kabel, ia akan ditata ulang kembali agar lebih rapi dan bisa bekerja lebih baik.
Sesi expressive writing secara sepintas memang membuat tak nyaman emosi dan pikiran tetapi memaksa sel-sel otak menata ulang susunannya.
Para pelaku expressive writing yang sangat emosional bisa mengalami perubahan susunan sel otak yang pada gilirannya bisa merilis emosi terpendam.
Lega dengan Memahami Lebih Utuh
Hasil yang bisa dirasakan seseorang setelah menjalani prosedur expressive writing yang direkomendasikan oleh Pennebaker di atas ialah rasa lega, yang diiringi dengan sejumlah perubahan positif dalam kondisi tubuh dan kondisi pikiran/ psikologis.
Expressive writing disarankan bagi mereka yang pernah mengalami kejadian traumatis di masa lalunya. Misalnya kekerasan di masa kecil, perceraian orang tua, perisakan (bullying), dan sebagainya. Itu karena setelah mengalami kejadian traumatis, banyak orang yang tidak mau membahasnya atau mengingatnya lagi seumur hidup.
Dan sayangnya keengganan untuk membahasnya inilah yang nantinya malah berakibat buruk. Kita menjadi bingung dan kurang bisa memahami mengapa dan bagaimana peristiwa traumatis itu terjadi secara lebih utuh.
Kebingungan dalam pikiran inilah yang nantinya menambah ruwet keadaan saat ada pemicu trauma datang kembali dan mendorong kita bereaksi yang tidak seharusnya.
Simpulannya, expressive writing membantu kita untuk memahami pengalaman-pengalaman traumatis tersebut lebih baik dan akhirnya pemahaman yang lebih baik itu membuat kita bisa melepaskannya dengan lebih sehat. Jadi tidak cuma melupakan, tapi justru kita harus mencerna pengalaman traumatis itu dulu dan baru membuangnya secara tuntas agar tidak menjadi beban seumur hidup.
Karena tidak untuk dikonsumsi publik, tulisan di sesi expressive writing juga seharusnya dibuat dengan sejujur mungkin agar kita bisa memahami sebuah fenomena dengan lebih baik. Dengan bersikap sejujur mungkin, tidak menutup-nutupi, kita akan memberikan badan dan pikiran serta jiwa ini untuk pulih seperti sediakala dalam jangka pendek maupun panjang. (*/)